KUNINGAN (MASS) – Demo yang dilakukan oleh kepala desa dan atau perangkat desa Se – Jawa Barat dan NTB di Monas pada tanggal 16 Desember 2021 di Jakarta yang bertajuk “Desa Menggugat” menuntut persentase distribusi penggunaan Dana Desa (DD) yang dianggap memberatkan pembangunan di desa, dimana hanya sebesar 32% saja dari Dana Desa dialokasikan untuk penggunaan pembangunan di desa, sisanya sebesar 40% untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT), sebesar 20% untuk ketahanan pangan dan sebesar 8% untuk pencegahan maupun penanganan covid 19.
Hal itu berkaitan dengan Perpres nomor 104 tahun 2021 yang dikeluarkan pada tanggal 29 November 2021 lalu yang berisi tentang APBDes khususnya mengatur tentang alokasi Dana Desa (DD). Perpres itulah yang menyebabkan Apdesi melakukan demo karena mereka anggap perpres tersebut menabrak sistem perencanaan desa yang sudah berjalan dan mengebiri kewenangan desa dalam hal kemandirian pengelolaan dana desa. Selain itu, mereka menganggap bahwa Perpres tersebut kurang tepat ditengah suasana pandemi yang semakin mereda yang seharusnya alokasi dana desa itu lebih besar proporsinya bagi pembangunan.
Mari kita mencoba merunut kondisi dan fakta yang ada yang berkaitan dengan efektivitas penggunaan “dana desa”. Disini saya ingin mengajak pembaca untuk berfikir logis berdasarkan perkembangan fakta di lapangan mengenai “efektivitas” penggunaan Dana Desa (DD) bagi pembangunan di desa. Sebagaimana, yang dimaksud dalam pembangunan di desa ini adalah Index Desa Membangun (IDM) yang mencakup : Index Ketahanan Ekonomi, Index Ketahanan Sosial dan Index Ketahanan Lingkungan (Ekologi Desa).
Awal muncul adanya dana desa secara umum sebenarnya hanya sebagai stimulus bagi pembangunan di desa, dengan prioritas penggunaan dana desa untuk menciptakan 5 kompenen utama diawal, yakni ; 1. Membangun atau memperbaiki infrastruktur sarana & prasarana desa, 2. Membangun atau memperbaiki sarana & prasarana olah raga di desa, 3. Membangun atau memperbaiki embung air irigasi pertanian di desa, 4. Membangun dan mengembangkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES), dan 5. Menciptakan produk unggulan desa (Prudes), dengan proporsi alokasi Dana Desa yang bervariasi sesuai dengan tingkat kebutuhan dan kondisi di desa.
Penentuan nilai nominal Dana Desa sendiripun bervariasi antara 800 Juta sampai 1,5 Milyar per tahun dilakukan dengan cara 3 termin sesuai dengan perhitungan Index Desa Membangun (IDM) dan status desanya, apakah : desa sangat tertinggal, desa tertinggal, desa berkembang, desa maju atau desa mandiri. Di Indonesia sendiri hampir sebanyak 74 ribu desa yang mendapatkan dana desa tiap tahun.
Berkembangnya waktu sejak tahun 2020 karena terjadi perubahan situasi dan kondisi munculnya pandemi covid 19 sehingga berdampak terhadap perubahan alokasi anggaran Dana Desa yaitu sebesar 25% anggaran dana desa dialokasikan untuk pencegahan dan penanganan covid 19 serta bantuan langsung tunai (BLT). Seiring dengan perubahan tersebut perubahan perilaku masyarakat akibat covid 19, maka kemudian pemerintah mengatur distribusi anggaran dana desa sesuai dengan aturan yang tertuang didalam Permendes No. 07 tahun 2021 yang mengatur tentang prioritas penggunaan dana desa yaitu: 1. Pemulihan ekonomi nasional (kemiskinan, bumdes), 2.Program prioritas nasional (pengembangan desa, ketahanan pangan) dan 3. Mitigasi bencana alam.
Anggaran di desa itu sendiri sebenarnya sumbernya bervariasi yaitu ; pendapatan asli desa yang bersumber dari potensi desa dan retribusi & pajak, bantuan bupati, bantuan gubernur, dana aspirasi dan ditambah dana desa dari pusat. Jika saja, setiap desa lebih dominan melihat dan mengutamakan kemandirian dalam memaksimalkan pendapatan asli desa yang bersumber dari potensi desa tersebut seperti: pengelolaah alam secara efektif, pemanfaatan aset desa, membangun peternakan (sumber hewani), pemberdayaan masyarakat dalam menumbuhkan tatanan produktivitas perekonomian maka bantuan diluar akan semakin memperkaya desa menjadi desa yang jauh lebih hidup dan kaya.
Kita lihat, misalkan saja Badan Usaha Milik Desa (BUMDES), tidak sedikit desa yang memperlakukan BUMDES hanya slogan saja. Status BUMDES mati suri dan disewakan ke pihak lain. Padahal fungsi BUMDES itu sendiri sangat jelas sebagai wadah dalam meningkatkan perekonomian masyarakat desa, membuka lapangan kerja baru, menekan disvaritas ekonomi dan menanggulangi kemiskinan. Namun nyatanya fungsi tersebut hanya sebatas teori. Bilamana BUMDES diberdayakan menjadi wadah yang produktif dengan mengangkat produk unggulan desa (PRUDES) dengan stimulus sebagian dana bantuan dari luar, menurut saya tujuan BUMDES ini akan tercapai dengan baik dan bermanfaat bagi fungsi BUMDES tersebut.
Selain itu, potensi desa juga sebenarnya luas. Potensi alam, pemanfaatan kekayaan desa, sumber daya air, sumber hewani (peternakan), perkebunan dan meningkatkan skill SDM masyarakat adalah merupakan aset yang sangat mahal yang dapat menghidupkan perekonomian desa. Namun sayang fakta menunjukkan beberapa itu hanya kiasan saja, tidak dimanfaatkan menjadi aset yang bernilai. Ditambah adanya bantuan luar yang tidak dialokasikan secara efektif sehingga tidak berbuah apapun (tidak membekas). Malah bantuan dari luar hanya bahan bancakan, bahan korupsi, bahan pungli yang justru hanya terkesan mengejar keuntungan semata dari proses distribusi anggaran.
Walaupun memang tidak semua desa kondisinya demikian. Masih banyak desa – desa yang berprestasi dan unggul, misal saja Desa Ponggok di Kabupaten Klaten dengan unggulan wisata “desa umbul ponggok” yang mampu mandiri membuka lapangan kerja bagi masyarakat, menghidupkan perekonomian dengan pencapaian omset setiap bulannya mencapai milyaran rupiah.
Apa yang ingin disampaikan dalam tulisan ini secara umum saya melihatnya bahwa alokasi proporsi penganggaran dana desa untuk pembangunan sebesar 32% seharusnya tidak terlalu menjadi sebuah permasalahan serius. Karena sesuai dengan tujuan awal munculnya dana desa hanya sekedar stimulus pembangunan artinya bahwa desa semestinya tidak bergantung kepada dana desa. Desa semestinya secara mandiri prioritas memikirkan dalam membangkitkan (potensi alam, potensi SDM, sumberdaya air & mineral) untuk merubah tatanan kekayaan desa tersebut menjadi kemasan produktif sehingga mampu membangkitkan perekonomian masyarakat, membuka lapangan kerja baru, menekan kesenjangan sosial dan memberantas kemiskinan.
Realisasi yang ada setelah munculnya dana desa justru malah menyebabkan masalah baru yaitu memunculkan prasangka – prasangka (fitnah) kepada kepala desa (perangkat) dalam penggunaan anggaran terutama masalah potensi korupsi. Ditambah kasus demi kasus yang terjadi di beberapa desa, di Indonesia yang tersangkut masalah korupsi sehingga harus berhubungan dengan tipikor dan atau KPK. Bagi pihak Kepala Desa (Aparat), adanya dana desa, malah cenderung menyebabkan malas untuk berinovasi, berkreasi dan membuat terobosan – terobosan baru sehingga lemah dalam mengembangkan potensi desa sebagai kekayaan aset desa yang seharusnya menjadi sumber kekayaan desa.***
Penulis: Asep Saepudin SSi MM (Peneliti/Riset Indo Barometer)