KUNINGAN (MASS) – Sejak puluhan tahun lalu, Gaza terus menjadi ladang pembantaian. Ribuan nyawa melayang akibat bombardir Israel. Anak-anak kehilangan orang tua, para ibu menangis mencari anaknya di bawah reruntuhan, dan rumah sakit penuh sesak dengan korban luka. Krisis pangan, air bersih, listrik, dan obat-obatan semakin menambah penderitaan. Gaza seakan dipenjara di tanahnya sendiri.
Seperti yang dikutip dari laman news.republika.co.id (Sabtu, 06/September/2025) Juru bicara militer Israel, Avichay Adraee, menulis di X bahwa penduduk harus meninggalkan kota dan menuju wilayah pesisir Khan Younis di Gaza selatan. Pada Kamis lalu, militer menyatakan telah menguasai hampir separuh Kota Gaza. Mereka juga mengklaim telah menguasai sekitar 75 persen wilayah Gaza. Banyak warga Kota Gaza yang sempat mengungsi di awal perang kemudian kembali. Sejumlah penduduk mengatakan mereka menolak untuk mengungsi lagi.
Agresi Israel ke Gaza bukan hanya sekadar serangan militer, tetapi juga bentuk pembersihan etnis (ethnic cleansing). Serangan udara dan darat disertai instruksi agar rakyat Palestina meninggalkan rumah mereka. Warga sipil dipaksa mengungsi ke wilayah yang sudah padat dan tidak aman. Mereka dikepung, tanpa makanan, air bersih, listrik, maupun obat-obatan. Padahal sejarah membuktikan, sejak Nakba 1948, jutaan warga Palestina yang terusir belum pernah bisa kembali ke tanah mereka. Artinya, desakan Israel agar rakyat Gaza “mengungsi” hanyalah strategi untuk mengosongkan tanah Palestina dan memperluas penjajahan.
Sementara itu, dunia internasional hanya bisa menyuarakan “keprihatinan” tanpa langkah tegas. Amerika Serikat dan sekutu Barat tetap memberi senjata serta perlindungan politik kepada Israel. Lembaga internasional seperti PBB gagal menekan Israel, bahkan sekadar memastikan jalur bantuan kemanusiaan. Fakta ini menegaskan bahwa penderitaan rakyat Gaza bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari sistem dunia yang timpang dan penuh kebohongan.
Lebih menyedihkan lagi, penguasa negeri-negeri muslim tidak berbuat banyak. Mereka hanya mengirim bantuan kemanusiaan seadanya, atau membuka rumah sakit darurat bagi korban. Padahal masalah utama bukan sekadar kekurangan obat, tetapi keberadaan penjajah Israel itu sendiri. Diamnya para penguasa Muslim di hadapan pengusiran rakyat Palestina adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah umat dan pengabaian terhadap syariat yang mewajibkan jihad membela kaum tertindas.
Kegagalan dunia dalam membela Gaza berakar pada sistem internasional yang dibangun di atas pondasi sekuler kapitalis. Prinsip dasarnya bukan kemanusiaan, tetapi kepentingan politik dan ekonomi. Selama Israel menjadi aset strategis bagi Barat di Timur Tengah, kejahatannya akan terus dilindungi. Lembaga internasional seperti PBB hanyalah instrumen politik negara-negara besar, bukan pelindung bagi rakyat tertindas.
Islam memandang tanah Palestina sebagai bagian dari tanah umat Islam yang tidak boleh diserahkan kepada penjajah. Rakyat Palestina tidak seharusnya dipaksa mengungsi, melainkan harus dibela agar tetap tinggal di tanahnya. Nabi saw. menegaskan bahwa kaum muslim bagaikan satu tubuh yang mana ketika satu bagian sakit, maka seluruh tubuh ikut merasakan. Maka pengusiran rakyat Gaza adalah penderitaan seluruh umat Islam.
Solusi nyata tidak akan lahir dari PBB atau perjanjian damai palsu. Satu-satunya jalan adalah dengan menegakkan sistem Islam. Sistem Islam memiliki mekanisme yang jelas dimana negara wajib mengerahkan pasukan untuk membela kaum Muslim yang dizalimi, menggalang potensi ekonomi umat untuk jihad, serta menolak segala bentuk kompromi yang melanggengkan penjajahan. Hanya dengan menegakkan sistem Islam, umat bisa memiliki perisai yang benar-benar melindungi mereka dari agresi musuh, sekaligus menjadi kekuatan yang ditakuti dunia. Inilah solusi komprehensif yang tidak mungkin diwujudkan oleh sistem sekuler kapitalis.
Pengusiran warga Palestina oleh Israel hari ini adalah bukti nyata pembersihan etnis yang dilakukan di depan mata dunia. Barat terbukti munafik, lembaga internasional lemah, dan penguasa muslim terjebak dalam politik kompromi. Saatnya umat Islam menyadari bahwa penderitaan Gaza tidak akan berhenti selama kita masih menggantungkan harapan kepada sistem sekuler kapitalis. Satu-satunya jalan untuk mengakhiri penderitaan Gaza adalah dengan kembali pada sistem Islam, menegakkan Islam secara menyeluruh yang akan menjadi perisai umat, pelindung kehormatan, sekaligus penolong bagi Gaza dan seluruh kaum muslim.
Wallahu a’lam bissawab.
Penulis : Rena Malinda
(Aktivis Dakwah)