KUNINGAN (MASS) – Di tengah berbagai upaya peningkatan pendapatan daerah, konsumsi rokok ternyata masih menjadi penyumbang signifikan bagi pundi-pundi pajak Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan data yang dilansir dari laman resmi dashboard.jabarprov.go.id, pendapatan pajak provinsi meningkat dari Rp21,6 triliun pada tahun 2023 menjadi Rp23 triliun di tahun 2024. Salah satu penyumbang utama pertumbuhan tersebut yaitu Pajak Rokok yang menyumbang 16,61% dari total pendapatan pajak.
Pada rincian penerimaan pajak tahun 2024, sumber utama berasal dari:
• Pajak Kendaraan Bermotor (PKB): 41,82%
• Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor I (BBNKB I): 26,31%
• Pajak Rokok: 16,61%
• Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB): 14,41%
• Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor II (BBNKB II): 0,57%
• Pajak Air Permukaan (PAP): 0,27%
• Pajak Alat Berat: 0,00%
Dari data tersebut, terlihat pajak rokok berada di posisi ketiga tertinggi, mengungguli pendapatan dari pajak bahan bakar hingga dua kali lipat lebih besar dibanding BBNKB II, PAP, bahkan pajak alat berat yang nihil.
Tingginya kontribusi pajak rokok tersebut tentu mencerminkan masifnya konsumsi rokok di masyarakat, termasuk di kalangan bawah yang notabene justru rentan terhadap dampak kesehatan dan ekonomi dari kebiasaan tersebut. Fenomena ini menimbulkan dua sisi yaitu di satu sisi, memberikan pendapatan signifikan bagi daerah, tetapi di sisi lain juga menunjukkan bahwa rokok masih menjadi konsumsi yang sulit dibendung.
Di Kabupaten Kuningan, misalnya, rokok kerap ditemui dalam keseharian masyarakat, mulai dari warung kecil hingga cafe modern. Data nasional menunjukkan, prevalensi perokok pada usia dewasa masih cukup tinggi, bahkan mengalami peningkatan di beberapa daerah.
Pemerhati kebijakan publik menilai, tingginya pendapatan dari pajak rokok tersebut sebaiknya menjadi momentum untuk meninjau ulang kebijakan alokasi penggunaan dana dari pajak rokok. Sesuai regulasi, sebagian dari penerimaan pajak rokok harus dialokasikan untuk mendanai program kesehatan dan pengendalian dampak negatif rokok.
“Jangan sampai kita bangga dengan pendapatan tinggi dari pajak rokok, tapi abai terhadap tingginya beban kesehatan masyarakat akibat rokok,” ujar Dimas seorang aktivis sosial masyarakat dari Kuningan.
Melalui meningkatnya pendapatan daerah itu, pemerintah provinsi diharapkan tidak hanya mengandalkan sektor konsumsi merugikan, namun juga memperkuat edukasi kesehatan dan mendanai program-program pengendalian tembakau serta promosi hidup sehat.
“Pajak rokok terbukti menjadi sumber pendapatan penting bagi provinsi, namun sejalan dengan itu, penting untuk terus mengevaluasi dampak sosial dan kesehatan dari konsumsi rokok. Masyarakat dan pemerintah perlu mendorong alokasi dana yang adil, agar pendapatan dari sektor ini juga diimbangi dengan program pencegahan dan penanganan dampaknya,” harapnya. (argi)