KUNINGAN (MASS) – Dikisahkan bahwa Mubarak, ayah dari Abdullah bin Mubarak, seorang ulama yang terkenal itu, pernah bekerja di sebuah kebun delima milik seorang saudagar dari negeri Hamdzan.
Suatu ketika majikannya datang kepadanya, “Hai Mubarak, aku ingin buah delima yang manis.” Mubarak bergegas menghampiri sebuah pohon delima dan memetik buahnya.
Majikannya lantas membelahnya, tetapi ternyata buah delima itu terasa asam. Ia marah, seraya berkata, “Aku minta yang manis tapi kamu kasih yang asam! Ambilkan aku yang manis!”
Mubarak pun segera berlari memetik delima dari pohon yang lain. Setelah dipecah ternyata rasanya sama, asam. Kontan, majikannya semakin murka. Ia memetik sebuah delima lagi untuk ketiga kalinya, tetapi rasanya makin kecut.
Setelah itu, majikannya bertanya, “Apakah kamu tidak bisa membedakan mana yang manis dan mana yang asam?”
Mubarak menjawab, “Tidak.” “Bagaimana bisa?” tanya majikannya. “Sebab aku tidak pernah makan buah dari kebun ini sampai aku benar-benar mengetahui kehalalannya.” jawabnya.
Si pemilik kebun terkesima mendengar jawaban itu. Hanya seorang pembantu tetapi ia begitu jujur. Sosok Mubarak seketika begitu agung dan mulia di matanya. Anak wanitanya telah sering dilamar, pun ditawarkan untuknya.
Ia berkata, “Wahai Mubarak, menurutmu siapa yang pantas memperistri putriku ini?” “Dulu orang-orang jahiliyah menikahkan putri-putri mereka lantaran keturunan. Orang Yahudi menikahkan karena harta, sementara orang Nasrani menikahkan karena parasnya. Dan umat ini menikah karena agama.” jawab Mubarak.
Sang majikan kembali dibuat takjub dengan ucapannya itu. Akhirnya ia pergi menemui istrinya. Katanya, “Menurutku tidak ada yang lebih pantas untuk putri kita ini selain Mubarak.”
Mubarak pun kemudian menikahinya dan si majikan yang telah jadi mertuanya, memberinya harta yang melimpah. Di kemudian hari, istri Mubarak melahirkan Abdullah bin Mubarak, seorang alim dan ahli hadits yang zuhud yang merupakan hasil pernikahan terbaik kala itu. Sampai-sampai Fudhail bin Iyadh berkata, “Demi pemilik Ka’bah, kedua mataku belum pernah melihat orang yang menyamai Ibnu Mubarak.
Kisah di atas memberikan pelajaran (ibrah) yang sangat berharga kepada kita dan calon pemimpin daerah khususnya –disaat negeri ini diguncang aksi kebohongan– bahwa kejujuran (ash-shidq) akan mengantarkan bagi pelakunya kepada kemujuran hidup. Mujur (hasanah) di dunia seperti yang diperoleh Mubarak, dan mujur di akhirat dengan meraih surga-Nya. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 201).
Ini yang dimaksud dalam hadis Nabi SAW, “Hendaklah kamu semua bersikap jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke surga.” (H.r. Muslim). Dalam hadis yang lain, “Maka sesungguhnya jujur adalah ketenangan dan bohong adalah keraguan.” (H.r. Tirmidzi).
Kejujuran mendatangkan keberkahan hidup. Rasulullah SAW bersabda, “Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut. Sebaliknya, bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan hilanglah keberkahan bagi mereka pada transaksi itu.” (Muttafaqun ‘alaih).
Dalam hadis yang lain, “Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang berbuat makar dan pengelabuan, tempatnya di neraka.” (H.r. Ibnu Hibban).
Orang jujur pasti mujur, sedangkan orang yang bohong pasti tersungkur. Oleh karena itu, sebagai pejabat, politisi, pendidik, pengusaha, petani dan sebagai apapun kita hendaknya selalu berlaku jujur.
Pun, sebagai calon pemimpin daerah harus jujur sebelum resmi menjadi kepala daerah, selama, dan setelah memimpin. Pemimpin yang jujur akan mujur di dunia dan mujur di akhirat. Sedangkan pemimpin yang tidak jujur, maka bisa “mujur” di dunia karena kelihaiannya dalam administrasi namun hancur di akhiratnya. Allah Maha Mengetahui apa yang kita perbuat.
Karena itu, para calon pemimpin daerah dan masyarakat mesti mengedepankan budaya malu. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di antara perkataan kenabian terdahulu yang diketahui manusia adalah apabila engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu!” (HR Bukhari).
Seiring semakin dekatnya kontestasi pemilihan pemimpin daerah acapkali budaya malu terabaikan. Untuk meraih tujuan yang mulia –menang dalam kontestasi– mesti menggunakan cara-cara yang dibenarkan secara perundang-undangan maupun secara agama.
Jangan sampai untuk mendapatkan hasil yang diinginkan namun menggunakan cara yang tidak dibenar. Sebab kadangkala muncul istilah “madu dan sirup” jelang pemilihan.
Madu maksudnya, dalam upaya menarik simpati hati masyarakat calon pemimpin dan pendukungnya menebar janji-janji manis. Setelah terpilih seringkali lupa, janji tinggal janji. Ingat janji adalah hutang yang mesti dibayar. Jika tidak dibayar di dunia akan ditagih di akhirat.
Sirup maksudnya serangan rupiah. Pada pemilu beberapa waktu yang lalu tidak sedikit incumbent atau petahana yang tidak terpilih karena sirup (serangan rupiah), yang sebelumnya dikenal dengan istilah serangan fajar. Apapun istilahnya madu dan sirup tidak dibenarkan.
Ingat apabila seseorang terpilih namun menggunakan cara yang tidak dibenarkan dalam perundang-undangan maupun agama maka seseorang bisa “mujur” di dunia namun hancur di akhirat. Sebab pertanggungjawaban di akhirat akan dilakukan seadil-adilnya.
Sebab “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (Q.S. Yasin [36]: 65).
Semoga Allah membimbing kita semua agar dijauhkan dari cara yang tidak dibenar sehingga mujur di dunia dan mujur di akhirat. Amin.
Imam Nur Suharno