KUNINGAN (MASS) – Pandemi Covid-19 semakin mengganas dengan varian Delta. Pemerintah semakin nampak bingung dan gagap mengatasinya. Kebijakan PPKM sudah kelima kalinya ditempuh hingga 23 Agustus 2021 nanti.
Meski belum menurunkan PPKM ke level 3, beberapa pemerintah daerah mulai menerapkan kebijakan pelonggaran baru demi menggairahkan ekonomi. Terlebih lagi daerah yang mengklaim sudah mengalami penurunan PPKM ke level 3, seperti Pemerintah Kabupaten Kuningan sebagaimana dilansir dari Radarcirebon. com (12/8/2021) telah memberi kelonggaran diizinkan dibukanya objek wisata dan sekolah tatap muka. Kelonggaran ini secara resmi tertuang dalam Surat Edaran Bupati Kuningan Nomor 443.1/1897/Huk tentang Perpanjangan PPKM Level 3 di Kabupaten Kuningan.
Kebijakan pelonggaran ditempuh mengingat beberapa indikator harian laju persebaran Covid-19, diantaranya kasus aktif menurun, tersisa di angka 458 orang, angka kesembuhan naik ke angka 12.254 orang, dan kasus kematian menurun ke angka 650 orang. Semua ini jika dibandingkan dengan data bulan Juli 2021, kurva persebaran relatif melandai dan menurun.
Pelaporan capaian ini juga sejalan dengan pelaporan nasional. Semua angka di indikator harian persebaran covid mengalami penurunan pada angka konfirmasi kasus harian, tingkat kasus aktif, positive rate, dan nilai rata-rata BOR. Sementara tingkat kesembuhan mengalami kenaikan.
Hal yang menarik diperhatikan adalah betapa beraninya pemerintah mengambil kebijakan diizinkan dibukanya objek wisata dan sekolah tatap muka, padahal pandemi covid masih sangat rawan. Pemerintah mengakui sendiri bahwa perkembangan menurunnya persebaran belum signifikan, masih dinamis, serta fluktuatif. Pemerintah juga mengakui belum berani mencabut total kebijakan PPKM.
Patut dikritisi terkait data-data yang diklaim telah mengalami penurunan. Disinyalir bahwa informasi tentang penurunan angka kematian dan angka terkonfirmasi positif mulai dilonggarkan. Hal ini karena jumlah spesimen yang diperiksa mengalami penurunan. Sebagaimana dinyatakan oleh Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito (Kompas.com, 21/7/2021).
Belum lagi adanya pemberitaan, bahwa lonjakan kematian karena covid banyak yang tidak terlaporkan. Begitu juga data yang terkonfirmasi positif. Hal ini terjadi karena terbatasnya pengecekan (testing) dan pelacakan, juga enggannya masyarakat melakukan pengecekan dan menghindari layanan rumah sakit karena takut dicovidkan. Ini terutama terjadi di masyarakat desa, kasusnya seperti fenomena gunung es. Sebagaimana dilaporkan kompas.id (3/8/2021).
Epidemiolog lapangan dari Universitas Jenderal Soedirman, Yudhi Wibowo, Selasa (3/8/2021) menyatakan bahwa rekan-rekan di jejaring epidemiolog lapangan, saat ini Covid-19 meluas di desa-desa. Banyak warga yang sakit dengan gejala Covid-19 tidak dilacak karena terbatasnya pemeriksaan, sehingga kasusnya seolah kecil, tetapi penyebarannya masif.
Kebijakan pelonggaran dimasa pandemi yang masih rawan tersebut semakin mengkonfirmasi bahwa pemerintah menerapkan herd immunity yang dikhawatirkan para epidemiologi di awal pandemi menjangkiti negeri ini. Herd immunity sejatinya membiarkan masyarakat bertarung sendiri di medan perang melawan virus. Pemerintah membiarkan seleksi alam terjadi. Masyarakat yang kuat akan menang, sedangkan yang lemah akan kalah. Maka wajar jika dikatakan nyawa masyarakat menjadi tidak berarti.
Disisi lain, adanya kebijakan vaksinasi mencapai 50% masyarakat, semakin menguatkan herd immunity adalah solusi yang ditempuh pemerintah menghadapi pandemi ini. Bupati Acep Kuningan menyatakan bahwa jika ingin pelonggaran, maka vaksinasi harus mencapai 50%. Kuningan sendiri terus menggenjot angka ini dengan programnya “Gerebeg Desa”. Vaksinasi dalam logikanya membentuk kekebalan tubuh pada segelintir orang, yang diharapkan nantinya mampu melindungi orang-orang yang lemah.
Kebijakan herd immunity ini ditempuh disinyalir sebagai solusi yang efektif dan murah melawan pandemi. Inilah wajah pemerintah yang sesungguhnya. Pemerintah sejatinya tidak serius dalam mengatasi pandemi. Nyawa rakyat tidak penting baginya. Sebaliknya, pemerintah lebih mengedepankan kepentingan para kapitalis. Bagaimana tidak, alasan mandegnya ekonomilah yang terus mengemuka sebagai alasan pelonggaran kebijakan ditengah masih rawannya pandemi.
Hal ini wajar terjadi ditengah pemerintahan kapitalisme sekuler. Dalam sistem ini, pemerintah hanya berperan sebagai regulator. Pemerintah hanya mengedepankan kemaslahatan kaum kapital/pengusaha, namun mengorbakan nyawa rakyat.
Berbeda dengan pemerintahan dalam sistem Islam. Islam menetapkan pemerintah memiliki dua fungsi, yaitu sebagai penggembala (raa’in) dan sebagai perisai (junnah). Sebagai penggembala dinyatakan dalam hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:
الإمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari)
Dalam hadits tersebut jelas bahwa para imam sebagai para pemimpin yang diserahi wewenang untuk mengurus kemaslahatan rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt kelak pada hari kiamat, apakah mereka telah mengurusnya dengan baik atau tidak.
Sementara sebagai perisai, dinyatakan dalam hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
”Sesungguhnya al-Imam itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll.)
Hadits di atas menjelaskan fungsi imam sebagai benteng, masyarakat akan berlindung padanya dan berada di barisannya untuk menjaga Islam. Bisa diartikan bahwa pemimpin adalah pelindung rakyatnya.
Dari dua fungsi tersebut, pemimpin jelas seharusnya bersungguh-sungguh mengurusi rakyat dalam mengatasi pandemi. Satu saja nyawa rakyat sakit, apalagi hilang, pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt kelak di akhirat. Kesadaran akan hal ini tentu akan menjadikan pemimpin lebih mengutamakan keselamatan nyawa rakyat, dibandingkan mengedepankan kepentingan ekonomi para kapital/pengusaha.
Dalam mengatasi pandemi, pemimpin akan menjalankan solusi sesuai dengan hukum-yang telah Allah tetapkan dan Rasul contohkan, yaitu kebijakan lockdown ketat, yaitu mengunci ketat wilayah wabah, dan melarang ketat penduduknya keluar, sedangkan penduduk wilayah yang tidak terkena wabah dilarang ketat untuk masuk. Pemerintah juga akan menjamin dan mensubsidi penuh seluruh kebutuhan asasi rakyat di wilayah wabah selama lockdown dilakukan, juga upaya pengobatan, pemulihan, pencegahan penyakit, serta peningkatan imun. Rakyat fokus untuk hal itu, tidak dibebankan dulu keluar mencari nafkah.
Pemerintah pun akan mensubsidi penuh seluruh hal yang diperlukan para tenaga kesehatan demi keoptimalan tugas mereka didalam melayani masyarakat terdampak, dari mulai APD, obat-obatan, alat-alat pengetesan, vaksinasi, hingga tunjangan penuh para nakes. Selanjutnya pemerintah juga akan mensupport dan mensubsidi penuh para ahli virolog untuk melakukan penelitian terhadap virus demi menemukan vaksin yang tepat dan pengobatan penyakit. Dan pemerintah pun mensubsidi penuh pembuatan vaksin sesuai kebutuhan.
Wallahu a’lamu bishshawaab
Penulis : Fathimah Salma
(Penggiat Litetasi)