KUNINGAN (MASS) – Akhir-akhir ini media-media indonesia ramai dengan pemberitaan tentang Reyhard Sinaga yang ditahan oleh kepolisian Manchester karena telah melakukan 136 kali perkosaan. Pemeberitaan tentang Reyhard menjadi viral di awal tahun baru 2020. Padahal kasus tersebut sebetulnya sudah berjalan sejak tahun 2017 silam.
Dengan bermodalkan GHB (gamma hydroxybutyrate), obat kategori C yang dilarang diperjual belikan secara umum, Reyhard dapat melakukan pemerkosaan terhadap korban-korbannya yang dengan mudah berdatangan ke apartemennya. Ya, karena GHB dikenal juga sebagai ekstasi cair yang dapat membuat pikiran seseorang bahagaia melayang bah berada di syurga, sehingga orang-orang memang mencarinya. Lalu ketika korban dalam keadaan teler karena GHB, Reyhard memperkosa korban yang rata-rata berumur 19 atau 20 tahun. Maka disebutlah istilahnya dengan ‘date rape’.
Saya tidak akan membicarakan panjang tentang bagaimana kehidupan seorang anak konglomerat tersebut, atau bagaimana perjalanan panjang kasus pemerkosaan terhadap sesama pria tersebut. Namun saya akan mengambil hikmah dari kasus yang menimpa Reyhard dari sudut pandangan pendidikan islam.
Dalam islam kita mengenal yang namanya ‘aqil’ dan ‘baligh’. Secara bahasa Aqil artinya berakal, sedangkan Baligh artinya sudah sampai atau dewasa. Para ulama telah membahas panjang lebar tentang Aqil dan Baligh tersebut, karena ini berkaitan pelaksanaan syariat islam. Bahkan para ulama juga sudah membahas tentang indikator dari keduanya, Aqil dan Baligh. Misal, Aqil indikatornya adalah sudah dapat membedakan mana yang berbahaya dan tidak berbahaya untuk dirinya. Lalu Baligh indikatornya adalah sudah bermimpi basah untuk laki-laki dan keluar darah haid untuk perempuan.
Aqil itu adalah kedewasaan mental sedangkan Baligh adalah kedewasaan emosional. Maka jika saya ibaratkan pada sebuah kendaraan, Aqil adalah ‘rem’ sedangkan Baligh adalah ‘gas’ karena berasal dari nafsu syahwat. Oleh karena itu dalam pendidikan islam Aqil dan Balihg selalu berbarengan menjadi salah satu syarat sah beribadah, ini berarti juga isyarat bahwa Baligh harus disertai dengan Aqil, kematangan nafsu harus dibarengi dengan kematangan berfikir, adanya ‘gas’ harus dibarengi dengan adanya ‘rem’.
Reyhard secara umur seharusnya sudah Aqil dan Baligh. Namun jika melihat indikator, Reyhard sudah baligh namun belum Aqil, karena dia belum bisa membedakan mana yang berbahaya atau tidak untuk dirinya. Bahkan menurut salah satu pemberitaan disebutkan bahwa Reyhard terlihat tidak merasa bersalah atas apa yang telah dilakukannya.
Hasil survei BKKBN Jogja pada bulan Juni 2018 menyatakan bahwa 2035 diperkirakan kedewasaan mental (aqil) baru terjadi di usia 30 tahun. Disisi yang lain banyak Dokter yang mengatakan bahwa hari ini kita berada pada era eraly puberty, anak-anak usia 9 tahun sudah baligh dan nafsunya mulai bergejolak. Itu artinya bersamaan dengan melambatnya Aqil sebagai rem, justeru gas nafsu (baligh) terakativasi semakin cepat. Inilah yang harus menjadi perhatian kita bersama. Pantas Robert Eipstein seorang Psychology pernah menyatakan, “Kita menghasilkan generasi sampah (trashing teen), melakukan pembocahan (infantilization), dan memperpanjang masa kanak (extended childhood). Inilah yang berbahaya. Inilah permasalahannya.
Arus teknologi yang begitu cepat dan arus informasi yang begitu mengkilat mempercepat proses pubersitas, sedangkan disisi yang lain orangtua begitu sangat memanjakan anak-anaknya, hidup tanpa ada masalah karena semuanya dipermudah menjadikan perkembangan kedewasaan berfikir anak terhambat.
Dari kasus Reyhard semoga kita semua dapat mengambil pelajaran. Jangan sampai Reyhard- Reyhard lainnya bermunculan tanpa kita sadari disebabkan apatisnya kita terhadap permasalahan ini. Dan permasalahan ini adalah ‘PR’ besar kita bersama; pemerintah, lembaga pendidikan, guru-guru, dan orangtua. Mencegah lebih baik daripada mengobati.***
Oleh: Ade Zezen, S.Pd
(Ketua KAMMI)