KUNINGAN (MASS) – Dalam perguruan tinggi terdapat tri dharma perguruan tinggi yang salah satunya yaitu untuk mengabdi kepada masyarakat. Melalui ide dan pemikiran cerdasnya kaum intelektual ini harusnya mampu membawa Indonesia lepas dari persoalan–persoalan sosial. Terkhusus dalam hal pengabdian, mahasiswa hanya akan mendapatkan predikat sukses dalam pengabdiannya jika mereka telah dapat memadukan konsep pengajaran dan penelitian lewat sebuah pemahaman serta sifat kepemimpinan yang baik. Kepemimpinan akan memupuk diri mahasiswa menjadi seorang individu yang mampu berkarya dan mempunyai pengaruh yang besar bagi kampus, masyarakat, dan bangsa.
Sembilan juta lebih mahasiswa di Indonesia dengan berbagai fokus bidang yang berbeda ini dipaksa oleh sistem ataupun passion-nya untuk memenuhi kebutuhan peradaban. Sementara menurut riset, untuk mencapai kondisi ideal, Indonesia membutuhkan 270.000 dokter, 3000 aktuaris, dan masih banyak lagi sektor yang harus dipenuhi oleh para mahasiswa.
Fenomena lain yang tak kalah menarik adalah orientasi kebanyakan individu mahasiswa itu sendiri. Bersekolah, kerja, mendapat gaji cukup, dan hidup bahagia, itu menjadi situasi dambaan banyak mahasiswa saat ini. Tak salah memang, sudah menjadi dasar sifat manusia untuk mencari kenyamanan hidup.
Kondisi lingkungan Indonesia pasca reformasi menghadirkan kenyamanan tersendiri. Tidak ada gejolak nyata ataupun common enemy, sehingga nampak seperti semuanya tidak ada yang salah. Lupa melihat masih ada rakyat yang susah, dikatakan kebanyakan mahasiswa sekarang cenderung hedonis dan kurang merakyat. Katanya penyambung lidah rakyat?
Niat berkontribusi untuk bangsa, tapi terpelintir istilah nanti saja kalau sudah sukses, lantas sekarang fokus kuliah tanpa peduli apa yang terjadi dengan bangsanya. Ada yang berkata, “Cara paling efektif untuk merusak suatu bangsa adalah dengan membuat para pemudanya tidak kenal sejarah”. Bagaimana bisa kita berkontribusi untuk bangsa sedangkan sejarah akar masalahnya saja kita tidak paham karena tidak memerhatikan sedari dulu?
Faktor-faktor yang memengaruhi hal tersebut meliputi tingkat kesadaran politik, motivasi pribadi, dan dukungan dari institusi pendidikan mereka. Namun, haruskah mahasiswa berpolitik? Mengutip perkataan dari salah satu tokoh penulis favorit saya, Bertolt Brecht mengatakan, “Buta yang terburuk adalah buta politik”. Dia tidak mendengar, tidak berbicara dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik.
Orang yang buta begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Ia tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, politisi buruk, dan rusaknya perusahaan nasional dan multinasional.
Politik Sebenanya memiliki andil yang sangat besar bagi berlangsungnya kehidupan berbangsa dan bernegara, untuk itu kita semua sebagai warga masyarakat harus turut andil didalamnya. Politik telah menjangkau seluruh aspek-aspek dalam tiap sendi kehidupan bernegara, mulai dari kehidupan sosial, ekonomi, kebudayaan, pembangunan hubungan masyarakat, serta kebijakan nasional. Lebih dari itu isu politik hendaknya menjadi agenda mendesak yang harus dibicarakan oleh semua kalangan intelektual maupun masyarakat awam.
Dalam bentangan sejarah negeri ini, mahasiswa memiliki peran besar sebagai agen perubahan. Peristiwa tritura, supersemar, sampai pada penggulingan rezim otoriter, pemuda mengambil peran penting yang banyak dalam hal ini. Dan saatnya kini Indonesia memerlukan pemuda dalam mengisi kemerdekaan yang telah dicapai orang-orang terdahulu, salah satunya pemuda harus berkiprah dalam dunia politik. Sudah seharusnya dan semestinya kita mau mengalokasikan waktu dan tenaga untuk berpartisipasi aktif sesuai kapabilitas yang kita miliki.
Penulis:
Latif Pratama, Mahasiswa STKIP Muhammadiyah Kuningan