KUNINGAN (MASS) – Kadang saya berpikir kenapa manusia membunuh hanya karena alasan remeh temeh.
Ya, saya beberapa kali membaca berita pembunuhan dengan motif yang dalam asumsi saya alasannya remeh temeh, misalnya karena dilempar pop corn atau karena tidak mengucapkan terima kasih setelah sebelumnya dibuatkan makanan.
Kemarin saya menonton film Parasite. Awalnya film layaknya film komedi korea lainnya. Lelucon konyol Seperti hukuman menirukan Kim Jong Un atau menjahili peran lain.
Singkatnya setengah jam pertama film ini seperti standar film komedi dalam kategori aman. Humornya banyak ditemukan di film korea lainnya, hanya seperti repetisi. Tidak ada yang istimewa.
Selebihnya film ini sangat menarik. Film ini ini mampu men-describe bahwa manusia, mungkin lebih tepatnya manusia modern dengan kompleksitasnya memiliki standart hidupnya masing – masing. Ada yang memilih standar hidupnya kekayaan, jabatan, pengabdian atau keserdehanaan atau beberapa hal abstrak lainnya. Kesemuanya memiliki tujuan untuk mencapai katankanlah kebahagian. Oleh karena itu menilai standart hidup orang lain dari standart yang kita gunakan menjadi tidak fair.
Tetapi ada pula yang masih mempertanyakaan terus-terus menurus (cenderung meragukan?) sampai usia senjanya, apakah standart yang dimiliki guna capaian kebahagian memang benar-benar dapat mencapai kebahagian? Atau memang banyak manusia-manusia seperti itu hanya saja kita denial mengakuinya. Entahlah.
Sosok seperti itu benar – benar memukau dalam diri Ki Taek praktis hanya dalam percakapan singkat dan bahasa non verbal atau gesture. Bagaimana dia mempertanyakannya apakah majikan barunya Tn Park benar-benar mencintainya istrinya meskipun istrinya tidak becus mengurus rumah dan tak bisa memasak.
Sedangkan istrinya Ki Taek meskipun hidup dalam kemiskinan pandai mengurus rumah dan memasak bahkan memasak makanan yg baru dia dengar namanya dalam waktu 8 menit saja. Karena itu, Pertanyaan tentang perasaan cinta kepada istrinya dr Ki Taek terhadap Tuan Park menegaskan tidak lebih nilainya hanya membandingkan hidup dengan orang lain, yang biasanya dilakukan oleh seorang peragu.
Ki Taek lebih memilih keadaan seperti itu disimpan dalam batinnya ketimbang mensyukuri bahwa apa diliat istimewa dari orang lain tidak selamanya istimewa. Padahal jika kita menempatkan diri sebagai Ki Taek, kita punya amunisi untuk arogan, misalnya dengan mengatakan “Meskipun miskin istri aing mah bisa masak enak”.
Tentu saja kita gampang mengatakannya jika kita menilai standart hidup orang lain dari standart yang kita gunakan. Bagi orang yang menganggap memiliki rencana adalah omong kosong seperti Ki Taek. Memilih tidak mensyukuri apa yg ada sebenernya kontrakdiktif. Bagaimana tidak kontrakdiktif?
“Lu membiarkan hidup mengalir tanpa rencana dan harapan tetapi lu seperti ga bersyukur dengan apa lu punya, piye toh”
Sutradara Bong Joon Hoo secara jenius dan memukau mampu mempresentasikan gejolak batin Ki taek dalam percakapan sederhana, tanpa pretensi serta satire khas working class. Dengar saja ketika dia Mabuk di rumah yg bukan miliknya “orang kaya itu baik, karena dia kaya”. Sebuah kritikan atas arogansi moral untuk kaum menengah atas yang merasa istimewa karena melakukan kebaikan. Atau ketika scene dia super baper ketika istri Tuan Park, Yeon Kyo membukakan jendela mobil karena bau badannya. Padahal dia baru saja bangun dari tidur di lantai jalan setelah semalaman melawan banjir.
Memang wangi seperti apa yang kita harapkan dari orang yang mengalami musibah seperti itu? Pada akhirnya Ki Taek membunuh tuan Park karena perasaan bapernya itu. Singkatnya, perasaan remeh temeh kita anggap dari orang lain, ternyata memilki kompleksitasnya sendiri.
Menariknya film ini mampu mengemas ironi-ironi tanpa harus memaksa penonton untuk memahaminya. Scene Keluarga Ki Taek mampu mentertawakan pemabuk yang selalu kencing sembarangan dari balik jendela rumah super sumpek. Sedangkan di rumah tuan Park yang luasnya mungkin bisa menampung satu RT dari balik jendela mereka khawatir karena anaknya hobi berkemah di luar jendela.
Hal lainnya kecerdasan sebenernya bukan monopoli kaum menengah keatas. Istri dari tuan Park sangat polos dan bodoh sehingga mudah sekali dibodohi keluarga Ki Taek. Bahkan untuk mengajar kursus private anak-anak dari keluarga tuan Park yang notabanenya anak orang kaya tidak perlu ijazah asli.
Paling ironis dari semua itu ketika mereka mendapati rumah tempat mereka menghabiskan makan siang bersama kebanjiran, setelah kabur dari rumah majikannya yang dipakai untuk mabuk-mabukan. Scene anak perempuannya, Ki Jeong menyelamatkan rokok dan uang tabungan yang tidak seberapa di tengah banjir terasa menyedihkan tanpa harus terlihat cengeng.
Akhirnya menjadi klise rumah adalah bukan tentang apa diliat tetapi tidak lebih tentang tempat untuk kembali pulang, seperi eklsplisit diisaratkan dalam lagu kunto aji di lagu Saudade atau Float di lagu pulang.
Pacarku yang menonton ini bilang “kasihan yah tuan Park nya mati padahal dia Baik” saya justru berpikir kebalikannya. Seperti pernyataan Ki Taek dalam keadaan mabuk “orang kaya baik karena dia kaya”. Sedangkan kenyataannya tuan Park lebih memilih orang-orang membosankan datang ke pestanya ketimbang memberikan bantuan pada korban banjir. Mengingat pesta dadakan di rumah Tuan Park dan suasana pasca banjir berada dalam timeline yang sama. Jika ada alasan Tn park tidak mengetahui peristiwa banjir karena tidak update / ketinggalan. Hal tersebut tidak make sense untuk di negara Korea yang kecepatan internetnya melebihi negara manapun serta Tn park untuk kegiatan sehari harinya sudah dibantu oleh asisten-asistennya.
Di sisi lain Moon Gwang mantan asisten rumah tangga yg dipecat hasil konspirasi keluarga Ki Taek sebelun kematiannya mengisaratkan kepada suaminya yg rada-rada Psikopat bahwa istri Ki Taek, Choong Sook adalah orang baik karena sudah membantunya memberikan makan kepada suaminya. Tujuan sebenernya isyarat terakhir itu agar suaminya tidak melakukan teror sehingga melukai banyak orang. (atau mungkin disinilah letak plot wist-nya)
Gejolak batin tentang gagasan kebahagian, arogansi moral, kebaikan dan kejahatan dan kenyataan tidak dibingkai dalam sprektrum hitam dan putih.
PURE GENIUS
Sudah sepantasnya film ini berhasil sebagai film Asia pertama yg meraih penghargaan Piala Oscar. Mengutip kritikus film dari LA Times, Justin Chang, Oscar lebih membutuhkan Parasite daripada kebalikan.
Publik AS negara tempat Piala Oscar diselenggarakan cukup antipati menonton film asing karena kendala bahasa, seperti yang dikatakan Stephen Galloway, lewat “How Hollywood Conquered the World (All Over Again)” yang dipublikasikan Foreign Policy (2012). Parasite sendiri meraih 3 kategori, Film Terbaik, Sutradara Terbaik dan Film Internasional Terbaik. Kemenangan tersebut setidaknya dapat sedikit memperbaiki citra AS melalui institusi bernama Piala Oscar sehingga dianggap mampu menerima keterbukaan dari luar. Apalagi untuk sekarang ini, karena publik AS terpaksa menerima “parasite” dari presiden terpilih sebagai representasi kepada dunia luar.
Just FYI: Presiden AS Donald Trump, dikenal sebagai presiden super rasis.
Gema Ganeswara