KUNINGAN (MASS) – Ketua Pansus VIII DPRD Jabar Yosa Octora Santono SSi MM menerangkan, pihaknya tengah bekerja dan telah melakukan serangkaian kunjungan kerja.
Hal ini untuk menggali informasi dan masukan termasuk juga menyerap aspirasi dari berbagai stakeholder dan pemangku kepentingan perkebunan.
Ia menyebutkan, hasil sementara Pansus VIII menemukan sejumlah permasalahan di lapangan, yang dikategorikan menjadi 5 permasalahan.
Adapun kelima permasalahan tersebut yaitu masalah asset, masalah demplot pembibitan.
Selain itu juga masalah konflik kepentingan, masalah ahli teknolgi dan SDM serta masalah market produksi perkebunan.
“Kelima masalah itu kita harapkan dapat teruraikan setelah terbitnya Perda Jabar tentang Penyelenggaran Perkebunan. Jadi Raperda ini setelah disahkan menjadi solusi/ payung hukum di sektor perkebunan,” sebut pria yang mewakili Partai Demokrat dari Dapil XIII Jabar di ruang kerja Fraksi Partai Demokrat DPRD Jabar.
Mengenai masalah Asset, lanjut putra pertama mantan anggota DPR RI Amin Santono dan mantan Anggota DPRD Jabar Yoyoh R pihak Pemprov Jabar itu, melalui Biro Asset Daerah menyampaikan kepada Pansus VIII, bahwa asset lahan perkebunan Jabar luasnya mencapai lebih dari 1.000 Hektar.
Namun, yang baru disertifakasi/ Legalitas lengkap hanya seluas 220 Hektar. Selebihnya, legalitasnya masih belum jelas.
Meski begitu masih tercatat sebagai asset daerah, sehingga permasalahan asset ini sering menjadi temuan BPK.
Sebagai contoh, Pemprov Jabar punya asset di Sumedang sekitar 100Ha, tapi tidak dikelola, akhirnya digrogoti oleh masyarakat, karena tidak dipagar dan tidak dijaga dengan ketat.
“Begitu juga beberapa asset Pemprov yang tersebar di seluruh Kabupaten se-Jabar. Untuk itu, kalau Perda Perkebunan ini sebagai landasan, maka sambil jalan kita benahi soal asset,” tandasnya.
Kemudian masalah kedua adalah Demplot Pembibitan Perkebunan, dimana sampai saat ini belum ada hasil kajian dan teknologi.
“Mana bibit (Kopi, Teh) yang cocok ditanam dan dikembangkan di Kabupaten di Jabar. Jadi Pemprov itu belum punya demplot bibit untuk perkebunan, sehingga tidak punya bibit yang terbaik untuk ditanam di daerah yang mana,” tandasnya.
Diterangkan, kalau bibit baik lalu tanahnya jelek. Kemudian bibit baik, tanah bagus tapi ketinggian yang berbeda tentunya produksinya tidak akan maksimal.
Bahkan lanjut dia, saat pihaknya kunjungan ke perkebunan swasta di Pangalengan, malah dijadikan tempat belajar bagi intansi pemerintah/ dinas terkait.
“Ada yang dari dari Cirebon, Kuningan, Cianjur, Sukabumi. Kalau saja Demplot pembibitan pemprov Jabar dapat menghasilkan bibit yang cocok sesuai dengan kondisi alam dan ketinggian, tentunya produksi perkebunan pasti terbaik,” bebernya.
Adapun masalah ketiga yakni konflik kepentingan antara BUMN (Perkebunan), Dirjen Perkebunan, Provinsi dan Kabupaten. Hal ini, seharusnya tidak perlu terjadi kalau satu sama lain saling mengerti.
Sementara masalah keempat yaitu ahli teknologi dan SDM. Saat ini para generasi muda Jabar sudah sangat sedikit yang berminat bergerak dibidang perkebunan, sehingga terpaksa di impor tenaga kerja dari luar Jabar.
Selain itu, sekarang mayoritas memetik teh sudah menggunakan teknologi. Hal ini pastinya akan membuat rasa yang dihasilkan teh berbeda.
Untuk masalah kelima adalah aspek market. Produksi Kopi dan Teh Jabar dibeli oleh orang luar.
Sebagi contoh kopi dari Jabar dibeli oleh pengusaha Lampung namanya jadi Kopi Lampung. Ini permasalahannya, karena tidak ada kesepakatan antara stakeholder dangan kebijkan pemerintah provinsi.
“Jadi, kita harapkan dengan Perda ini, produksi kopi dan teh memiliki ciri khas tersendiri. Misalkan Kopi Jabar dilabelin dengan Kopi Prianger atau Malabar,” ucapnya mengakhiri. (agus)