KUNINGAN (MASS) – Pernyataan anggota dewan yang terhorman Bpk. Rana Suparman, politisi senior PDI Perjuangan, yang menyebut bahwa predikat WDP (Wajar Dengan Pengecualian) adalah bukti kegagalan pemimpin dari kalangan birokrat patut disikapi secara lebih jernih.
Alih-alih menjernihkan suasana, pernyataan itu justru memperkeruh logika publik: seolah-olah WTP adalah medali moralitas, dan WDP adalah cermin kebodohan.
Padahal kita semua tahu: di negeri ini, tak sedikit kepala daerah yang menerima WTP dan akhirnya menerima pula dakwaan KPK.
Predikat WDP atau WTP, Bukti Politisi Murni Lebih Unggul Ketimbang Birokrat
WTP: Antara Laporan dan Kenyataan
WTP hanyalah opini BPK terhadap kelengkapan dokumen dan sistem pengelolaan keuangan. Tapi tidak semua WTP adalah tanda bahwa pemerintahannya bebas dari penyimpangan.
Contohnya?
Bupati Bogor nonaktif Ade Yasin sempat dapat WTP, namun akhirnya ditangkap KPK karena dugaan suap kepada auditor BPK.
Gubernur Papua Lukas Enembe juga pernah menikmati predikat WTP, namun kemudian ditetapkan sebagai tersangka korupsi gratifikasi ratusan miliar rupiah.
Bahkan mantan Wali Kota Cimahi, Ajay Priatna, menerima WTP sebelum dijerat kasus suap pembangunan rumah sakit.
Jadi kalau WTP dijadikan alasan untuk menyimpulkan politisi lebih unggul dari birokrat lalu bagaimana kita menjelaskan nama-nama di atas?
Audit Tak Bisa Menyapu Debu di Bawah Karpet
Pj Bupati Iip Hidajat yang pada tahun 2024 menjabat, adalah seorang birokrat. Memang, di masa kepemimpinannya Kuningan turun menjadi WDP. Namun menyalahkan beliau secara tunggal tanpa mengaudit sistem yang diwariskan, sungguh tidak adil.
Sebab:
Ia memimpin di tengah transisi politik dan fiskal.
Ia mengelola anggaran yang sebagian besar telah ditetapkan sebelumnya oleh Bupati yang nyaris semuanya dari politisi.
Dan ia tidak punya kekuatan politik penuh seperti bupati definitif.
Maka, menyimpulkan WDP sebagai akibat langsung dari ketidakcakapan birokrat adalah cara berpikir yang tergesa dan menyederhanakan persoalan struktural.
Yang Lebih Penting: Tata Kelola, Bukan Asal Usul
Kita boleh mengusung siapa saja di pilkada nanti dari kalangan politisi, aktivis, birokrat, akademisi, bahkan seniman sekalipun. Tapi kita harus sepakat bahwa integritas dan kemampuan membenahi sistem jauh lebih penting daripada latar belakang.
Politisi mungkin unggul dalam komunikasi publik.
Birokrat unggul dalam penguasaan sistem.
Tapi yang dibutuhkan rakyat adalah pemimpin yang tahu cara menggerakkan keduanya secara seimbang.
Catatan Terakhir: Berhenti Menilai dari Warna Baju
Pak Rana, boleh saja Anda mengkritik. Demokrasi memang memberi ruang untuk itu.
Tapi mohon, jangan bawa rakyat ikut larut dalam dikotomi palsu antara “birokrat gagal” dan “politisi unggul”.
Terlebih saat ini Bupati Kuningan berasal dari birokrat. Pernyataan ini meskipun sah – sah saja hanya menambah gaduh bukan teduh.
Saran saya. Pak Rana bantu Kuningan agar berhasil lolos dari gagal bayar. Kemudian bantu juga bersihkan anggota dewan yang niretika terjerat kasus amoral. Selain itu PKL juga yang masih terombang ambing pendapatanya butuh uluran tangan dari Bapak.
Tapi. Jika Bapak masih kekeuh berpendapat bahwa ungkapan Bapak itu benar. Silakan tuangkan dalam opini seperti ini agar enak dibaca secara komprehensip tidak hanya lisan yang dikutip. Saya akan merasa bangga bisa berdiskusi tulisan berbobot dengan wakil rakyat yang terhormat.
Sebagai penutup. Di era sekarang, rakyat tak butuh label.
Yang dibutuhkan adalah pemimpin yang murni niatnya, bersih jalannya, dan serius menata sistemnya.
Oleh: Novi Tri Mulyani – Kader PMII Cabang Cirebon