KUNINGAN (MASS) – Hari ini ruang publik telah dipenuhi oleh berbagai macam opini. Semua tidak lepas dari perhatian apa-apa yang telah terjadi, direkam dan tercakup oleh ruang dan waktu.
Kendati demikian, kita tidak perlu memikirkan antara baik dan benar, indah dan buruk yang patut diperhatikan ialah konsekuensi.
Wabah penyakit memang sudah menjadi konsekuensi bagi masyarakat yang bermukim. Hari ini, umat manusia mau tidak mau menjadikan usaha untuk melawan pandemi sebagai agenda besar.
Hanya saja, wabah kali ini berbeda. Ya, Covid-19. Bagi penulis, di balik ancaman yang berlaku terhadap kemanusiaan.
Wabah ini telah membangun sesuatu yang baru. Sebut saja ia New Normal atau akrab dengan AKB (Adaptasi Kebiasaan Baru).
Sesuatu itu bisa berupa hegemoni. Oh ya, hegemoni itu terjadi karena hubungan antara kelas dan kekuatan sosial.
Secara tidak langsung hubungan tersebut bisa menimbulkan gerakan tertentu misalnya yang paling biasa ialah kritikan atau cibiran.
Seperti kejadian baru-baru ini yang cukup ramai. Kita sebut saja NR seorang yang menjabat sebagai ketua dewan dengan quotesnya “limbah” yang menimbulkan polemik.
Iya, kata memang tidak pernah salah, namun tafsirannyalah yang menentukan.
Sebagai warga Kuningan, khususnya di Manis Kidul. Saya sangat sepakat jika memang quotes “Limbah” diaktualkan pada calon-calon investor atau pemilik industri agar menjaga lingkungan.
Bukan berarti saya tidak sepakat atas quotes beliau pada HK dan AM. Sungguh, sebagai warga Desa Manis Kidul memang miris.
Pertanyaannya, apakah lembaga-lembaga pendidikan lainnya juga merupakan klaster penyebaran virus Covid-19?
Memang petuah sudah berquotes “Mencegah lebih baik dari pada mengobati”. Ketika usaha pencegahan sia-sia, kalau obatnya belum ada bagaimana?
Hayo, bingung kan? Bingung dong! Makanya, bagi lembaga-lembaga pendidikan seyogianya memerhatikan protkes! Kalau sudah begini saya selaku warga biasa mungkin hanya bisa perbanyak istigfar.
Untuk beliau (Pak NR), saya percaya beliau merupakan salah satu putra terbaik Kuningan, buktinya sekarang ada di posisi itu.
Namun, sangat disayangkan beliau enggak belajar apa itu majas sindiran. Makanya, selain miris gara-gara Covid-19, sosok pemimpin yang kurang bijak dalam berbahasa juga berada dalam kemirisan.
Mungkin saya enggak akan terlalu menyalahkan dan menyarankan mundur seperti yang lain-lain.
Coba deh, cari guru bahasa yang baik dan kompeten agar bisa berbahasa yang bijak dan lembut.
Toh, bayarannya juga enggak bakal lebih dari 1/4 tunjangan Bapak, kok. Karena, mana mungkin pemimpin enggak mampu beretorika dengan baik.
Kalau boleh kembali bertanya, apa salahnya kalau harus belajar lagi, kan?***
Penulis : Inggil Abdul Kahfi
Warga Manis Kidul, Kuningan