KUNINGAN (MASS) – Campur aduk antara suasana haru, sedih atau kaget, tergambar dalam rapat orang tua siswa SMPN 6 Kuningan, yang anak-anaknya bakal dipindah ke SMPN 3 Kuningan.
Dalam rapat yang digelar pada Kamis (18/9/2025), orang tua dan bahkan guru-guru SMP 6 nampak emosional atas putusan merger ke sekolah lain,
Maklum, situasi ini dianggap terlalu cepat, mendadak, dan bahkan ada yang baru tahu saat rapat bahwa anaknya akan melepas seragam SMPN 6 Kuningan, di rapat tersebut.
Pantas saja, setelah pengarahan dari guru SMPN 6 Kuningan, penerimaan dari SMPN 3 Kuningan, air mata dari orang tua siswa tak terbendung ketika bermusafahah di akhir.
Saat keluar ruangan, mata mereka masih merah, sembab. Basahnya air mata juga masih menempel di pipi. Orang tua siswa mengaku, yang paling mereka khawatirkan adalah kondisi psikologis anak, yang tiba-tiba harus adaptasi di tempat baru, padahal semester masih berjalan.
“Anak anak mau ujian, jadi ya merasa gimana gitu, kasian ke anak-anaknya. Apalagi kan kemarin seminggu daring,” kata Cucu, dibarengi Titi dan orang tua siswa lainnya, cemas soal anak.
Hal senada juga disampaikan Hj Nung Marzuki. Ibu dari siswa kelas 9 itu mengaku sangat sedih, apalagi kondisi ini tidak seperti yang diwacanakan di rapat awal pada bulan Agustus lalu.
Hj Nung Marzuki, orang tua salah satu siswa SMPN 6 Kuningan. (Foto: eki nurhuda)
Awalnya, wacana yang muncul adalah renovasi rintisan Sekolah Rakyat ini, akan terus berbarengan dengan pembelajaran SMPN 6 Kuningan.
Bahkan nanti jika Sekolah Rakyat utama di Cikondang Luragung sudah rampung dibangun, para siswa Sekolah Rakyat dipindah kesana. Sementara asset yang sudah direnov ini, akan dikembalikan ke Disdikbud.
“Katanya (dulu) kita bisa belajar bareng di tempat sama, Sekolah Rakyat jalan SMPN 6 berjalan,” kata Nung Marzuki.
Karenanya, ia juga kaget saat mendengar statemen Wakil Bupati melalui akun instagramnya, bangunan itu disebut eks SMPN 6 Kuningan, padahal saat itu pembelajaran masih berjalan.
Belum lagi, ia kemudian mendengar cerita dari sang anak bahwa fasilitas komputer si sekolahnya dicabut. Dan arahnya kemudian terlihat, akan memindahkan siswa.
“Saya sangat kecewa sehingga anak tidak bisa belajar leluasa,” ucapnya sembari mengaku sempat mencoba bersurat pribadi ke Disdikbud, Dinsos, hingga Partai Golkar, pengusung utama Bupati.
Soal pendidikan SMPN 6 Kuningan, Hj Nung bercerita banyak bahwa meski muridnya sedikit karena korban zonasi, tapi berprestasi dengan baik. Juara 1 proses ANBK, literasi dan administrasi serta chemistrinya bagus. Ibaratnya, murid terbatas mmebuat guru lebih banyak bersentuhan dengan murid.
“Anak saya insecurenya tinggi, dulu (di SD) terbully. Pas masuk SMP rasa PD (Percaya dirinya) tumbuh,” aku Hj Nung, sembari mengatakan pertumbuhan itu juga terlihat dari siswa lain.
Soal merger sendiri, ia menilai hal ini terlalu cepat dilakukan. Harusnya ada pengkondisian terlebih dahulu, bahkan bila perlu nanti dilakukannya saat ajaran baru.
“Pertimbangkan psikologi anak, hak anak dirampas,” imbuhnya.
Hj Nung juga menilai, pelaksanaan rintisan Sekolah Rakyat ini jadi tidak etis. Orang tua siswa seolah tak didengar dulu pendapatnya. Ia menyesalkan tiba-tiba ada keputusan begitu.
“Sekolah rintisan rakyat jangan sampai menjadi sekolah rintihan bagi yang lain,” tandasnya.
Di akhir Hj Nung mengaku orang tua siswa sudah terpaksa menerima keputusan merger. Meski begitu, ia berterima kasih pada SMPN 3 Kuningan yang menunjukkan keterbukaan menerima 45 anak didik dari SMPN 6 Kuningan.
Hj Nung juga mengamini, pihak orang tua mendesak kompensasi yang memang dibutuhkan sang anak. Mulai dari seragam atau buku bahan ajar yang mungkin belum dimiliki anak SMPN 6 Kuningan, agar tak dibebankan ke orang tua murid.
Ia berharap, Dinsos segera memberi tenggat waktu untuk kompensasi tersebut. Meski terkesan spele, atribut seragam ini penting untuk anak agar tak merasa terkucilkan saat beradaptasi.
Rencananya, para siswa akan mulai beradaptasi di SMPN 3 Kuningan pada hari Senin, pekan depan. Mereka akan diantar oleh guru dan orang tua/wali, dari sekolah lama ke sekolah baru. (eki)