KUNINGAN (MASS) – Deklarasi beberapa mahasiswi untuk mendukung salah satu paslon dalam Pilkada Kuningan tahun 2018 ternyata berbuntut panjang. Mengemuka berbagai komentar terhadap langkah yang ditempuh para mahasiswi itu.
Sebagian besar berkomentar negatif, bahkan ada pula yang mengecam langkah mereka sebagai tindakan yang mengkhianati independensi serta idealisme mahasiswa. Namun, ada pula yang memberikan dukungan dengan menyatakan bahwa gerakan atau langkah tersebut merupakan langkah wajar dan tidak menyimpang dari aturan atau norma apa pun.
Saya sendiri melihat gerakan tersebut sebagai langkah yang cukup berani di tengah sepinya gerakan mahasiswa. Bisa jadi, para penggagas aliansi tersebut tidak pernah menyangka bahwa langkah politis yang mereka lakukan memicu reaksi yang begitu semarak.
Langkah itu seperti mengungkit sebuah batu yang menutupi sebuah lubang, lalu dari dalam lubang itu muncul berbagai macam makhluk. Selama ini, tidak ada yang berani menjungkit batu yang menutupi lubang itu sehingga tidak pernah terdengar suara apa pun dan tidak pernah terlihat gerakan apa pun dari lubang tersebut.
Setelah batu itu diangkat, banyak orang yang muncul berbicara tentang idealisme, intelektualisme, independensi, dan etika politik mahasiswa. Mengemuka pula jargon-jargon terkenal, seperti mahasiswa itu agent of social change atau agent of control, dst.
Selama ini, ke manakah suara-suara itu? Apa yang telah dilakukan para aktivis gerakan mahasiswa untuk menjaga idealisme, intelektualisme, dan independensi mahasiswa? Di mana suara mahasiswa ketika para petani kehilangan lahan pertanian mereka, di mana mahasiswa ketika terjadi peralihan kepemilikan lahan secara besar-besaran sehingga karakter agropolitan Kuningan semakin hilang?
Di mana suara mahasiswa ketika TNGC makin kokoh mencengkeramkan kekuasaannya di kawasan Ciremai? Di manakah mahasiswa ketika usai CFD sampah menggunung dan berserakan? Di manakah mahasiswa ketika Kuningan kini menjadi langganan bencana alam akibat abainya masyarakat terhadap pelestarian lingkungan?
Selama ini nyaris tidak terdengar peran mahasiswa sebagai agent of control atau agent of social change, terutama di Kuningan, atau mungkin di berbagai daerah lain juga. Bahkan mereka sendiri nyaris tidak peduli dengan penguatan dan pengembangan kualitas diri mereka sendiri.
Berbagai organisasi ekstra kampus, misalnya, tidak terdengar melakukan aktivitas atau kegiatan yang menyasar pada pengembangan kecakapan akademis mahasiswa. Kegiatan yang selama ini mereka lakukan hanyalah pengkaderan dan rekrutmen anggota baru.
Jadi, bagaimana bisa para aktivis itu bicara tentang idealisme atau tentang peran mahasiswa sebagai agen perubahan masyarakat dan agen kontrol jika selama ini mereka tak melakukan apa-apa?! Bagaimana bisa bicara tentang independensi mahasiswa Jika LPJ pengurus organisasi ekstra kampus hanya diisi dengan kegiatan rekrutmen anggota baru dan kegiatan menghadiri atau berpartisispasi dalam kegiatan yang lain?
Jadi, anggap saja langkah pengagagas Gerimis itu sebagai gedoran keras di pintu kamar. Gedoran yang membangunkan mahasiswa dari tidur panjang mereka. Semoga setelah gedoran itu, muncul kembali kesadaran mahasiswa terhadap situasi sosial yang terus berubah, yang menuntut kecakapan untuk membaca gejala sosial, lalu merancang gerakan sosial yang benar-benar bermanfaat.***
Penulis : Dedi Ahimsa (Pengurus ICM Orda Kuningan)