KUNINGAN (MASS) – Polemik Open Bidding (OB) jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) Kuningan terus memantik pro-kontra. Namun kali ini suara berbeda datang dari kalangan mahasiswa. Rafly Maulana Akbar Wakil Ketua BEM Fakultas Hukum Universitas Bung Karno, menilai perdebatan yang muncul justru semakin menjauh dari persoalan utama masyarakat.
Selaku aktivis luar daerah yang selalu memperhatikan perkembangan Kuningan, Rafly menilai pernyataan dari tokoh-tokoh aktivis di kuningan perihal OB Sekda hanya sekedar masalah birokrasi yang syarat akan kepentingan politik dan golongan.
“Asep Papay terlalu sibuk membela bupati dengan dalih legalitas, sementara Sadam Husein hanya mengulang kritik soal anggaran tanpa solusi. Keduanya sekadar retorika, bukan jawaban atas keresahan publik,” ujarnya, Rabu (20/8/2025).
Ia menegaskan, masyarakat Kuningan lebih membutuhkan perhatian terhadap masalah mendasar ketimbang menyaksikan perdebatan politik soal OB Sekda.
“Apakah pantas ratusan juta rupiah dipakai untuk mengulang proses birokrasi, sementara sekolah rusak, guru kekurangan, dan rakyat kesulitan mengakses kesehatan?” tegasnya.
Rafly kemudian membeberkan sejumlah persoalan serius yang tengah dihadapi Kuningan. Antara lain dugaan penyimpangan miliaran rupiah di Disdikbud, keterlambatan pembayaran honor THL, hingga kerusakan 466 bangunan SD dan 31 ruang SMP. Selain itu, Kuningan juga masih menghadapi kekurangan guru berkualifikasi, kasus asusila di kalangan pelajar, serta fenomena guru dengan gangguan jiwa yang tetap mengajar.
“Belum lagi soal kesejahteraan guru honorer, lemahnya pendidikan karakter, dan fakta bahwa Kuningan belum masuk kategori Kabupaten Layak Anak,” jelasnya.
Di sisi sosial, ia menyoroti persoalan kesehatan dan bantuan sosial. Tercatat sekitar 14.000 warga masih menanti antrean untuk menjadi peserta PBI JKN, sementara 34.804 penerima bansos resmi dicoret berdasarkan verifikasi Kemensos.
“Ini bukan sekadar angka, tapi potret getir ribuan keluarga,” katanya.
Rafly meminta Bupati Dian Rachmat Yanuar agar tidak terjebak dalam pusaran polemik sempit yang menyedot energi politik dan anggaran.
“Reformasi birokrasi memang penting, tapi jangan sampai rakyat kembali dipaksa membayar ongkos politik yang mahal. Fokuskan pada pendidikan, sosial, dan kebutuhan dasar masyarakat,” tutupnya. (argi)