KUNINGAN (MASS) – Apakah jabatan publik di negeri ini telah menjadi hak istimewa bagi elite dan keluarga mereka?
Pertanyaan ini mengemuka ketika publik mengetahui bahwa 30 wakil menteri (wamen) di Kabinet Presiden Prabowo Subianto ditunjuk menjadi komisaris di berbagai BUMN.
Disaat bersamaan, publik juga mendengar kabar adik ipar Raffi Ahmad diangkat menjadi komisaris Sarinah.
Fenomena ini menimbulkan kegelisahan: di mana letak keadilan sosial dan demokrasi ekonomi kita?
Mahkamah Konstitusi (MK) sebenarnya telah menegaskan larangan rangkap jabatan bagi menteri dan wakil menteri melalui Putusan MK No. 80/PUU-XVII/2019.
Putusan tersebut menyatakan bahwa rangkap jabatan menimbulkan benturan kepentingan serius dan melanggar prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
Putusan MK bersifat final dan mengikat secara universal (erga omnes), namun pemerintah justru mengabaikan landasan konstitusi ini.
Dua aktivis hukum, Ilham Fariduz Zaman dan A. Fahrur Rozi, mengajukan uji materi kembali pada 15 Juli 2025 untuk menegaskan larangan tersebut agar negara tidak sewenang-wenang menggunakan kekuasaan.
Masalah rangkap jabatan wamen bukan sekadar melanggar aturan, tetapi juga mencederai integritas etika publik.
Bagaimana mungkin seorang wakil menteri yang seharusnya mengatur kebijakan dapat mengawasi BUMN secara objektif jika ia sendiri duduk sebagai komisaris di perusahaan yang diatur kementeriannya?
Ini seperti wasit yang juga menjadi pemain dalam pertandingan yang sama.
Akibatnya, tata kelola BUMN kehilangan fungsi check and balance. Risiko inefisiensi, moral hazard, bahkan kebocoran keuangan menjadi ancaman nyata yang pada akhirnya dibebankan kepada rakyat melalui subsidi dan pajak.
Dalam konteks adik ipar Raffi Ahmad, publik menilai penunjukan tersebut menegaskan bahwa jabatan komisaris kini bukan lagi tentang kapasitas profesional melainkan akses sosial dan nama besar.
Padahal, komisaris adalah pengawas strategis BUMN yang menuntut keahlian di bidang keuangan, tata kelola korporasi, hingga risiko bisnis global.
Ketika kursi ini diisi bukan berdasarkan kompetensi, maka BUMN tidak akan pernah menjadi lokomotif pembangunan ekonomi yang berkeadilan sosial.
Sebaliknya, BUMN hanya menjadi alat reproduksi kekuasaan elite.
Lebih ironis, fenomena ini terjadi di tengah gelombang PHK dan meningkatnya pengangguran nasional.
Saat rakyat kecil berjuang mempertahankan pekerjaan, pejabat justru menumpuk jabatan strategis dengan berbagai insentif finansial.
Bukankah esensi kepemimpinan adalah berbagi kesempatan, bukan menumpuk kekuasaan dan pendapatan bagi diri dan lingkarannya?
Gugatan uji materi yang diajukan ke MK menuntut pembatalan Pasal 23 UU Kementerian Negara yang melarang menteri rangkap jabatan sebagai pejabat negara lain, komisaris, atau pimpinan organisasi yang dibiayai APBN/APBD, serta Pasal 27B dan Pasal 56B UU BUMN yang melarang komisaris merangkap jabatan lain yang menimbulkan benturan kepentingan.
Semua pasal ini sejatinya mengacu pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa “setiap orang berhak atas kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Namun hari ini, rakyat menyaksikan bahwa hukum tidak berlaku sama. Profesional muda, akademisi, dan diaspora dengan kompetensi unggul di bidang bisnis, keuangan, dan industri global terpinggirkan, sementara kursi komisaris diduduki oleh mereka yang dekat dengan kekuasaan.
Demokrasi ekonomi yang seharusnya membuka akses kesempatan bagi semua berubah menjadi aristokrasi modern, di mana jabatan diwariskan kepada mereka yang memiliki hubungan darah atau sosial dengan elite politik.
Jika dibiarkan, praktik rangkap jabatan dan nepotisme komisaris BUMN akan menimbulkan krisis kepercayaan publik.
Rakyat akan kehilangan harapan bahwa integritas, kerja keras, dan kompetensi akan membawa mereka pada posisi strategis.
Sebaliknya, rakyat akan berpikir bahwa semua ditentukan oleh siapa yang mereka kenal, bukan apa yang mereka bisa. Di sinilah demokrasi ekonomi mati perlahan.
Apa yang seharusnya dilakukan Pemerintah?
Pertama, menegakkan putusan MK secara penuh tanpa tafsir elastis. Larangan rangkap jabatan wamen harus segera diimplementasikan dengan mencabut seluruh SK pengangkatan wamen sebagai komisaris BUMN.
Kedua, reformasi penunjukan komisaris BUMN dengan membentuk panitia seleksi independen berbasis kompetensi dan rekam jejak profesional, serta membuka proses seleksi secara transparan kepada publik.
Ketiga, DPR perlu memperkuat revisi UU BUMN dan UU Kementerian Negara untuk memastikan tidak ada celah bagi rangkap jabatan dan nepotisme di masa mendatang.
Jika negara benar-benar ingin menghadirkan keadilan sosial dan demokrasi ekonomi, maka praktik rangkap jabatan dan nepotisme harus dihentikan sekarang juga.
Karena pada akhirnya, negara ini bukan milik para pejabat, bukan milik keluarga mereka, bukan pula milik selebritas yang memiliki koneksi politik, melainkan milik seluruh rakyat Indonesia.
Dan rakyat Indonesia berhak atas kebijakan publik yang adil, transparan, dan berpihak pada kesejahteraan mereka, bukan pada kekuasaan segelintir elite.***
Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
