KUNINGAN (MASS) – Kebijakan pemerintah yang membuka peluang bagi koperasi dan UMKM untuk mengelola tambang menimbulkan beragam tanggapan. Di satu sisi, langkah ini dianggap sebagai wujud keberpihakan negara kepada rakyat kecil. Namun di sisi lain, muncul pertanyaan: apakah kebijakan ini benar-benar berpijak pada semangat pemerataan ekonomi, atau sekadar strategi komunikasi politik untuk membangun citra keberpihakan?
Dari perspektif komunikasi publik, setiap kebijakan pemerintah sejatinya adalah pesan. Ia tidak hanya mengatur, tetapi juga menyampaikan makna. Istilah “tambang untuk rakyat” adalah simbol kuat yang ingin menggambarkan negara hadir bagi kelompok kecil dan menengah sebuah upaya menciptakan narasi baru tentang keadilan sumber daya dan inklusi ekonomi.
Namun, seperti halnya pesan komunikasi lainnya, makna kebijakan sangat bergantung pada bagaimana ia dikomunikasikan. Tanpa transparansi, partisipasi publik, dan konteks yang jelas, pesan keberpihakan itu berisiko dianggap sebagai retorika belaka.
Komunikasi yang Memberdayakan
Kebijakan ini memiliki potensi besar sebagai bentuk komunikasi pembangunan sebuah pendekatan yang menempatkan masyarakat sebagai subjek, bukan sekadar objek kebijakan. Melalui komunikasi yang terbuka, pemerintah dapat menumbuhkan rasa memiliki (sense of ownership) di kalangan pelaku koperasi dan UMKM.
Namun, partisipasi tidak tumbuh hanya karena regulasi. Ia membutuhkan komunikasi yang jujur dan edukatif. Masyarakat perlu memahami mekanisme perizinan, sistem pengawasan, serta risiko dan tanggung jawab yang melekat pada pengelolaan tambang. Tanpa komunikasi yang transparan, kebijakan ini justru bisa disalahartikan dan berpotensi menimbulkan persoalan sosial maupun lingkungan baru.
Antara Citra dan Kepercayaan
Kita juga tak bisa menutup mata bahwa setiap kebijakan publik membawa dimensi komunikasi politik. “Tambang untuk rakyat” adalah pesan simbolik: negara berpihak pada rakyat kecil. Tetapi komunikasi simbolik tanpa tindakan nyata justru akan menurunkan kredibilitas.
Kepercayaan publik terbentuk dari kesesuaian antara pesan dan kenyataan. Bila di lapangan ternyata akses tambang justru dinikmati kelompok bermodal besar, maka seluruh narasi pemberdayaan akan runtuh. Apalagi di era media digital, kesenjangan antara pesan dan realita bisa cepat tersebar dan membentuk opini negatif terhadap pemerintah.
Untuk itu, strategi komunikasi publik perlu diarahkan pada tiga hal utama:
- Transparansi informasi, agar masyarakat memahami kebijakan secara menyeluruh, bukan hanya berdasarkan potongan informasi.
- Dialog partisipatif, dengan melibatkan koperasi, akademisi, aktivis lingkungan, dan pelaku UMKM dalam diskusi terbuka.
- Storytelling positif, yakni menghadirkan kisah nyata keberhasilan koperasi dan UMKM yang telah mengelola tambang secara berkelanjutan.
Dengan pendekatan tersebut, pemerintah tidak hanya membangun citra, tetapi juga kepercayaan.
Dari Kebijakan ke Cerita Publik
Lebih dari sekadar kebijakan ekonomi, “tambang untuk rakyat” seharusnya menjadi ruang pembelajaran komunikasi bagi masyarakat lokal: bagaimana mengelola sumber daya, mengomunikasikan tanggung jawab sosial, serta menumbuhkan budaya transparansi.
Keberhasilan kebijakan ini pada akhirnya tidak diukur dari banyaknya izin yang dikeluarkan, tetapi dari sejauh mana masyarakat merasa menjadi bagian dari cerita pembangunan itu sendiri.
Sebab, dalam era keterbukaan informasi, publik tidak lagi menilai pemerintah dari apa yang diumumkan, melainkan dari bagaimana kebijakan dijalankan dan dikomunikasikan.
Oleh: Silvi Aris Arlinda SIKom MIKom, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Slamet Riyadi
