KUNINGAN (MASS) – Hampir setahun lalu, kabar tidak mengenakan diumumkan oleh Pak Presiden. Tanggal 2 Maret 2020, kasus pertama covid-19 menjadi awal cerita kelam bangsa ini menghadapi pandemi. Covid-19 menjadi trending topic di seluruh penjuru dunia hingga saat ini. Wabah yang pertama kali dideteksi di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok pada bulan Desember 2019 silam itu melumpuhkan hampir seluruh sendi kehidupan manusia
Ekonomi sudah barang tentu menjadi sektor terparah yang terdampak akibat pandemi. Kebijakan-kebijakan pembatasan sosial (yang diluar negeri dikenal dengan lockdown), seperti karantina wilayah, PSBB, PPKM dan peristilahan lainnya meruntuhkan sendi-sendi penopang stabilitas ekonomi baik makro maupun mikro.
Pun demikian untuk sektor lainnya seperti kesehatan, kegiatan sosial kemasyarakatan, pagelaran seni budaya, olahraga dan ritual keagamaan juga tak luput ikut terdampak. Meski dalam perjalanannya pemerintah acap kali melonggarkan kebijakan yang telah dibuat untuk hal-hal yang disebutkan diatas.
Justru yang menarik telaah adalah sektor pendidikan, dampak yang ditimbulkan sangat kompleks. Pembelajaran tatap muka dihentikan, era Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dan Dalam Jaringan (Daring) serta merta harus dilaksanakan nyaris tanpa persiapan serta “memaksa” orang tua untuk ikut mendampingi proses pendidikan anaknya secara langsung.
Dulu, ketika Pak Anies Baswedan menjadi Menteri Pendidikan Nasional (saat ini Gubernur DKI Jakarta), beliau pernah menyampaikan bahwa “setiap rumah adalah sekolah, setiap orang tua adalah guru”. Pernyataan beliau sesungguhnya bukan merupakan prediksi akan pandemi ini, namun memberi pesan bahwa proses pendidikan yang dijalani oleh seorang anak harus disinergikan antara rumah dan sekolah, antara guru dan orang tua. Hari ini, pesan tersebut nyata adanya, sekolah dan seluruh lembaga pendidikan ditutup.
Tidak ada yang salah memang dengan pelaksanaan PJJ dan Daring, seiring perkembangan teknologi yang begitu cepat, menjadi kewajiban semua pihak agar proses pembelajaran menyesuaikan dengan perkembangan zaman menjadi lebih modern, efesien dan inovatif. Namun untuk jenjang sekolah dasar, pembelajaran jarak jauh (PJJ) dan Daring dirasa kurang efektif. Secara psikologis, hampir sebagian besar siswa usia SD di Indonesia belum siap beralih dari pembelajaran tatap muka ke PJJ dan Daring.
Jika mencermati dari sudut pandang guru, peran guru yang tertuang dalam Undang-undang No.14 Tahun 2005 dijelaskan bahwa guru adalah “guru adalah pendidik professional dengan tugas utama, mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi siswa pada pendidikan usia dini jalur formal, pendidikan dasar dan menengah”.
Hal tersebut berarti bahwa, peran guru tidak hanya menyampaikan materi pembelajaran, namun ada banyak peran lain yang pengimplementasiannya dirasa sulit dilaksanakan secara efektif di sekolah dasar tanpa pembelajaran tatap muka.
Demikian pula, jika dilihat dari sudut pandang psikopedagogik, tugas guru tidak hanya mentransfer ilmu kepada siswa tetapi yang utama adalah mentransfer nilai moral, etika dan akhlak. Tidak ada teknologi secanggih apapun yang dapat menggantikan peran guru. Pada jenjang sekolah dasar, guru menjadi orang tua, sahabat dan teman bercerita. Komunikasi yang dijalin dari hati ke hati yang secara psikologis sulit diwujudkan dengan PJJ ataupun Daring.
Akhirnya, semoga pandemi ini segera pergi, agar senyum ceria siswa-siswi SD terlihat kembali, bak pelangi yang kehadirannya selalu dirindukan untuk mengisi hari.
Penulis : Nana Sutarna, M.Pd.
Dosen PGSD STKIP Muhammadiyah Kuningan