KUNINGAN (MASS) – Surat Ash-Shaff merupakan salah satu surat dalam juz 28 yang memiliki beberapa nama. Ia dinamakan surat Ash-Shaff karena di dalamnya terdapat kata Shaffan, dan memang biasanya suatu surat dinamakan dengan sesuatu yang khsusus dalam surat tersebut yang tidak terdapat di surat-surat lainnya, karena itu surat ini disebut sebagai surat Ash-Shaff.
Surat ini disebut juga surat Al-Hawariyyin karena di dalamnya terdapat perkataan Nabi Isa kepada Hawariyyin (Al-Itqan fi Ulumil-Quran karya Imam As-Suyuthi). Surat Ash-Shaff adalah surat Madaniyah, yakni surat yang diturunkan kepada Nabi SAW setelah beliau hijrah ke Madinah.
Berkaitan dengan jalan untuk menjemput sebuah kemenangan dalam berbagai aspek, maka paling tidak ada tiga syarat utama yang hendaknya dipenuhi.
Pertama, konsekuen antara perkataan dan perbuatan. Surat Ash-Shaff ini dibuka dengan pemberitahuan bahwa semua makhluk yang ada di langit dan di bumi semuanya bertasbih kepada Allah SWT.
“Telah bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada di bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Ash-Shaff [61]: 1).
Kemudian pada ayat yang ke dua menjelaskan tentang celaan untuk orang-orang yang perkataannya tidak sesuai dengan tindakannya. “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?” (Ash-Shaff [61]: 2).
Sebagian ulama Salaf berpendapat atas dalil ayat ini bahwa diwajibkan bagi seseorang menunaikan apa yang dijanjikannya secara mutlak tanpa memandang apakah yang dijanjikan itu berkaitan kewajiban ataukah tidak. Mereka beralasan pula dengan hadis Nabi SAW.
“Di antara tanda munafik ada tiga: jika berbicara, dusta; jika berjanji, tidak menepati; jika diberi amanat, ia khianat.” (H.r. Muslim).
Di dalam hadis lain disebutkan pula: “Ada empat tanda, jika seseorang memiliki empat tanda ini, maka ia disebut munafik tulen. Jika ia memiliki salah satu tandanya, maka dalam dirinya ada tanda kemunafikan sampai ia meninggalkan perilaku tersebut, yaitu: jika diberi amanat, khianat; jika berbicara, dusta; jika membuat perjanjian, tidak dipenuhi; dan jika berselisih, dia akan berbuat dzalim.” (H.r. Muslim).
Karena itu, maka Allah mengukuhkan pengingkaran-Nya terhadap sikap mereka yang demikian itu (tidak konsekuen antara ucapan dan perbuatan) melalui firman berikutnya: “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Ash-Shaff [61]: 3).
Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan melalui Abdullah ibnu Amir ibnu Rabi’ah, yang telah menceritakan bahwa Rasulullah datang kepada keluarganya yang saat itu ia masih anak-anak. Lalu ia pergi untuk bermain, tetapi ibunya memanggilnya, “Hai Abdullah, kemarilah, aku akan memberimu sesuatu.” Rasulullah bertanya kepada ibunya, “Apa yang hendak engkau berikan kepadanya?” Ibunya menjawab, “Kurma,” Rasulullah SAW bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya andaikata engkau tidak memberinya, tentulah akan dicatat atas dirimu sebagai suatu kedustaan.”
Sebagian kita memiliki sifat demikian, berkata dan mengajak orang lain melakukan kebaikan, namun diri sendiri enggan melakukannya. Melarang dari suatu kemungkaran, namun diri sendiri melakukannya. Seorang muslim yang baik adalah yang menjadi pelopor dalam kebaikan dan terdepan dalam menjauhi kemungkaran sebelum mengajak atau mendakwahi orang lain.
Hal ini menegaskan bahwa syarat pertama untuk meraih kemenangan adalah komitmen terhadap apa yang telah disampaikan, diucapkan dan dijanjikan untuk direalisasikan. Seorang pemenang sejati akan selalu komitmen terhadap janji yang disampaikan untuk diwujudkan. Ia akan komitmen dengan ucapannya.
Kedua, barisan yang solid. Syarat mencapai kemenangan harus solid dalam barisan yang teratur. “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (Ash-Shaff [61]: 4).
Sesungguhnya Allah menyukai, artinya selalu menolong dan memuliakan orang-orang yang berperang di jalannya dalam barisan yang teratur. Lafadz shaffan merupakan hal atau kata keterangan keadaan, yakni dalam keadaan berbaris rapi, seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh, yakni sebagian di antara mereka menempel rapat dengan sebagian yang lain lagi kokoh.
Ibnu Abbas mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah: “Seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” Yakni, kokoh dan tidak rapuh, sebagiannya menempel ketat dengan sebagian yang lain dalam barisan shafnya.
Qatadah mengatakan, tidakkah Anda melihat para pekerja bangunan. Mereka tidak suka apabila bangunan yang dikerjakannya tidak rapi (acak-acakan). Demikian pula Allah tidak suka apabila perintah-Nya diacak-acak. Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kaum mukmin berbaris dengan rapi dalam peperangan dan dalam shalat. Maka peganglah perintah Allah. Sesungguhnya perintah ini akan menjadi pemelihara diri bagi orang yang mengamalkannya.
Hal ini menegaskan bahwa syarat kedua untuk meraih kemenangan adalah tetap solid dalam satu barisan dan tidak mudah goyah meskipun dalam situasi yang sulit sekalipun.
Ketiga, taat terhadap arahan pimpinan. Diantara perkara yang mesti menjadi perhatian serius dalam upaya meraih sebuah kemenangan adalah selalu mengikuti arahan dari pimpinan.
“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, mengapa kamu menyakitiku, sedangkan kamu mengetahui bahwa sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu?” Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (Ash-Shaf [61]: 5).
Ungkapan Musa kepada kaumnya atas gangguan yang mereka timpakan kepada-Nya dan Allah memalingkan hati mereka. Allah mengabarkan tentang hamba dan Rasul-Nya, yaitu Musa bin Imran AS, bahwa dia telah berkata kepada kaumnya.
“Mengapa kamu menyakitiku, sedangkan kamu mengetahui bahwa sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu?” Yakni, mengapa kalian terus menyakitiku sedangkan kalian tahu kejujuran risalah yang kubawa.
Ayat ini merupakan hiburan bagi Rasulullah terhadap perilaku yang telah dilancarkan oleh orang-orang kafir kepadanya baik dari kalangan kaumnya sendiri (Quraisy), maupun dari pihak lain. Dengan ayat ini, Allah memerintahkan untuk bersabar. Karena itu, Rasulullah SAW bersabda: “Semoga Allah merahmati Musa karena dia telah disakiti lebih dari ini, dan dia tetap bersabar.”
Ayat ini juga berimplikasi bahwa kaum mukmin dilarang menyakiti hati Nabi SAW, sebagaimana firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan adalah dia seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah.” (Al-Ahzab [33]: 69).
“Dan (ingatlah) ketika Isa ibnu Maryam berkata: “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)”. Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata.” (Ash-Shaf [61]: 6).
Ayat ini membicarakan umat Nabi Isa yang menolak beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Padahal Allah sudah memberitahukan tentang kelahiran beliau di dalam Kitab Injil. Dan ingatlah wahai Muhammad, ketika Isa putra Maryam berkata kepada kaumnya, ‘Wahai Bani Israil! sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu untuk mengajarkan prinsip tiada tuhan selain Allah, tiada ibadah kecuali kepada-Nya, dan tidak mempertuhankan sesama manusia yang membenarkan kitab yang turun sebelumku. Yaitu, Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa dan memberi kabar gembira kepada kamu dengan seorang rasul yang akan datang setelahku, yang bernama ahmad dan/atau Muhammad yang merupakan nabi dan rasul terakhir.
Namun, ketika rasul itu datang kepada mereka, kaum nasrani, dengan membawa bukti-bukti nyata tentang kenabian dan kerasulan beliau di dalam Al-Quran, mereka berkata kepada sesama mereka, ‘Al-Quran ini adalah sihir yang nyata, bukan wahyu Allah, bukan kitab suci.
“Dan siapakah yang lebih dzalim daripada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah sedang dia diajak kepada Islam? Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.” (Ash-Shaff [61]: 7).
Maksudnya, tidak ada yang lebih berat kedzaliman dan pelanggarannya daripada siapa yang membuat kebohongan atas nama Allah dan mengangkat sekutu bagi-Nya dalam ibadah, padahal dia diajak kepada Islam dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah semata. Allah tidak membimbing orang-orang yang mendzalimi diri mereka dengan kekafiran dan kesyirikan kepada apa yang mengandung kebahagiaan bagi mereka.
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya.” (Ash-Shaff [61]: 8).
Orang-orang dzalim itu ingin membantah kebenaran Al-Quran dengan menyebarkan berita bohong yang menentang Nabi SAW. Namun Allah akan memenangkan dan menolong agama-Nya, meskipun orang-orang yang mendustakan Allah dan rasul-Nya itu tidak menyukai.
“Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci.” (Ash-Shaff [61]: 9).
Allah, Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan agama Islam, agama petunjuk dan tuntunan kebaikan, agama ilmu yang bermanfaat dan amal saleh, agar Dia meninggikannya di atas seluruh agama, meskipun tidak disukai oleh orang-orang musyrik yang benci apabila Islam mengakar di bumi ini.
Jika ketiga syarat tersebut diikuti dengan semangat pengorbanan dengan jiwa dan harta dalam sebuah perjuangan maka akan dapat mengantarkan kepada kemenangan yang dijanjikan. Wallahu a’lam.
Penulis : H. Imam Nur Suharno, SPd, SPdI, MPdI
Pembina Majelis Taklim Ibu-Ibu di Kuningan, Jawa Barat