KUNINGAN (MASS) – Sebagaimana diatur dalam Kepmendesa No. 3 Tahun 2025, pemerintah telah menetapkan bahwa sekurang-kurangnya 20 persen Dana Desa (DD) wajib dialokasikan untuk program ketahanan pangan melalui BUMDes atau lembaga ekonomi desa lainnya. Kebijakan ini adalah langkah strategis untuk memastikan desa menjadi benteng ketahanan pangan sekaligus pusat penguatan ekonomi rakyat.
Namun, fakta di Desa Cengal menunjukkan arah yang menyimpang dari semangat kebijakan tersebut. Alih-alih menjadi instrumen pemberdayaan, BUMDes justru dijadikan ruang “pembagian kepentingan”. Praktik ini tidak hanya melanggar prinsip tata kelola yang baik, tetapi juga merugikan masyarakat yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama.
Pertama, pengalokasian anggaran terkesan tidak rasional. Dana ratusan juta rupiah digelontorkan untuk proyek fisik seperti lumbung kolam ikan bioflok permanen yang bahkan melibatkan alat berat. Tanpa perencanaan matang mengenai keberlanjutan usaha, proyek tersebut berpotensi menjadi simbol pemborosan. Lebih buruk lagi, keterlibatan pihak ketiga yang memiliki kedekatan dengan aparat desa membuka ruang konflik kepentingan yang mencederai kepercayaan publik.
Kedua, dominasi kepentingan elitis semakin kentara dalam struktur pengurus BUMDes. Jabatan penting dikuasai oleh individu dekat dengan perangkat desa, bukan hasil musyawarah terbuka. Hal ini menegaskan bahwa BUMDes telah bergeser menjadi arena “bagi-bagi posisi” alih-alih wadah ekonomi inklusif yang melibatkan masyarakat luas.
Ketiga, kapasitas pengurus yang lemah makin memperburuk situasi. Minimnya kemampuan manajerial dan pengalaman usaha membuat kinerja BUMDes berjalan serampangan. Lebih mengkhawatirkan, BUMDes sebelumnya di Desa Cengal bahkan hilang tanpa pertanggungjawaban, tanpa laporan keuangan, dan tanpa serah terima kepengurusan yang sah. Ini bukan sekadar kelalaian, melainkan bentuk pengabaian serius terhadap akuntabilitas publik.
Keempat, pola pengelolaan yang tertutup menimbulkan kecurigaan kuat. Dengan anggaran sebesar Rp233 juta, seharusnya masyarakat berhak tahu ke mana arah dana tersebut digunakan. Tanpa transparansi, sulit untuk meyakinkan publik bahwa pengelolaan BUMDes benar-benar berpihak pada kepentingan warga desa.
Atas kondisi ini, saya mendesak adanya audit independen terhadap keuangan dan aset BUMDes Desa Cengal. Pemerintah desa juga harus segera melakukan evaluasi menyeluruh atas kepengurusan BUMDes dengan membuka ruang partisipasi masyarakat secara luas. Prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi bukanlah jargon kosong, tetapi syarat mutlak bagi keberlangsungan BUMDes.
Kritik ini tidak dimaksudkan untuk melemahkan, melainkan untuk mengingatkan. BUMDes adalah instrumen penting peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Jika dikelola secara profesional, BUMDes mampu menjadi motor penggerak ekonomi desa. Namun, jika terus dibiarkan dikuasai kepentingan sempit, ia hanya akan menjadi beban dan simbol kegagalan tata kelola desa.
Kini saatnya Desa Cengal membuktikan komitmen pada rakyatnya. BUMDes harus dikembalikan ke khitahnya, dikelola secara profesional, bebas dari kepentingan elitis, dan sepenuhnya diarahkan untuk kepentingan publik. Hanya dengan itu, BUMDes bisa menjadi kebanggaan, bukan sekadar proyek tanpa makna.
Oleh: Eman Karman, Pemuda Desa Cengal, Kecamatan Japara