Allah Swt. berfirman,
كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ …
Artinya: “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah….(QS. Ali ‘Imran ayat 110)
Ayat diatas mengingatkan betapa pemuda Islam termasuk salah satu umat terbaik di dunia. Digenggamannya suatu peradaban bisa terlahir. Dari semangatnya, akan berkembang suatu negara yang maju. Karena banyaknya inovasi, kreatif, dan pantang menyerah.
Sayangnya, kondisi tersebut berbanding terbalik saat ini, dimana pemuda lebih memilih kebebasan daripada diatur dengan aturan yang ketat. Merasa terkekang, terpojokan, dan tak bisa berbuat sesuka hati. Dalih pencarian jati diri, tetapi malahan salah bergaul. Akhirnya terahkan ke pergaulan bebas atau kebebasan berperilaku.
Seperti yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, pada hari Sabtu, 1 Oktober menjadi hari kelabu bagi bangsa Indonesia. Setidaknya ada 127 orang yang meninggal atas peristiwa kerusuhan antara pendukung Arema dengan pendukung Persebaya. Sehingga, aparat polisi bertindak represif dengan menyemprotkan gas air mata ke arena pertandingan. Pasalnya untuknya membubarkan massa yang berkelahi.
Menurut Kapolda Jatim, Irjen Pol Nico Afinta bahwa ada korban yang tewas di dalam stadion, sebanyak 34 orang. Mereka tewas karena terinjak-injak pendukung lain. (Suaracirebon.com, 02/10/2022).
Tak terlewatkan pula, di daerah Kabupaten Kuningan terdapat aksi penyerangan yang diduga dilakukan oknum pendukung PSGJ Cirebon kepada para pemain Persik Kuningan ketika perjalanan pulang. Penyerangan terjadi di daerah Ciperna dan Beber, Cirebon. Menurut Manager Persik Kuningan, Abdul Haris membenarkan insiden itu terjadi kepada klub kebanggaan warga ‘Kota Kuda’. Dirinya merasa kecewa, baik kepemimpinan maupun keamanan. (Detikjabar.com, 29/09/2022).
Dua kejadian menandakan betapa mirisnya perilaku pemuda zaman sekarang. Membela tim kesayangannya secara berlebihan, dan tidak berusaha lapang dada ketika timnya kalah. Walhasil, mengeroyok pendukung lainnya, hanya dengan asumsi tidak adil skor yang diperoleh. Inilah salah satu krisis identitas yang dialami pemuda. Mudah terombang-ambing bagaikan ombak, dan hanya mengikuti arahan teman-temanya saja.
Akar Permasalahan
Tragedi di Kanjuruhan dan Kuningan bukanlah yang pertama kali di dunia sepak bola Indonesia. Seolah pasti akan terjadi kerusuhan, ketika pertandingan sepak bola mempertemukan dua tim yang sudah menjadi musuh bebuyutan. Sehingga, para pendukungnya pun ikut bermusuhan, dan akan ada pertumpahan darah jika timnya kalah.
Tentu menjadi PR bagi pemuda untuk berpikir terdahulu sebelum bertindak. Hindari bersikap fanatisme suporter yang melahirkan pembelaan buta terhadap klub kesayangan. Aktualisasi luapan emosi, amarah, dan bahagia adalah indikator terkuat betapa sepak bola tidak bisa dilepaskan dari fanatisme golongan. Terlihat ketika tim kebanggaannya kalah, mereka tidak terima, emosi, marah, lalu memunculkan kerusuhan dan kerusakan. Padahal, sepak bola hanyalah olahraga dan permainan.
Inilah yang menjadi titik kritisnya. Peran pemuda yang diharapkan dapat mengubah citra bangsa di mata, tetapi malahan sebaliknya. Prinsipnya selalu berubah-ubah, karena hanya mengikuti tren kekinian. Sehingga, dengan mudah orang-orang Barat mengubah cara pandang pemuda Muslim ke arah kebebasan.
Kebanyakan pemuda yang tak tentu arah tersebut merupakan Muslim. Maka, Barat akan berpikir keras bagaiamana caranya agar pemuda Muslim keluar dari jalur yang seharusnya. Yakni dengan memisahkan mereka dari agama, menciptakan jurang antara mereka dengan ulama dan norma-norma yang baik di masyarakat, memberi label buruk terhadap ulama sehingga para pemuda menjauh, dan menggambarkan para ulama dengan sifat dan karakter yang buruk. Akhirnya, mereka takut belajar Islam, karena tidak mau dikatakan radikal.
Akhirnya, pemuda jauh dambaan umat. Mereka sibuk memikirkan dirinya sendiri dan kesenangannya. Tidak mempedulikan kebutuhan orang lain. Mereka sudah terkena pemikiran yang sekuler. Pemikiran yang melahirkan kebebasan, hedonisme, fanatisme, dan sebagainya. Mereka lebih menyukai foya-foya dengan kawannya dari pada kajian Islam.
Hasilnya, kepribadian pemuda pun terkikis sedikit demi sedikit. Agama hanya sekadar ibadah saja, bukan dijadikan standar kehidupan. Tak heran, banyak pemuda yang terjerumus ke jurang kemaksiatan.
Seyogianya, setiap pemuda menyadari perannya untuk bangsa ini. Dengan memiliki prinsip yang kuat, tujuan hidup yang jelas, dan lingkungan yang mendukung.
Pemuda Dambaan Umat
Pemuda adalah mutiara bagi umat di sekitarnya. Bisa memberikan teladan bagi siapapun yang dijumpainya. Berkepribadian Islam dengan akhlak yang mulia.
Hakikatnya, dalam Islam membolehkan berolahraga dalam rangka menjaga kesehatan, kebugaran, dan keterampilan bagi kaum muslim. Namun, tidak dibenarkan permainan yang menimbulkan kesia-siaan. Allah Swt. berfirman, “Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS Ali Imran: 185). Yang akhirnya . Jangan terjebak dalam lahwun munazhamun hingga terlena dan berbuat sia-sia.
Pemuda Muslim harus produktif, artinya yang memberikan manfaat di dunia maupun akhirat. Bisa dengan menimba ilmu pengetahuan, tsaqafah Islam, berdakwah, dan berjihad di jalan Allah. Maka, mengembalikan pemuda kepada fitrahnya sebagai manusia yang sudah mukallaf.
Sebagai tulang punggung yang membentuk komponen pergerakan, memiliki kekuatan yang produktif, juga memberikan kontribusi yang luas dalam dakwah. Berbagai cara dapat dilakukan, seperti senantiasa menyucikan jiwanya, bersungguh-sungguh menempa jiwanya untuk melaksanakan ibadah-ibadah sunah, seperti salat malam, berpuasa di hari-hari yang memiliki keutamaan, dan membaca zikir harian.
Hasilnya, jika para pemuda konsisten dalam ketakwaannya, maka akan meningkatkan keistikamahannya untuk meniti jalan hidayah. Dan umat akan percaya kembali bahwa di tangan pemudalah bangsa Indonesia akan berjaya. Dan dengan Islam pulalah, bangsa Indonesia akan sejahtera dan makmur.
Wallahu’alam bishshawab.
Penulis : Citra Salsabila
(Pegiat Literasi)