KUNINGAN (MASS)- Sebuah terobosan toleransi umat beragama dilakukan oleh Kementrian Agama Republik Indonesia (Kemenag) pada hari beberapa hari yang lalu yang dikemas dengan tema Malam Launching Aksi Moderasi Beragama (Menyemai Nilai-nilai Moderasi Beragama dalam Kebhinekaan).
Tujuan lahirnya moderasi beragama merupakan sebuah langkah yang tepat dalam merawat dan menjaga kebhinekaan di Indonesia atas beragamnya agama, suku dan budaya.
Hal ini merupakan sebuah jawaban dan belajar dari kasus-kasus sebelumnya yang terjadi dan viral di media sosial tentang penistaan agama oleh seorang ustad agar tidak terulang kembali serta tidak dengan mudah seseorang menistakan agama yang bukan dianutnya.
Entah ini kali keberapa terjadi di Indonesia, pada bulan Agustus yang lalu dalam sepekan terjadi dua kasus penistaan agama. Kasus yang pertama, sebagai umat muslim tentu merasa tersakiti dengan ucapan M. Kece yang mengatakan bahwa nabi Muhammad adalah pengikut Jin dan dikerumuni oleh jin.
Anak siapa yang jika orang tuanya andaikan dihina dilecehkan dengan ucapan seperti itu sudah tentu akan bersedih dan tidak menerima.
Siapa yang tidak bersedih mendengar nabi yang mulia dilecehkan, siapa yang tidak menangis melihat kekasih Allah dihinakan dengan ucapan yang berasal dari mulut yang kotor itu.
Kasus yang kedua, penistaan agama dilakukan oleh ustad Yahya Waloni yang merupakan seorang mualaf mengatakan bahwa kitab Bible adalah palsu.
Sontak pernyataannya tersebut menyakiti saudara-saudara non muslim yang meyakini bahwa kitab bible sebagai kitab sucinya.
Dari dua kasus diatas merupakan sebuah pembelajaran dan kehati-hatian dalam menyampakan dakwah atau pesan yang memang itu diluar aqidah pemahaman kita.
Indonesia yang terdiri dari berbagai agama, suku, dan ras harus menjadi satu kesatuan yang utuh menanamkan sikap toleransi umat beragama dan kebhinekaan.
Maka penting untuk dipahami bersama dalam menghilangkan berbagai kasus penistaan agama di Indonesia membutuhkan langkah nyata dan tepat.
Diantaranya ialah menamakan pemahaman moderasi beragam atau Islam wasatiyah. Masduki Baidhowi dalam buku Mimbar Ulama menyatakan bahwa, wasatiyah berada di tengah, moderat alias tidak condong ke kanan atau ke kiri.
Artinya inti ajaran wasatiyah itu adalah sikap hidup untuk berperilaku tidak berlebihan dalam segala hal.
Seorang Muslim tidak diperkenankan berperilaku ekstrim menjalankan agama. Sikap wasatiyah juga tidak meremehkan (tasaahul) pelaksanaan agama.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si menyatakan bahwa, konsep moderasi beragama sebagai strategi baru untuk melawan meningkatnya aksi kekerasan, karena kekeliruan tafsir terhadap ajaran agama.
Pernyataan PP Muhammadiyah sejalan dengan sikap Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, menurut ketua PBNU, KH. Marsudi Syuhud, bahwa menjaga moderasi Islam di Indonesia tersebut adalah keharusan karena merupakan perintah Alquran.
Sebagaimana ayat Alquran yang berbunyi “wal takun minkum ummatan wasathan” jadilah kamu umat Islam yang tengah-tengah atau yang moderat.
Dari uraian tersebut maka dibutuhkan point-point penting dalam melangsungkan kerukunan beragama yakni; Pertama, kedewasaan umat dalam beragama.
Kedewasaan dalam beragama sangat dibutuhkan dalam menghadapi berbagai isu agama atau keagamaan. Dengan kedewasaan beragama, umat tidak mudah terpancing dan terprovokasi dengan berbagai isu yang mengadu domba antar pemeluk umat.
Kedua, meningkatkan rasa toleransi antar umat beragama secara benar, toleransi antar umat beragama secara benar merupakan salah satu pilar utama demi terwujudnya kerukunan antarumat beragama.
Hidup berdampingan, saling menghormati dan menghargai pemeluk agama lain adalah merupakan salah satu perwujudan dari rasa tolerasi. Toleransi yang benar tidak perlu sampai seseorang mencampur adukan antara ritual agamanya dengan agama lain atau mengikuti ritual yang bukan menjadi ritual agamanya.
Ketiga, Kebijakan pemerintah harus jelas, tegas, adil dan poporsional. Hal ini karena pemerintah sebagai pemegang kebijakan harus menyadari resistensi konflik antarumat beragama. Terutama mencakup pada pokok-pokok masalah keagamaan dindonesia.
Keempat, penegasan kewibawaan hukum secara adil dan konsisiten. Banyak perselisihan antar warga yang kebetulan berbeda agama karena tidak ditangani dengan tuntas dan adil, memicu lahirnya konflik horizontal yang sulit terselesaikan.
Berbagai konflik SARA justru meningkat karena lemahnya penegakan hukum dan rendahnya apresiasi etika dalam penyelesaian masalah sosial berbangsa dan bernegara.
Kelima, mengembangkan dialog yang tulus antar umat beragama. Dialong antar umat beragama ini sangat perlu dilakukan mengingat akan adanya kesamaan maupun perbedaan yang tak dapat diingkari dan disingkirkan.
Hal ini sesuai hakekat atau harkat dan martabat manusia adanya kesamaan nilai-nilai serta permasalahan dan kebutuhan yang universal, yang berkaitan dengan kemanusiaan, seperti kebenaran, keadilan, persaudaraan dan cinta kasih adanya fakta kehidupan bersama dalam kemajemukan serta hubungan dan ketergantungan satu sama lain. Keragamaan merupakan suatu rahmat dari Allah.***
Penulis Sopian Asep Nugraha, M.Pd
(Dosen STKIP Muhammadiyah Kuningan)