KUNINGAN (MASS)- Sejak adanya inisiatif lelang jabatan atawa open bidding bagi calon pemangku eselon dua dan satu di pemerintahan. Sampai saat ini auranya cukup menghipnotis para aparatur sipil negara (ASN). Tak ubahnya titan paling menakutkan dan membuat sport otak terdeviasi menjadi keledai paling pandir. Juga sebagai “tulak panto”.
Begitu juga di Kabupaten Kuningan yang akan melaksanakan open bidding untuk mengisi jabatan yang kosong. Pertanyaannya, betul kah open bidding satu-satunya cara rekruitment pejabat “paling suci nan agung”. Sehingga hasil yang diperoleh merupakan pilihan terbaik. Bukan hanya sekedar “kobokan”.
Jawabannya bisa iya bisa juga tidak. Jika iyah, sistem yang digunakan masih berupa eksperimen dari Presiden Jokowi ketika masih jadi Gubernur DKI. Kemudian, cara seperti itu dipatenkan oleh Kementrian Pendayagunaan Apartur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB). Sesuai dengan UU ASN Nomor 5 Tahun 2014.
Jika tidak, karena belum ada gagasan baru yang dianggap lebih baik dari sebelumnya. Gagasan ini harus ditularkan secara nasional. Dilaksanakan diseluruh jajaran pemerintah dari pusat sampai daerah. Andaikan ada cara lain yang lebih baik tentu open bidding akan mengalami nasib yang sama dengan sistem lampau.
Footnote Open Bidding
Ketika sistem lama sudah tak memadai maka dibutuhkan sistem baru yang lebih profesional. Pertanyaannya, apakah ada ASN profesional? Jawabannya hanya dua kata, tidak ada. Lalu dicari formula yang agak baik dan passing grade-nya tidak terlalu tinggi, seperti di perusahaan. Hanya untuk mengetahui kemampuan standar saja.
Test kemampuan standar itulah mahluk open bidding mewakili cukup masuk akal. Makanya dalam frame-nya tidak aneh-aneh. Cukup dengan tes tulis, sedikit wawancara. Kemudian di-scorring. Setelah itu dipilih oleh owner alias bupati kalau di daerah. Justru anehnya ketika menggarap hal-hal teknis seperti administrasi.
Jika open bidding pada tataran tata caranya sederhana jauh dari kualitas, apakah hasilnya juga memuaskan? Tentu tidak, hasil yang diperoleh hanya normatif. Sebab pekerjaannya pun berisfat normatif seputar administrasi, tidak lebih dan tidak kurang. Jadi kalau fungsionalnya open bidding adalah normatif maka out put dan out come-nya juga normatif.
Umpamanya, open bidding dianggap sebagai rumah. Desain ekteriornya indah, luas, kokoh dan tahan gempa. Ruangan-ruangannya pun elok dengan bahan baku proforsional dan dicat harga mahal. Kemudian diisi dengan barang-barang yang tidak up to date. Begitu desain interiornya “norak” celaka sudah.
Mungkin agak susah, sebuah sistem baru disosialisasikan dan diterapkan. Membutuhkan waktu cukup lama supaya hasil idealnya tercapai. Dikarenakan masih baru, sepertinya pemangku Kabupaten Kuningan, dalam hal ini bupati masih gagap. Sehingga memerlukan waktu lama berkonsultasi dengan Komisi-ASN (KASN).
Mungkin tidak hanya Kabupaten Kuningan saja yang gagap, daerah lain juga sepertinya mengalami hal serupa. Namun kadung harus dilaksanakan, meskti tergagap-gagap juga, dilaksanakan. Hanya persoalan elementernya tidak tersentuh dengan baik oleh sistem itu. Seharusnya, disaat membuat rumah, pondasinya harus kokoh.
Perkuat Sistem
Penguatan sistem dalam open bidding harus dilaksanakan secara simultan. Tidak hanya berupa retoris yang mengesankan “wah” tapi tidak memiliki esensi. Penguatan tentu tidak berinovasi dengan menjalankan yang pernah dilaksanakan. Jargon rumah baru harus merevitalisasi isi bukan hanya sekedar mengecat temboknya saja.
Tes tulis, wawancara dan mungkin pembuatan makalah bukan satu-satunya cara terbaik. Sebab kesemua instrumennya sekedarnya saja. Tidak menunjukan open bidding sebuah cara baru mumpuni. Jika berkaca di tingkat nasional, setiap open bidding menghasilkan pro kontra ketidakpuasan.
Bila mengadopsi idiom olahraga, sistem kompetisi dalam sepakbola sangat baik. Ada sistem gugur, setengah kompetisi dan full atawa sistem bertemu. Ada juga bercermin pada talkshaw acara televisi misalnya “dua arah”. Bisa juga mengadopsi demokrasi ala pemilu. Dimungkin juga seperti sidang skripsi.
Banyak cara sebetulnya konten di open bidding. Misaslnya mengelaborasi semua sistem di atas. Tentunya tinggal dirumuskan oleh tim perumus lalu dibentuk tim panel beserta audien-nya. Jangan lupa, bahwa eselon dua, tidak hanya digunakan tenaganya oleh bupati saja. Namun pejabat di bawahnya juga pelaksana memiliki kaitan erat dan perlu terlibat banyak.
Sedangkan materinya, cukup komprehensif mulai dari pengetahuan umum bahasa inggris, manajemen, filsapat, hukum, teknik, kebudayaan, sejarah dan seterusnya. Tidak lupa, bahasa indonesianya sebab wawasan bidang bahasa indonesia terbilang lemah. Kenapa bahasa indonesia penting supaya pemilihan diksi lebih tepat.
Selain itu, tingkat intelegia mengacu pada intelegence quotients (IQ) dan emotional quotiens (EQ) jika dibutuhkan masukan spriritual quotiens (SQ). Kenapa ketiga persoalan ini jadi penting? Sebab pemimpin harus sempurna dari ketiga hal tersebut. Cepat mengambil keputusan dengan kematangan berpikir. emosi dan tabayun.
Selama ini, sudah menjadi rahasia umum pejabat selalu menindas secara berjenjang. Namun akan selalu baik ke owner atawa bupati. Karakter subjektif ini seharusnya luluh lantah dalam open bidding. Sehingga menghasilkan pejabat berkualitas dan mapan dari IQ, EQ dan SQ.***⁴
Penulis : Ding Masku (Pelatih Wushu Kab. Kuningan)