KUNINGAN (MASS) – Kebijakan pemerintah untuk mengejar 2.000 wajib pajak yang dianggap berkontribusi pada penurunan penerimaan pajak telah menuai pro dan kontra.
Meskipun langkah ini terlihat sebagai upaya serius untuk mengatasi defisit fiskal, banyak pihak mempertanyakan efektivitasnya.
Alih-alih menjadi solusi, kebijakan ini justru berpotensi menimbulkan masalah baru dan mengabaikan akar permasalahan yang sebenarnya.
Berikut adalah beberapa argumen yang menentang kebijakan mengejar 2.000 wajib pajak.
Fokus yang Terlalu Sempit
Kebijakan ini hanya menargetkan 2.000 wajib pajak, sementara masalah penerimaan pajak dan pertumbuhan ekonomi bawah tanah (underground economy) jauh lebih kompleks dan melibatkan ribuan bahkan jutaan pelaku ekonomi informal.
Dengan fokus yang terlalu sempit, kebijakan ini mengabaikan pelaku usaha mikro dan kecil yang juga berkontribusi pada kebocoran pajak.
Padahal, sektor informal ini justru menjadi salah satu penyebab utama rendahnya basis penerimaan pajak.
Risiko Distorsi Kebijakan
Pendekatan yang terlalu represif terhadap 2.000 wajib pajak berisiko menciptakan distorsi kebijakan.
Wajib pajak yang menjadi sasaran mungkin merasa diperlakukan tidak adil, terutama jika mereka merasa telah mematuhi aturan perpajakan.
Hal ini dapat mengurangi kepercayaan pelaku usaha terhadap sistem perpajakan dan mendorong mereka untuk mencari celah atau bahkan beralih ke kegiatan ekonomi informal.
Alih-alih meningkatkan penerimaan pajak, kebijakan ini justru dapat memperburuk situasi.
Mengabaikan Akar Masalah Struktural
Penurunan penerimaan pajak bukan hanya disebabkan oleh ketidakpatuhan wajib pajak, tetapi juga oleh sistem perpajakan yang tidak adaptif dan penuh celah.
Masalah seperti integrasi data yang lemah, birokrasi yang rumit, dan tarif pajak yang tidak kompetitif turut berkontribusi pada rendahnya kepatuhan pajak.
Kebijakan mengejar 2.000 wajib pajak tidak menyentuh masalah-masalah struktural ini, sehingga hanya menjadi solusi jangka pendek yang tidak berkelanjutan.
Potensi Menekan Kelas Menengah
Jika tidak hati-hati, kebijakan ini berisiko membebani kelas menengah, yang sebenarnya merupakan motor penggerak ekonomi.
Kelas menengah memiliki peran penting dalam konsumsi domestik dan pertumbuhan ekonomi. Memberikan beban pajak yang terlalu tinggi kepada mereka dapat mengurangi daya beli dan menekan pertumbuhan ekonomi.
Alih-alih menargetkan kelas menengah, pemerintah seharusnya fokus pada kelompok oligarki atau sektor-sektor yang selama ini kurang berkontribusi secara proporsional.
Kurangnya Insentif untuk Kepatuhan
Kebijakan pengejaran wajib pajak cenderung bersifat represif dan kurang memberikan insentif bagi pelaku ekonomi untuk mematuhi aturan perpajakan.
Tanpa insentif seperti penyederhanaan prosedur, tarif pajak yang kompetitif, atau dukungan teknologi, wajib pajak akan sulit terdorong untuk berpartisipasi aktif dalam sistem perpajakan formal.
Pendekatan yang lebih seimbang antara pengawasan dan insentif diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi kepatuhan pajak.
Mengabaikan Potensi Digitalisasi
Di era digital seperti sekarang, pemerintah seharusnya memanfaatkan teknologi untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan transparansi.
Integrasi data dari sistem perbankan, e-commerce, dan platform digital dapat menjadi alat efektif untuk mengidentifikasi transaksi yang sebelumnya tersembunyi.
Namun, kebijakan mengejar 2.000 wajib pajak terkesan mengabaikan potensi ini dan tetap mengandalkan pendekatan konvensional yang kurang efektif.
Dampak Negatif terhadap Iklim Investasi
Kebijakan yang terlalu represif dapat menciptakan persepsi negatif terhadap iklim investasi di Indonesia.
Pelaku usaha, baik lokal maupun asing, mungkin merasa tidak nyaman dengan pendekatan yang terlalu keras dalam penagihan pajak.
Hal ini dapat mengurangi minat investasi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Padahal, dalam situasi fiskal yang sulit, investasi justru menjadi salah satu kunci untuk memulihkan perekonomian.
Solusi yang Lebih Holistik Dibutuhkan
Alih-alih fokus pada 2.000 wajib pajak, pemerintah seharusnya merancang reformasi fiskal yang lebih holistik. Ini termasuk memperbaiki sistem administrasi perpajakan, meningkatkan integrasi data, menyederhanakan tarif pajak, dan memberikan insentif bagi pelaku usaha untuk beroperasi secara formal.
Selain itu, pemerintah perlu memperkuat program inklusi keuangan dan pemberdayaan UMKM agar usaha kecil dan menengah merasa terintegrasi dalam sistem perpajakan.
Jangan Buat Resah Wajib Pajak
Kebijakan mengejar 2.000 wajib pajak mungkin terlihat sebagai langkah cepat untuk mengatasi penurunan penerimaan pajak.
Namun, kebijakan ini terlalu sempit, berisiko menimbulkan distorsi, dan mengabaikan akar masalah struktural.
Tanpa pendekatan yang lebih holistik dan inklusif, upaya ini hanya akan menjadi solusi jangka pendek yang tidak berkelanjutan.
Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali kebijakan ini dan fokus pada reformasi fiskal yang lebih komprehensif, yang tidak hanya mengejar penerimaan pajak tetapi juga menciptakan sistem perpajakan yang adil, transparan, dan adaptif terhadap tantangan zaman.***
Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta