KUNINGAN (MASS) – Bangsa Indonesia kembali memperingati Hari Santri Nasional (HSN), tepatnya tanggal 22 Oktober. Peringatan HSN sebagai bukti komitmen pemerintah terhadap pesantren. Komitmen ini mesti disertai komitmen lainnya agar pesantren semakin berkontribusi lebih besar terhadap kehidupan bangsa dan negara.
Setiap peringatan HSN semestinya dijadikan sebagai sarana untuk mengokohkan komitmen untuk memajukan pesantren. Perlu diketahui bahwa lembaga pendidikan Islam di lingkungan Kementerian Agama hanya 8 persen berstatus negeri, dan lainnya berstatus swasta. Bahkan pesantren, 100 persen dirintis dan dikelola oleh masyarakat. Artinya, seluruh pesantren berstatus swasta.
Begitu juga dengan madrasah, sekitar 91,2 persen dari jumlah seluruh madrasah pada semua jenjang kependidikan berstatus swasta, di mana masyarakat memainkan peran yang penting dalam pengelolaan dan pembiayaan madrasah. Sedangkan 8,8 persen berstatus negeri dari sekitar 39.000 jumlahnya. Kondisi ini bertolak belakang dari status sekolah yang dikelola Kementerian Pendidikan Nasional, hanya sekitar 6 persen yang berstatus sebagai lembaga pendidikan swasta (TOR Panja PTAI dan Madrasah Komisi VIII DPR RI).
Sesuai pendapat Wardiman Djojonegoro (1994), pesantren telah membuktikan peranannya sebagai salah satu komponen bangsa dalam usaha menyediakan manusia Indonesia yang dibutuhkan pada era pra kemerdekaan. Sejarah pun menunjukkan, banyak tokoh bangsa yang lahir dari “perut“ pesantren (lihat dalam buku Intelektual Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Perkembangan Pesantren).
Hal ini membuktikan bahwa pesantren memiliki kekuatan dan kemampuan untuk menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, unggul, berpengetahuan luas, berpikiran maju, berwawasan kebangsaan, yang dibingkai dengan keimanan dan ketakwaan sebagai motivasi utamanya.
Selain menerapkan wajib belajar pendidikan dasar (wajardikdas) 12 tahun, mulai dari Madrasah Ibtidaiyah setara SD, Madrasah Tsanawiyah setara SMP, dan Madrasah Aliyah setara SMA, telah banyak pesantren yang menyelenggarakan sekolah tinggi, seperti: ISID Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur; Ma’had Aly Pesantren Al-Munawwir Bantul Yogyakarta; dan STAIDA Pesantren Darunnajah Jakarta (lihat buku Direktori Pesantren, Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Departemen Agama Republika Indonesia, Tahun 2007).
Dalam rencana strategis Ditjen Pendidikan Islam ditegaskan bahwa fungsi pesantren adalah sebagai lembaga tafaqquh fiddin, sebagai lembaga pengembangan sosial kemasyarakatan, dan sebagai lembaga pengembangan pendidikan Islam. Oleh karena itu, pesantren diharapkan menjadi lembaga pencetak kader yang faqih fi ulumuddin, juga faqih fi mashalihil ummah.
Dengan berdirinya sekolah tinggi di lingkungan pesantren memberikan harapan besar dalam mewujudkan rencana strategis Ditjen Pendidikan Islam tersebut, termasuk dalam menyiapkan SDM berkualitas (kader-kader ulama berwawasan global, profesional, kredibel, dan kapabel) di masa mendatang.
Sebab disinyalir saat ini sedang krisis ulama di negeri ini. Oleh karena itu, bangsa ini sedang menanti lahirnya kader-kader ulama yang tidak hanya faqih fi ulumuddin, faqih fi mashalihil ummah, tetapi sekaligus faqih fi ulumilkauni.
Selain itu, juga untuk mengembalikan tradisi keilmuan pesantren (jawwul ilmi). Tradisi ini harus dibangkitkan dan digairahkan kembali. Langkah awal yang dilakukan adalah menginisiasi kegiatan tahqiq kitab kuning (tahqiq al-kutub). Kegiatan tahqiq ini paling tidak mempunyai beberapa kepentingan.
Pertama, kepentingan keilmuan. Kedua, dalam rangka penyelamatan khazanah (berupa manuskrip atau makhthuthat) karya ulama nusantara. Sebab, banyak kitab kuning atau manuskrip klasik yang tercecer tidak keruan dan hancur di makan zaman. Padahal di Timur Tengah, manuskrip klasik telah menjadi obyek garapan tradisi tahqiq yang tak ada habisnya di Perguruan Tinggi, bahkan sudah menjadi komoditas.
Dan ketiga, mempublikasikan karya ulama nusantara dengan cara mentahqiq, mencetak (ulang) atau menerbitkan kembali (naskah yang sudah ditahqiq) agar tidak kehilangan jejak keilmuan (missing link). (Tahqiq Kitab Kuning: Menghidupkan Kembali Tradisi Keilmuan Pesantren oleh DR Mastuki HS, MA, dalam Jurnal Pondok Pesantren MIHRAB, Vol. II. No. 2. Juni. 2008).
Karakteristik Pendidikan Pesantren
Dalam buku at-Tarbiyah al-Islamiyah, Dr Yusuf al-Qardawi memformulasikan tujuan pendidikan Islam (pendidikan pesantren) sebagai berikut: membentuk suatu generasi muslim baru yang memahami Islam secara benar, meyakini secara mendalam, melaksanakannya dalam dirinya dan keluarganya, serta berjuang untuk meninggikan agama Allah, menerapkan syariat Islam dan menyatukan umat.
Tarbiyah Islamiyah (pendidikan pesantren) memiliki beberapa karakteristik, pertama, rabbaniyah, yaitu merupakan aspek terpenting karena dianggap sebagai tujuan utama dalam tarbiyah Islamiyah yaitu membentuk insan mukmin. Iman dalam Islam bukan sekedar ucapan atau pengakuan saja, tetapi suatu hakikat yang sinarnya menerangi akal, perasaan dan perbuatan.
Kedua, totalitas dan komprehensif. Dalam tarbiyah Islamiyah tidak terbatas pada satu aspek saja yang ada dalam diri manusia, tetapi mencakup semua aspek baik jasmani, rohani, moral (khuluki), intelektual (fikri), dan soaial (ijtima’i). Islam mendidik manusia secara utuh; akalnya, hatinya, rohaninya, jasmaninya, akhlaknya, dan tingkah lakunya, sebagaimana menyiapkan manusia untuk menghadapi segala situasi dan kondisi kehidupan individual dan sosial.
Ketiga, positif dan konstruktif. Tarbiyah Islamiyah mengarah kepada hal-hal yang positif dan konstruktif serta menjauhkan segala hal yang bersifat negatif dan destruktif. Islam menginginkan agar setiap muslim mau berbuat dan bukan sekedar bicara saja. Ia tidak berbicara kecuali untuk melaksanakannya dan tidak melaksanakan kecuali untuk menciptakan suatu hasil yang berkualitas tinggi.
Keempat, keseimbangan. Bahwa tarbiyah Islamiyah memperhatikan secara seimbang terhadap intelektual dan perasaan, jasmani dan rohani, teori dan praktek, individu dan sosial, hak dan kewajiban, dan seterusnya.
Kelima, ukhuwah. Yang dimaksud ukhuwah di sini adalah bersatunya hati dan rohani berdasarkan ikatan akidah. Ukhuwah adalah tanda keimanan dan perpecahan merupakan kawan bagi kekufuran.
SDM Pesantren
Dengan karakteristik pesantren yang khas dan untuk menghadapi tantangan ke depan, tarbiyah Islamiyah (pendidikan pesantren) yang bertujuan untuk melahirkan santri (sumber daya manusia/SDM) atau generasi muslim Rabbani yang paripurna, unggul dan berkualitas, maka SDM pesantren haruslah orang-orang yang memiliki sepuluh karakter berikut ini.
Yaitu: berakidah lurus dan bersih (salimul aqidah); beribadah dengan benar sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya (shahihul ibadah); berakhlak yang kokoh (matinul khuluk); berwawasn luas (mutsaqaful fikri); terampil dan mampu berusaha secara mandiri (qadirul alal kasbi).
Kemudian, sanggup mengendalikan hawa nafsunya (mujahidun linafsihi); pandai memanfaatkan waktu (harisun ala waktihi); teratur dalam segala urusannya (munadzamun fi syu’unihi); berbadan sehat dan kuat (qawiyyul jismi); dan bermanfaat bagi orang lain (nafi’un lighairihi).
Dengan sepuluh karakter SDM tersebut, pengelola pesantren akan mewakafkan dirinya untuk mewujudkan pesantren dalam melahirkan lulusan (SDM) yang siap untuk berkontribusi untuk membangun bangsa. Buktikan.
Oleh H. Imam Nur Suharno, SPd, SPdI, MPdI
Kepala Divisi Humas dan Dakwah Pesantren Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat, dan Alumni Pesantren Raudlatul Ulum, Pati, Jawa Tengah