KUNINGAN (MASS) – Ada banyak harapan disematkan. Kepada para calon pimpinan daerah. Bupati dan Walikota. Harapan yang tersemat itu begitu logis. Karena proximity-kedekatan Pimpinan tingkat daerah dengan rakyatnya nyaris tanpa sekat. Dekat secara geografis. Dekat secara historis. Sosial dan dekat secara kultural. Karena harapan itu mengendap di para pimpinan daerah-Bupati maka idealnya mereka memiliki nilai kepemimpinan profetik.
Kenapa profetik? Karena kepemimpinan ini yang akan memaksa para bupati kita memiliki nilai nilai kenabian. Dalam kepemimpinannya. Dalam pemerintahannya. Dalam pengabdiannya. Jika dalam konteks Nabi Muhammad, profetik bisa dimaknai pemimpin harus Shiddiq, tabligh, amanah dan Fathonah.
Shiddiq. Berkata benar dan jujur. Bukan atau jujur. Tapi ‘dan’ jujur. Pemimpin dipegang betul omongannya. Kebijakannya. Kontradiksi antara kata dan karya tidak boleh terjadi. Jika berjanji siap berkhidmat dan menafkahkan waktu untuk Rakyat, jangan baper saat tengah malam ada rakyat butuh hadir sang pemimpin. Benar dan jujur juga dalam konteks pemerintahan juga benar dan jujur dalam mengelola anggaran. Jangan sampai apa yang disebut Band Bland dalam
man Of Cintradiction hadir.
Alokasi anggaran untuk pengentasan kemiskinan jangan lebih kecil daripada untuk sekedar beli mobil pejabat. Anggaran pendidikan jangan sampai lebih kecil dengan anggaran merayakan hari-hari besar. Disebut benar jika lebih fokus kerja esensi daripada seremoni. Publik tak perlu dengan menyebarnya poster para pejabat di pinggir jalan. Tapi butuhnya karya dan legacy hadir di tiap Kecamatan.
Benar dalam memimpin pun bisa dimaknai benar menempatkan orang sesuai dengan kapasitas. Bukan sesuai isi tas. Apalagi atas penilaian kedekatan. Tidak boleh ada lagi jabatan tertentu harus bermahar sekian. Tak ingin lagi mendengar ada ‘hangky pangky’ dalam proyek proyek publik. Apalagi praktik ijon proyek. Salah satu ‘break auto hold’-remnya adalah Bupati. Caranya beri contoh. Jangan mengaku merakyat tetapi setiap melangkah dikelilingi cukong pencari untung.
Sifat profetik kedua adalah tabligh. Menyampaikan. Jika para Nabi menyampaikan titah Tuhan, maka pemimpin lokal ini membuat dan menyampaikan aturan aturan. Aturan dibuat demi kemaslahatan umat. Bukan demi segelintir pembisik dan sekondan pemberi cuan. Tugasnya untuk memberi peringatan, membimbing umat, memperbaiki, dan menyongsong negeri Madani.
Pemerintah hadir di setiap kesulitan warga. Pejabat tanggap saat Rakyat mengaduh dan mengeluh. Kebijakan yang dilahirkan betul betul hanya berkiblat kepada rakyat.
Pada sisi tekhnis tabligh berarti menyampaikan yang menjadi hak Rakyat. Contoh nyatanya jika turun anggaran dari pusat untuk Menerangi daerah daerah yang gelap misalnya, maka sampaikanlah. Jangan hanya program hanya menyentuh sekitar kediaman penggede, pendukung dan penyokong saja. Begitu pun jika ada bantuan beras miskin, perbaikan rumah warga miskin maka sampaikanlah. Bukan kepada kerabat dan teman dekat.
Nilai profetik ketiga Amanah. Dapat dipercaya. Salah satu indikator amanah ini adalah transparansi. Keterbukaan. Tidak berkelambu saat menyusun anggaran. Tidak berkabut saat penyusunan proyek publik. Hingga tak ada main mata saat penunjukan siapa pelaksana proyek. Tradisi festival anggaran ala Kabupaten Batang bisa diadopsi. Publik selama seminggu penuh bisa memelototi setiap anggaran. Dari tingkat kabupaten hingga desa. Pengawasan dilakukan secara seksama.
Senyum mengembang. Badan membungkuk. Tangan menjura jangan hanya dipakai saat butuh dukungan Rakyat. Tetapi sikap santun itu idealnya ‘embadded’-menempel dalam setiap langkah. Kepercayaan publik kepada pemimpinnya bukan berdasarkan berapa besar publik dapat sangu. Tapi percaya seutuhnya pemimpinnya akan berkhidmat penuh. Jika daerah tengah kolaps secara anggaran maka para pejabatnya harus paling pertama mengetatkan ikat pinggang. Jamuan makan dikurangi. Kunjungan keluar daerah dan luar negeri diurungkan. Jangan sampai rakyatnya menjerit karena krisis tapi aset pejabatnya terus tumbuh. Kepercayaan publik tak bisa dipoles hanya dengan bersikap ramah tiba tiba.
Terakhir cerdas. Cerdas bukan hanya mahir matematika. Tetapi mahir memahami dunia. Berpikir rasional. Terpenting mampu menggunakan sumber-sumber secara efektif saat dihadapkan pada tantangan. Mampu membaca memetakan dan mengeksekusi setiap potensi daerah. Secara akademis cerdas bisa cerdas secara intellegent. Emosional dan Spritual. Secara emosi terjaga. Tidak bicara menghakimi. Tidak bertindak melukai.
Semoga dalam kontestasi Pilkada tahun ini lahir para pemimpin yang memiliki nilai profetik ala Rasul. Wallahualam bishowab…
Abdul Jalil Hermawan
Dosen ilmu Komunikasi UGJ