KUNINGAN (MASS) – Membedah persoalan terkait pelarangan penanaman kelapa sawit illegal maka kita harus memahami terkait dengan kewenangan pemerintah, subjek dan objek hukum dalam pemerintahan. Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu Atribusi, Delegasi dan Mandat, sebagaimana yang didefinisikan oleh H.D van Wijk/ Willem Konijnenbelt, sebagai berikut:
- Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan contohnya kewenangan Bupati dalam menjalankan roda pemerintahan merupakan Amanah dari Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
- Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya contohnya adalah Penyerahan izin pertambangan Galian C dari Kementrian ESDM ke Pemerintahan Provinsi.
- Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas Namanya contohnya pelimpahan kewenangan perizinan Bupati ke Dinas Perizinan.
“Bahwa berdasarkan kewenangan Pemerintah Daerah Kuningan melalui Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian sudah mengeluarkan surat Nomor: 500.6.14.3/37/HORTIBUN tertanggal 1 Maret 2025 yang ditujukan kepada Direktur PT. Kelapa Ciung Sukses Makmur (KCSM) yang berisi Penghentian Pendistribusian dan Penanaman Kelapa Sawit merupakan bentuk Tindakan Pemerintahan Kuningan”
Subjek hukum terdiri dari 2 (dua) yaitu orang dan badan hukum, sedangkan badan hukum terdiri dari badan hukum publik dan badan hukum privat. Badan hukum publik adalah badan hukum yang dibentuk oleh negara atau pemerintah untuk menyelenggarakan fungsi publik dan kepentingan umum, diatur oleh hukum publik, dan dapat digugat ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara). Contohnya adalah negara, pemerintah daerah, bank sentral (seperti Bank Indonesia), dan perusahaan milik negara.
Badan Hukum Privat adalah badan hukum yang didirikan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, seperti Perseroan Terbatas (PT), koperasi, atau yayasan “Bahwa Pemerintahan Kuningan adalah Badan Hukum Publik berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Provinsi Djawa Barat sehingga merupakan subjek yang sah yang dapat digugat ke PTUN”
Objek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), yang merupakan penetapan tertulis dari badan atau pejabat tata usaha negara yang menimbulkan akibat hukum. Selain KTUN, sengketa juga bisa timbul dari Tindakan faktual pejabat TUN atau akibat KTUN fiktif negatif (misalnya, badan tidak mengeluarkan keputusan yang diminta).
“Bahwa setelah diamati secara gramatikal surat keputusan (SK) adalah keharusan menggunakan bahasa yang baku, jelas, dan sesuai kaidah bahasa Indonesia, dengan struktur yang terstruktur dan formal, mencakup kepala surat, konsiderans (alasan dan dasar hukum), desideratum (tujuan), diktum (keputusan), bagian penutup, serta tanda tangan pejabat berwenang dan cap dinas, adapun surat nomor: 500.6.14.3/37/HORTIBUN tertanggal 1 Maret 2025 tidak memenuhi unsur surat keputusan secara formal”
Pasal 5 UU PTUN menyatakan “Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.” “Bahwa secara tenggang waktu gugatan surat nomor: 500.6.14.3/37/HORTIBUN tertanggal 1 Maret 2025, maka secara waktu sudah melampaui 90 hari sesuai bunyi pasal 5 UU PTUN, sehingga peluang diterimanya gugatan PTUN relatif sulit, tapi peluang ada apabila gugatan class action ke PN, dengan syarat banyak orang yang dirugikan dan bersama-sama mengajukan gugatannya ke Pengadilan.”
“Bahwa Bupati Kuningan, Dr. H. Dian Rachmat Yanuar, M.Si. harus terus komitmen dalam menindak tegas pada perorangan atau perusahaan yang memaksakan penanaman kelapa sawit secara ilegal di kuningan serta selalu mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih di Kuningan”
Oleh: Suwari Akhmaddhian, Direktur LBH serta akademisi hukum Kuningan