Connect with us

Hi, what are you looking for?

Netizen Mass

Membangun Rumah Sendiri, Kena Pajak? Wajar, Kok!

KUNINGAN (MASS) – Your home is a special place
The holiday was great! Still, there’s no place like home
(Rumahmu adalah tempat spesial. Liburan itu menyenangkan! Tetap saja, tidak ada tempat selayaknya rumah)

(eslbuzz.com)

Rumah memang tempat ternyaman bagi siapapun. Tempat bercengkrama bersama keluarga. Tempat melepas penat, juga beristirahat dari hiruk pikuk kehidupan.

Rumah merupakan tempat privasi yang tidak sembarang orang boleh masuk tanpa izin. Di dalamnya seseorang akan merasa aman dari kebisingan dan gangguan. Selayaknya sandang dan pangan, papan (rumah) menjadi kebutuhan pokok yang wajib terpenuhi.

Meskipun rumah termasuk kebutuhan dasar, memilikinya tentu saja membutuhkan usaha lebih. Tempat berteduh seperti rumah haruslah layak, baik dari sisi bangunan ataupun lingkungan.

Selain itu, rumah pun harus memenuhi standar yang sesuai dengan jumlah penghuninya. Sehingga rumah bagi anggota keluarga empat orang tidak bisa disamakan dengan keluarga dengan jumlah lebih banyak atau lebih sedikit. Oleh karenanya, pemenuhannya menjadi soalan yang penting.

Semakin hari, semakin bertambah jumlah penduduk, Kebutuhan akan rumah pun semakin meningkat. Hal ini menjadi pemantik banyaknya pengusaha yang berinvestasi dalam bisnis property. Bisnis ini berpeluang memberikan profit yang besar. Sehingga banyak developer yang membuka lahan dan membangun perumahan demi memenuhi pengadaan hunian.

Berbagai jenis hunian pun bisa dipilih baik subsidi atau non subsidi, yang membedakan keduanya adalah bentuk fisik rumah dan ketahanan bangunan. Ada juga berupa pembelian lahan kapling dan pemilik dapat membangun rumah dengan gaya atau selera sesuai keinginannya.

Ada kabar teranyar yang wajib menjadi perhatian bagi siapapun yang hendak membangun rumah. Dilansir dari harian kompas.com (Minggu, 15/09/2024), Pajak Pertambahan Nilai yang semula 11 persen akan naik menjadi 12 persen. Kenaikan ini akan direalisasi selambat-lambatnya 1 Januari Tahun 2025. Ketentuan ini telah diatur dalam Undang-undang (UU) nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Peraturan tersebut termasuk untuk pembelian rumah hingga pembangunan rumah sendiri tanpa kontraktor. Besaran PPN (Pajak Pertambahan Nilai) ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 61/PMK. 30/2022 tentang PPN atas kegiatan Membangun rumah sendiri.

Jika saat ini PPN sebesar 11 persen, maka pajak membangun rumah sendiri dikenai 2,2 persen. Tahun depan PPN naik menjadi 12 persen, pajak yang dikenai saat membangun rumah yaitu 2,4 persen.

Pajak ini tidak hanya pada kegiatan membangun rumah sendiri,
termasuk juga perluasan bangunan lama. Selain itu ada tiga syarat lain, diantaranya adalah konstruksi utama bangunan berupa kayu, beton, pasangan batu bata dan baja. Kemudian, bangunan yang sedang didirikan bisa berupa rumah pribadi atau tempat usaha. Ketiga, luas bangunan minimal 200 meter persegi.

Serba dikenai pajak, bagaimana bisa?

Sebetulnya banyaknya aneka pajak yang berlaku pada berbagai sandang, pangan hingga papan adalah sebuah keniscayaan dalam negara dengan basis sistem Kapitalisme-sekular. Karena pajak merupakan sumber utama keuangan negara.

Sehingga, ketika membangun rumah dengan kriteria tertentu dan dikenai pajak, itu wajar. Bukan kebijakan yang mengagetkan.

Mari menyusuri akar munculnya kebijakan penerapan pajak pada hampir seluruh hal. Disadari ataukah tidak penerapan sistem ekonomi Kapitalisme membuat rakyat cukup kesulitan dalam memiliki rumah. Pekerjaan yang tersedia tidak memungkinkan rakyat bisa membangun rumah dengan standar memadai.

Gaji bulanan akan banyak terserap pada kebutuhan pangan, sekolah, dan kesehatan. Jika pun rakyat yang mampu membangun rumah layak dan memadai untuk keluarga, akan kena pajak yang cukup tinggi. Menjadi tanda tanya besar adakah upaya negara untuk meringankan beban rakyat? Terlebih dengan adanya penetapan pajak rumah.

Besaran pajak rumah berupa nominal tertentu sebesar biaya yang dikeluarkan dan atau dibayarkan dalam rangka membangun rumah atau bangunan dalam setiap masa pajak hingga tempat tersebut rampung. Ini belum termasuk biaya perolehan tanah sesuai ketetapan negara.

Negaralah yang seyogianya menjadi institusi penyelenggara fasilitas pekerjaan yang memungkinkan rakyatnya mampu memenuhi kebutuhan pokok, tanpa dibebankan dengan biaya pendidikan, kesehatan, serta kebutuhan pokok yang tidak murah. Dengan begitu, mudah bagi rakyat memiliki hunian yang sesuai dan layak.

Adakah solusi alternatif dalam mememuhi kebutuhan papan yang tidak memberatkan rakyat?

Advertisement. Scroll to continue reading.

Jawabannya tentu saja ada. Menelaah lebih dalam, Islam memiliki aturan yang cukup rinci dalam mengatur sistem ekonomi dan sumber pendapatan negara. Islam melalui nashnya melarang pengelolaan sumber daya alam seperti kekayaan laut, hutan beserta isinya, air, tambang emas serta mineral lainnya diserahkan pada swasta.

Rasulullah saw bersabda bahwa “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Pelarangan ini dimaksudkan agar segala kemaslahatan bisa dinikmati oleh seluruh rakyat baik muslim ataupun non muslim. Ketetapan ini pula memastikan agar harta atau kekayaan tidak berputar di segelintir orang saja.

Jelaslah bahwa hasil dari pengelolaan sumber daya alam menjadi salah satu sumber mata air dalam keuangan negara. Dengan ini, negara bisa dan mampu menjadi penjamin kesejahteraan, terutama dalam menyediakan lahan pekerjaan berikut dengan gaji lebih dari cukup.

Aturan Islam lain, misalnya hukum-hukum tentang tanah. Islam melarang penelantaran tanah, memerintahkan agar menghidupkan tanah mati (ihya al-mawat), boleh memagari tanah (tahjir) sebagai tanda kepemilikan, dan pembagian tanah oleh negara (iqtha’) kepada siapa pun yang mau mengolah sebanyak yang mampu ia kelola.

Aturan di atas tentu saja pada tanah yang bukan tanah hima (cagar alam), hutan produktif, atau tanah umum yang dimiliki negara.

Islam memastikan bahwa pajak tidak ditetapkan sebagai pendapatan utama negara. Pajak mungkin saja dilakukan hanya jika dalam kondisi tertentu dan bersifat mendesak, namun terbatas pada masyarakat yang kaya raya (aghnia) saja.

Islam memang paripurna dalam mengatur kehidupan, dari hal sederhana hingga hal yang lebih luas, terutama hal-hal yang menyangkut hajat hidup khalayak. Penyediaan hunian layak, memadai akan menjadi mudah bagi negara. Rakyat dengan pendapatan yang baik, akan mampu membeli rumah sesuai keperluannya.

Islam sudah dikaji ke-efektifannya secara empiris baik oleh ulama ataupun intelektual. Islam sudah teruji penerapannya, dapat dipastikan secara historis dalam sejarah 14 abad silam. Dewasa ini, jika mendapati aturan yang ditetapkan justru memberatkan, maka semestinya Islam bisa menjadi solusi pilihan agar kebijakan semisal pajak pada semua sektor tidak menjadi sebuah kewajaran.

Wallahu’alam

Penulis : Tati Sunarti, S.S (Pegiat Literasi)

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Advertisement

Berita Terbaru

Advertisement
Advertisement

You May Also Like

Advertisement
Exit mobile version