KUNINGAN (MASS)- Gugatan atas eksistensi Ki Sunda dari pelbagai aspek sepertinya tidak akan pernah berhenti, Hal itu, merupakan dampak dari kinerja yang tidak optimal di khasanah nasional. Sehingga menimbulkan rupa-rupa pertanyaan yang dikait-kaitkan dengan simptom masa lalu.
Pertanyaan itu pun tidak jarang membuat luka bagi Ki Sunda sendiri. Padahal, selayaknya tidak demikian tapi mampu mengadopsi kekenyalan jaman yang terus berubah sesuai kodratinya. Rasa terluka, lebih kepada “proses diam” yang mengental. Namun tidak mengubah sistematika karakteristik, padahal mungkin saja karakter itu hasil adopsi.
Selama ini, Ki Sunda ditasbihkan dengan filosofis itu sendiri. Semisal ngaji rasa dan ngaji diri untuk mengungkapkan pemikirannya. Dari sana timbul asumsi gede tinimbangan, heurin ku letah dan seterusnya. Bisa jadi filosofis itu merupakan hasil transformasi kultural yang bukan berasal dari jati diri Ki Sunda.
Adagium yang dipelihara entah berapa ratus tahun itu, seolah-olah menjadi ritual paling sahih sebagai paririmbon dalam pengaktualisasiannya. Dan menimbulkan pertanyaan, betulkah jati diri Ki Sunda semacam itu? Bahwa sistim handap asor, mangga ti payun merupakan kekhasan yang tidak mungkin ditawar?
Sehingga pada implementasinya meneguhkan budaya antri antara senior-junior harus berjalan sebagaimana mestinya. Saling mendahului dan kejar-kejaran tidak diwenangkan, terlepas memiliki kemampuan atau tidak. Dalam posisi lemah ini, diperparah dengan kondisi carut marutnya kekuatan kolektif.
Lebih celaka lagi, ketika memasuki masa sepuh dan tidak berdaya, tetapi ambisi untuk tetap ngadeg kian bergelora. Sementara kemampuan bersaing dengan pihak di luar Ki Sunda semakin kendor. Namun terus dibiarkan sehingga di tataran nasional menjadi titik nadir dalam mencapai tujuan lebih besar.
Dan anehnya, terjadi kompromi dengan di luar Ki Sunda tapi tidak dengan wilayah kebatinan Ki Sunda. Mungkin untuk membuktikan sikap seperti ini perlu telaah lebih mendalam, bukan hanya pengamatan sekilas. Kendati demikian, tercermin dari eskalasi yang diperagakan beberapa tokoh hampir mendekati.
Asumsi ini mengundang pertanyaan, untuk siapa handap asor dan mangga ti payun ditujukan? Apakah untuk kalangan sendiri atau bagi pihak lain? Umpamanya, sikap itu diperuntukan kepada pihak lain, sangat jelas menunjukan karakteristik adopsi. Bukan untuk mewakili kekhasan Ki Sunda.
Begitu pun andaikan tata krama diobrak-abrik, misalnya menafsirkan mangga ti payun bukan sebuah basa basi. Namun mendemontrasikan keegaliteran sebagai penetrasi atas kebuntuan yang semakin mengajegkan Ki Sunda. Seharusnya tidak perlu dimuntilasi dan menyisakan pating kecewis bernada minor.
Parodi Ketokohan
Selama ini Ki Sunda dikarakteristikan sebagai protagonis dengan segala label filosofisnya. Sebuah karakter yang dikanibalisasi dari kasta brahmana. Segala paripolah-nya cenderung menggunakan tata titi duduga peryoga. Metode ini diparadokan sebagai hasil kristalisasi Ki Sunda beratus tahun lalu.
Ketika ada tokoh Sunda di luar pakem, atau lebih tepatnya mengistilahkan sebagai antagonis dari filosofisnya. Kalimat akhir yang dilontarkan menyebutkan “bukan tokoh atau orang Sunda”. Semisal melakukan tindakan radikal dalam menjalankan gagasannya. Begitu pun penyampaian tidak entep seureuh maupun dialek kesantunan.
Ada semacam pengelaborasian yang dipaksakan secara alamiah ke dalam filosofis. Padahal filosofis itu belum digali keontentikannya sebagai akar budaya Ki Sunda. Tidak jarang ditemukan dalam forum terbuka sikap ketegasan dan lugas dalam penyampaian gagasan kerap ditanggapi dengan warna wajah merona.
Tidak jarang pula kaum mudanya togmol, sehingga dipertanyakan oleh kaum sepuh sebagai dekandensi Kasundaan. Hal itu memicu konflik interes antara dua generasi berbeda dalam menyikapi esensial Ki Sunda. Ketokohan yang mengklaim diri sebagai jati diri Ki Sunda telah mengurung diri dalam sangkar emasnya.
Sementara dialektika seperti itu tidak menjamin dalam tataran global, mampu bersaing. Sikap tertutup atas koreksi, merupakan salah satu kendala dalam mengejawantahkan Ki Sunda dalam kepentingan lebih luas. Sebab saya meyakini bahwa sikap fundamental Ki Sunda bukan berasal dari filosofis terjajah.
Seperti diungkapkan Ayip Rosidi dalam setiap kesempatan sebagai sample sederhana. Di Sunda tidak mengenal undak usuk basa, sebab undak usuk merupakan peninggalan Mataram. Penggunaan tata bahasa Sunda yang diklaim sebagai papagon Sunda ternyata merupakan hasil adopsi yang diwariskan secara turun temurun.
Jika saja hal itu benar, kenapa harus memertahankan filosofi yang bukan berasal dari Kasundaan? Lebih celaka lagi andaikan klaim yang hampir paripurna itu sudah menutup Ki Sunda saujratna. Sama artinya selama ini lapisan baju yang digunakan bukan Ki Sunda tapi hanya mamalihan atau sebuah parodi ketokohan.
Mataramisme Ki Sunda
Salah satu identitas suatu kaum dinyatakan dengan bahasanya. Bahasa mampu menelusup ke setiap sendi-sendi kehidupan. Ia akan bermetamorfosis dalam perilaku, cara pandang dan sistematika cipta, karsa serta rasa. Epistemologi ini membuka ruang kesadaran untuk membaca kelemahan dan keunggulan bahasa guna memuluskan pelbagai kepentingan.
Karena itu Mataram sadar betul ketika memasuki wilayah jajahannya termasuk Sunda. Secara umum, Mataram tidak melakukan perubahan irasional terhadap sosiocultural yang menyulut pertentangan. Namun membuat struktur baru tata bahasa sebagai kekuatan fundamental perubahan selanjutnya.
Cara berpolitik santun, pencitraan yang kuat dan memegang teguh hegemoni kebangsawanan merupakan prinsip dasar Mataram menguasai Jawadhipa. Faktor kesantunan tertanam dalam penggunaan bahasa yang mendukung pencitraan sebagai raja. Raja adalah karma dewa untuk mengurus manusia dan patut dihormati sama dengan dewa itu sendiri.
Alasan Mataram dianggap masuk akal bagi kaum bangsawan Sunda. Kesadaran menjaga harkat, martabat dan darajat kebangsawanan menjadi perioritas dalam membangun hegemoni kekuasaan. Karena adab-adab yang disodorkan dapat mewakili sebuah peradaban. Dalih yang dikedepankan bahwa masyarakat mengalami kemajuan ditinjau dari aspek komunikasi.
Konsep undak usuk basa demikian logis, sehingga tidak ada cara lain masyarakat tidak menerima. Jika pun ada penolakan, dapat dikategorikan tidak mengenal sopan santun atau barbar. Maka perlu didorong kembali terjadinya perubahan dalam sosiocultural masyarakat. Perubahan yang dilaksanakan secara berkesinambungan, tanpa disadari Ki Sunda terperangkap adagium Mataram.
Mataram tidak saja sudah mengobrak-abrik pakem jati diri Ki Sunda ratusan tahun lalu sebagai masyarakat egaliter. Ketika tertanam budaya adopsi dapat merubah segalanya. Ki Sunda Menjadi ringkih, selalu diselimuti rasa risih untuk mengungkapkan gagasan. Peragu dalam memutuskan perkara. Terlebih tidak memiliki mental “petarung”.
Transenden Antropolog Ki Sunda
Wilayah kebatinan Ki Sunda selama ini yang dijadikan jargon hanya dua, yakni Prabu Maharaja Linggabuana Wisesa inklud Diah Pitaloka. Mereka karam dalam pembelaan harkat, martabat dan darajat di Bubat. Keduanya ialah Sri Baduga Maharaja Niskala Wastu Kancana yang berkuasa sangat lama selama 104 tahun dan lebih memilih moksa ngahiyang.
Setiap pitutur yang didadarkan selalu mengacu ke sana. Seolah-olah wujud Ki Sunda ada pada kedua meanstream tersebut. Namun pertanyaannya, betulkan wujud Ki Sunda ada pada keduanya dan tidak bisa ditawar? Jika saja tafsir itu dibalik, apakah kita akan menerima tokoh seperti itu menjadi panutan?
Andaikan Linggabuana menggunakan elmu linuwih dalam menganalisis kabar yang diterimanya. Bahwa Hayam Wuruk akan memersunting Diah Pitaloka sebagai permaisuri. Benar dan tidaknya kabar itu perlu cek and ricek terlebih dahulu. Sebab ada norma dan etika yang patut mendapat perhatian serius.
Dalam pancakaki disebutkan pendiri Majapahit Raden Wijaya merupakan cucu dari Prabu Guru Dharmasisksa atau Prabu Sanghyang Wisnu. Sama artinya mereka memiliki kaitan darah. Ketika diterima pun ada pertimbangan-pertimbangan khusus. Bukan sebaliknya meneyetujui dan berujung malapetaka.
Terlepas dari kambing hitam yang dialamatkan pada Gajah Mada. Sepintas dapat disimpulkan bahwa peristiwa itu menunjukan dua perkara maha penting. Ki Sunda digambarkan sebagai tokoh yang tidak memiliki visi, misi ke depan dengan filosofis sing asak-asak ngejo bisi tutung tambagana. Kematangan menganalisis dalam memutuskan perkara.
Sosok Diah Pitaloka yang dilukiskan sebagai wanita yang menggambarkan karakteristik Kasundaannya. Tetapi apabila ditelaah, apakah sedangkal itu? Ketika terjepit dari sebuah perkara harus mengambil jalan tol dengan cara bunuh diri? Bukan kah masih ada cara lain yang lebih elegan dalam menuntaskan perkara?
Begitu pun dengan Sri Baduga Maharaja Niskala Wastu Kancana, yang mencapai kertayuga. Namun betapa ringkihnya ketika menghadapi persoalan nyata adanya ancaman Mataram pada akhir kekuasaannya. Ia tidak saja telah membuat kesalahan fatal dengan mengundang Portugis ke Jayakarta.
Juga tidak mampu menjaga rakyatnya dari kebrutalan Mataram dan Cirebon. Celakanya lagi ia tidak bertanggung jawab untuk melakukan pembelaan wilayah kekuasaannya. Dengan mudah lengser keprabon dan memilih ngahiang untuk moksa. Apakah ini ciri khas Ki Sunda yang selalu kalah dan kalah? Sungguh ironis.
Ki Sunda “Petarung”
Meski perasaan pesimis menggelayut, toh kita masih menyisakan Ki Sunda yang berkarakter petarung. Ciung Wanara salah satunya. Ia mencerminkan Ki Sunda yang leber wawanen dan mampu memanfaatkan potensi sekecil apa pun menjadi potensi maha besar. Sehingga kita dapat menilai bagaimana tingkat intelektualnya serta kegigihan dalam mencapai tujuan.
Ciung Wanara, tidak perlu mengeluarkan kecengengan tidak berarti. Tidak pula merasakan heurin ku letah. Atawa mangga ti payun. Tapi ia berusaha tampil di depan dengan segala kapasitasnya yang tidak bisa diragukan. Tidak ada istilah ngewer jawer samemeh padungdung. Tokoh yang tegas, lugas dan berfilosofis sing asak-asak nya ngejo bisi tutung tambagana. Dalam pengertian cepat, tepat dan sigap dalam memutuskan perkara.
Begitu pun Legenda Sangkuriang yang tidak pernah berhenti mencari keyakinan dan tegas dalam bertindak. Meski Dayang Sumbi mengaku dirinya sebagai ibu, namun Sangkuriang tidak yakin dengan pengakuan sepihak. Ia tetap teguh terhadap pendiriannya dan mau bekerja keras untuk mencapai tujuan.
Jiwa-jiwa petarung dalam diri Ki Sunda selalu tumbuh dan berkembang. Bukan sebagai tokoh terjajah dan tidak berdaya. Apalagi memiliki karakter bodoh dan tidak bertanggung jawab atas kehendak rakyat. Begitu pun dalam diri wanitanya. Purbasari merupakan cermin perempuan Sunda yang liat dan kenyal dalam mememeroleh tujuan sebagaimana haknya.***
Penulis: Nding Masku
Tingal di Kecamatan/Kabupaten Kuningan