KUNINGAN (MASS) – Belakangan ini, diskusi di jagat maya terkait Filsafat ramai diperbincangkan, dan acara ngopi santaipun kembali diramaikan dengan topik klasik yang kini semakin relevan: filsafat. Fenomena ini dipicu oleh “Malaka Project” yang diinisiasi oleh Feri Irwandi dan rekan-rekannya, yang berhasil membuat konten-konten tentang kegunaan filsafat di era kontemporer menjadi viral. Respons dari masyarakat pun cukup mengejutkan, banyak yang penasaran dan ikut nimbrung dalam diskursus tersebut.
Pertanyaan demi pertanyaan tentang seberapa penting sih filsafat dalam kehidupan sehari-hari? banyak bermunculan. Untuk diketahui, secara historis, filsafat yang berarti “cinta kebijaksanaan” lahir di Yunani kuno, berawal dari pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti “Bumi ini asalnya dari mana?” Dari pertanyaan tersebut, filsafat berkembang menjadi berbagai cabang ilmu yang mendasari ilmu pengetahuan modern seperti matematika, fisika, dan biologi.
Raqiib salah satu pemantik dalam diskusi yang digelar kuninganbook comunity, Selasa (29/7/2025) kemarin, menjelaskan bahwa filsafat berfungsi sebagai alat bantu untuk mempertanyakan berbagai hal yang mungkin tidak terpikirkan oleh orang lain.
“Sebagai contoh, mengapa kita harus bersekolah pada jam setengah tujuh pagi? Filsafat mengajak kita untuk mempertanyakan hal-hal tersebut, yang merupakan produk dari pemikiran panjang dan kritis,” tuturnya.
Candrika yang menjadi pemantik kedua juga mengaku “tersesat dan terpesona,” menambahkan bahwa filsafat memberikan jeda bagi individu untuk mempertanyakan keyakinan yang selama ini mereka pegang. Proses ini mungkin membuat beberapa orang merasa berjarak dari keyakinan lama mereka, namun ini adalah langkah penting untuk mencegah mistifikasi atau penanaman nilai tanpa verifikasi.
“Filsafat juga dianggap sebagai ‘obat’ untuk masyarakat yang terjebak dalam fanatisme dan dogma,” jelas Candrika.
Lebih jauh lagi, filsafat juga dapat berfungsi sebagai senjata untuk membongkar ketidakadilan sosial. Mengapa buruh yang bekerja keras mendapatkan gaji kecil sementara pengusaha meraih keuntungan besar? Filsafat memicu pertanyaan-pertanyaan kritis tentang sistem sosial dan ekonomi, serta bagaimana ketidakadilan muncul di dalamnya. Dalam era sains dan teknologi, filsafat tetap relevan, seperti dalam kasus Oppenheimer yang mempertanyakan etika penggunaan penemuan ilmiah.
Namun, ironi muncul ketika di beberapa kampus di Indonesia, mata kuliah filsafat mulai dihilangkan dari kurikulum wajib. Hal ini disebabkan oleh pandangan bahwa pendidikan harus mempersiapkan mahasiswa untuk siap “diserap” oleh industri, sehingga ilmu-ilmu humaniora dan filosofis dianggap tidak aplikatif. Andre, selaku peserta diskusi lainnya, menilai bahwa hal ini mencerminkan budaya Indonesia yang kurang terbiasa dengan interupsi dan diskusi kritis.
Meski demikian, ada secercah harapan dari para praktisi pendidikan. Pak Asep, seorang guru SD, membagikan pengalamannya dalam “membumikan” filsafat di kelas. Dia menggunakan dongeng untuk memantik pertanyaan-pertanyaan fundamental pada siswa. Misalnya, dalam kisah Kancil dan Buaya, siswa diajak bertanya tentang motif di balik tindakan karakter, sehingga filsafat menjadi praktis dan relevan dalam konteks kehidupan sehari-hari.
“Saya mengajak anak-anak untuk berpikir kritis sejak dini. Pengalaman ketika seorang anak menggambar daun berwarna merah menunjukkan bahwa nalar kritis dapat tumbuh jika diberikan ruang untuk bertanya,” tutur Asep. (didin)