SUBANG (MASS) – Waktu menunjukan pukul setengah delapan malam saat saya mengunjungi salah satu makam bersejarah di Desa Subang Kecamatan Subang, Sabtu (12/10/2019). Makam bersejarah tersebut lebih dikenal masyarakat sebagai Makam Dalem, terletak di Cibabangsalan, Desa Subang Kecamatan Subang.
Namun ternyata bukan hal mudah melakukan ekspedisi seorang diri. Letak makam yang cukup jauh dari pemukiman, serta jalan yang gelap gulita hampir membuat nyali saya ciut.
Dari jalan raya menuju ke Makam Dalem memang terhampar jalan tembok, tapi lebarnya tidak lebih dari satu meter. Jalan yang berada di pingir sawah (galengan) tersebut cukup panjang. Mungkin 500 meter. Perjalanan kita bahkan menyebrangi jembatan menyebrangi sungai.
Dan benarlah, ekspedisi saya malam itu tertahan di gerbang Makam Dalem, Gerbang yang saya maksud adalah jalan kecil di samping mushola kuning di awal masuk wilayah pemakaman. Saya coba mengambil gambar meski sedikit gemetar. Membaca doa serta mengirimi Alfatihah, dan pulang untuk bertanya pada salah satu narasumber, sesepuh.
Jadi, nanti untuk pemanis, mungkin ada gambar lain yang telah diambil sebelumnya pada siang hari, dan pagi hari setelahnya.
Haji Alimuddin, atau yang dikenal dengan Pak Ketib bercerita banyak soal Raden Wirananggapati, tokoh yang sangat dikenal masyarakat karena kegigihannya membangun Desa Subang sebagai kuwu pertama. Dalem pertama sebagai sebuah desa. Itulah juga kenapa Makamnya sampai saat ini dikenal sebagai Makam Dalem, Makam Kuwu.
Sesepuh yang mengaku lahir pada tanggal 8 April 1932 tersebut menyebut bahwa Desa Subang memang dibangun oleh tiga golongan.
“Keislaman dari Ki Sultan Hasanuddin Banten Putra dari Syekh Gunungjati, Kemasyarakatan ada dari Kerajaan Mataram ya Raden Wirananggapati ini, satu lagi turunan dari Padjajaran, Singajaya dan Bagusjaya turunan Raksajaya,” ujarnya bercerita pada kuninganmass.com.
Dalam penggambarannya, Raden Wiranaggapati mulanya bermukim di Ciketug Desa Pamulihan dan menikah pada putri salah satu Dalem disana, Ki Jabas Raga. Raden Wirananggapati bahkan sempat juga merasakan jadi dalem di Ciketug sebelum dipinta iparnya sendiri, karena dianggap semah, tamu, perantauan. Raden Wirananggapati pun mengalah dan pergi ke daerah yang akan menjadi terrotials Subang nantinya, Koneng Bodas.
“Babang asal-asalan (Kabur begitu saja) yang kemudian saat ini dikenal sebagai daerah di kuburannya Cibabangsalan,” ceritanya dalam bahasa sunda.
Ceritanya yang padat dan berisi tersebut sempat membuat saya mengalami masalah dalam penulisan. Beberapa sejarah memang menjelimet dan saling terhubung satu sama lain. Tapi satu hal yang pasti, Desa Subang bukanlah wilayah kosong yang ditemukan Raden Wirananggapati. Konon, Blok Tarikolot sudah berpenghuni saat Raden Wirananggapati datang. Saat itu belum terbentuk sebuah Desa secara administratif. Wirananggapati-lah yang mengambil peran sebagai kuwu pertama.
“Salah satu anaknya Wirananggapati kan menikah dengan turunan Kyai, Abdussalam bin Abdul Qohir bin Abdul Rosyid, Bahkan Abdul Rasyid sendiri, makamnya masih bisa ditelusuri di daerah Cikeusik, Desa Bangunjaya Kecamatan Subang,” paparnya.
Abdul Rasyid sendiri disebut sebagai turunan Syekh Gunungjati, dia merupakan anak dari Abdul Fatah bin Hasasanudin Banten.
Turunan lain Wirananggapati juga terhubung pada turunan Padjadjaran, Tanudipa. (Bagian ini saya mungkin keliru memahami maksud dari perkataan Abah sepuh. Kebetulan, Abah sepuh sedang tidak enak badan, Alhasil saya simpulkan ceritanya semampunya). Tapi satu hal yang dipercayai masyarakat Subang, bahwa Desa Subang dibangun dari tiga golongan, melibatkan turunan dua kerajaan dan satu kalangan kyai.
Ada yang unik dari makam yang penuh sejarah ini. Meski cukup terawat, tidak ada satupun kuncen yang diakui. Makam ini benar-benar terawat karena banyaknya peziarah. Bahkan, banyak yang rutin dan terjadwal.
Di Makam Dalem sendiri terdapat tiga
Makam, yang berdampingan adalah makam R Wirananggapati dan sang istri, dan sebelah barat terpisah, adalah ajudannya.
“Tapi dulu, banyak yang malah berziarah ke makam ajudannya. Biasanya nyari berkah kegagahannya,” ujar Haji Alimuddin sambil tertawa-tawa.
Sampai saat ini, Haji Alimuddin juga bercerita banyaknya peziarah yang berdoa pada Allah dan ngalap berkahnya di makam dalem. Hal itu sebagai bentuk penghormatan pada karuhun, sebagai syariat sebabnya Desa Subang terlahir.
“Doa mah tetap pada Allah,” ujarnya meyakinkan.
Dalam pemaparannya, sampai saat ini Subang sudah dipimpin lebih dari 20 kuwu. Subang juga termasuk kecamatan awal ke 3 di Kabupaten Kuningan setelah Luragung dan Kuningan. Makam-makam bersejarah lainnya masih bisa ditelusuri. Tempat-tempatnya pun masih terawat dan terbuka untuk diziarahi
“Secara itungan mah, Sebagai kecamatan dan desa yang cukup tua, Subang harus sudah maju,” pungkas abah yang berusia 87 tahun tersebut. (eki/trainee)