KUNINGAN (MASS) – Dalam narasi resmi, Pemerintah Kabupaten Kuningan hari ini mengusung jargon optimistik: “Kuningan Melesat”. Namun sayangnya, jargon tinggal jargon. Di lapangan, pendidikan justru terseret dalam kelambanan birokrasi dan kegagalan membaca momentum. Contoh paling telanjang adalah bagaimana pemerintah daerah—dalam hal ini Bupati Kuningan—gagal menindaklanjuti hasil program Guru Penggerak yang telah berproses jauh sebelum pelantikannya.
Program Guru Penggerak merupakan kebijakan nasional yang sangat progresif. Ia dirancang untuk menciptakan kepemimpinan pendidikan berbasis kompetensi, bukan sekadar administratif. Para guru terbaik diseleksi, dilatih intensif oleh pusat, dan dibiayai penuh—tanpa membebani APBD maupun dompet pribadi guru. Di Kuningan, proses ini telah berjalan selama dua tahun. Para peserta telah lulus dan hanya tinggal satu hal: keputusan kepala daerah untuk menindaklanjuti dan memberikan mandat jabatan.
Namun sayangnya, keputusan itu tak kunjung diambil.
Alih-alih bersikap responsif, pemerintah daerah justru menunda dan membiarkan hasil itu menggantung. Dan ketika Permen dikdasmen Nomor 7 Tahun 2025 terbit—yang mengatur mekanisme baru pengangkatan kepala sekolah dan pengawas—semua yang sudah berproses kini harus memulai ulang. Tercekat oleh regulasi baru, hanya karena satu hal: tidak adanya kecepatan dan ketegasan dalam mengambil keputusan.
Padahal, semua pihak mengetahui bahwa kebutuhan kepala sekolah dan pengawas di Kuningan sangat mendesak. Kekosongan jabatan sudah lama menjadi masalah serius di lapangan, dan fakta ini diketahui oleh para pemangku kebijakan. Dalam situasi seperti itu, tidak bertindak sama saja dengan membiarkan krisis membesar. Karena kebutuhan mendesak dan hal demikian diketahui oleh pejabat, keterlambatan pengambilan keputusan jelas menciptakan efek domino yang buruk—bukan hanya bagi guru, tetapi juga bagi murid, sekolah, dan sistem pendidikan secara keseluruhan.
Sekarang, para guru penggerak yang sudah lulus harus mengulang proses dari awal. Mendaftar ulang. Mengikuti seleksi ulang. Menyesuaikan kuota pusat yang sangat terbatas dan tidak sebanding dengan jumlah kekosongan jabatan. Sebuah ironi yang pahit bagi mereka yang sudah siap, namun ditinggalkan oleh sistem.
Ini bukan soal teknis. Ini soal keberanian mengambil tanggung jawab. Soal kesigapan membaca waktu. Soal political will yang seharusnya hadir justru di titik-titik genting seperti ini. Bila pemerintah daerah bergerak cepat—berkoordinasi, berkonsultasi, atau bersurat ke kementerian—bisa jadi proses yang sudah selesai itu tetap bisa difungsikan. Tapi yang terjadi sebaliknya: diam, lamban, dan lalai.
Lalu, bagaimana mungkin kita bicara Kuningan Melesat jika urusan mendasar seperti pengangkatan kepala sekolah saja tak bisa ditangani tepat waktu?
Jargon tanpa keberanian kebijakan hanyalah pajangan basa-basi. “Melesat” seharusnya berarti responsif, progresif, dan tegas dalam bertindak. Namun di bawah kelambanan birokrasi hari ini, pendidikan kita justru dipaksa untuk berjalan mundur—mengulang proses, menghabiskan waktu, dan mengorbankan energi guru yang sejatinya sudah siap untuk bergerak maju.
Sudah cukup guru menjadi korban. Kini saatnya para pemimpin daerah membuktikan diri. Pendidikan tidak bisa dibiarkan tersandera oleh kelambanan. Ia butuh kepemimpinan yang sigap—yang melesat bukan hanya dalam retorika, tetapi dalam keputusan nyata.
Oleh : M. Agung Tri Sutrisno , Masyarakat Kuningan