KUNINGAN (MASS) – Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) DPC Kuningan, menyoroti Kabupaten Kuningan yang kini berada dalam kondisi darurat korupsi. Mereka menyebut berbagai praktik penyimpangan kian terasa dari tingkat desa hingga struktur birokrasi kabupaten. “Kuningan saat ini sedang tidak baik-baik saja,” ujarnya Ketua Umum Fermahi Firgy Ferdansyah, Jumat (14/11/2025).
Menurutnya, citra Kuningan sebagai daerah religius dan berbudaya kini berbanding terbalik dengan realitas maraknya penyalahgunaan wewenang, jual beli jabatan, dan penyimpangan anggaran publik. Firgy memaparkan sejak Dana Desa digelontorkan setiap tahun dengan nilai miliaran rupiah, banyak kepala desa justru terseret dalam praktik korupsi. Pembangunan fisik kerap dijadikan kedok, laporan keuangan dimanipulasi, dan proses pengadaan barang atau jasa hanya dilakukan secara formalitas.
Ia menyoroti, tidak sedikit kasus penyalahgunaan anggaran desa berhenti di tengah jalan atau ditangani tanpa transparansi, padahal dana tersebut seharusnya dipergunakan untuk pemberdayaan masyarakat, bukan memperkaya segelintir elit desa.
Di lingkungan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Firgy menilai praktik setoran jabatan dan balas jasa politik masih menjadi rahasia umum. Mekanisme promosi dan rotasi jabatan kerap tidak berdasarkan kompetensi, melainkan kedekatan politik. Kondisi tersebut menciptakan birokrasi yang rapuh dan koruptif, di mana pejabat lebih fokus mengamankan posisi maupun mengembalikan modal politik ketimbang memberikan pelayanan kepada masyarakat. Akibatnya, kebijakan publik tidak berjalan optimal dan anggaran daerah bocor di banyak titik.
Firgy juga menyoroti minimnya transparansi pemerintah daerah dalam pengelolaan APBD maupun proyek strategis. Proses tender sering tidak diumumkan secara terbuka, sementara hasil audit jarang disampaikan kepada publik. Lemahnya pengawasan internal dan minimnya partisipasi masyarakat disebut membuka ruang luas bagi korupsi struktural. Menurutnya, kondisi tersebut diperburuk oleh peran DPRD yang belum maksimal dalam menjalankan fungsi kontrol terhadap eksekutif.
Ia menegaskan penyimpangan paling menonjol terlihat dalam proyek infrastruktur jalan dan bangunan di bawah Dinas PUPR. Banyak proyek peningkatan jalan yang rusak dalam hitungan bulan setelah diresmikan. Kontraktor pemenang tender, kata Firgy, sering berasal dari lingkaran yang sama dan diduga sudah ditentukan sejak awal.
Hal serupa terjadi pada proyek pembangunan gedung pemerintahan, sekolah, hingga fasilitas publik lainnya, yang banyak ditemukan mangkrak atau dikerjakan asal-asalan meski anggarannya habis terserap. Pola tersebut dinilai menunjukkan adanya kolusi sistemik antara pejabat, kontraktor, dan pengendali proyek.
Menurutnya, kondisi tersebut tidak boleh dibiarkan karena dapat mengancam masa depan pembangunan daerah dan meruntuhkan kepercayaan publik. Ia mendorong transparansi total anggaran, audit independen, reformasi birokrasi berbasis integritas, serta keterlibatan masyarakat sipil dalam pengawasan pemerintahan.
“Darurat korupsi di Kuningan adalah sinyal bahaya yang harus segera ditangani. Pemerintahan yang bersih bukan sekadar slogan, tapi tuntutan moral yang wajib diwujudkan. Kuningan tidak boleh terus dikorbankan oleh elit-elit yang menggadaikan integritas demi kepentingan pribadi. Saatnya rakyat bersuara, dan aparatur penegak hukum bertindak tegas tanpa pandang bulu,” pungkasnya. (didin)
