KUNINGAN (MASS) – Saya tidak akan berkomentar tentang politik dinasti. Sebab, definisi kerap kali membatasi, tetapi di sisi lain juga memberi ruang yang luas bagi penafsiran. Selain itu, saya juga tidak antipolitik dinasti. Di negara Indonesia yang menganut sistem demokrasi, siapa pun memiliki hak untuk menjadi pemimpin, memiliki hak untuk dipilih dan memilih. Semuanya telah diatur oleh konstitusi. Namun, pernyataan Edo atau Ridho ketika menolak anggapan sebagian kalangan bahwa mereka menerapkan politik dinasti sangat penting untuk ditanggapi.
Sebagaimana diberitakan oleh Kuningan Mass (13/3), dalam acara pengukuhan relawan AHAS Center di Restoran Lembah Ciremai, Edo mengatakan bahwa salah besar jika ada yang menilai keluarganya sangat berambisi untuk tetap “berkuasa“ di Kuningan. Lebih lanjut ia menyatakan, “Salah besar penilaian itu. Kalau kata saya, politik dinasti itu ketika ibu saya meninggal dan langsung diganti oleh anaknya. Kan ini tidak. Jadi, saya anggap permasalahan politik dinasti selesai.”
Pernyataan tersebut sangat menggelitik, karena disampaikan oleh seorang calon wakil bupati. Pernyataannya itu sangat jauh dari konteks demokrasi Indonesia. Soal pemberhentian kepala daerah yang meinggal atau berhalangan tetap dan penggantiannya telah diatur dengan jelas oleh Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah diubah beberapa kali dan yang terakhir adalah Undang-Undang Nomor 9 tahun 2015. Di sana dinyatakan dengan jelas bahwa ketika bupati meninggal dunia atau berhalangan tetap maka wakil bupati menjadi pelaksana tugas sehari-hari bupati sampai dengan dilantiknya wakil bupati sebagai bupati. Jadi, meskipun seandainya Edo sangat pintar, memiliki potensi kepemimpinan yang mumpuni, dan sangat piawai mengelola organisasi, atau seluruh masyarakat Kuningan memintanya menjadi bupati menggantikan ibundanya, tetap saja ia tidak bisa menggantikan posisi ibunya.
Berkaitan dengan ambisi keluarga untuk tetap berkuasa, sebenarnya ia tidak perlu mengomentari itu. Sebab, di negara ini sah-sah saja seseorang atau sau keluarga berambisi untuk memimpin dan berkuasa. Konstitusi menjamin haknya. Jadi, persoalan itu tidak perlu diperpanjang, dan sebenarnya secara lebih luas, persoalan politik dinasti ini sudah selesai ketika KPU menetapkan Acep dan Ridho sebagai pasangan calon bupati dan wakil bupati. Yang perlu dilakukannya hanyalah menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia memang pantas menjadi pemimpin Kuningan; bahwa ia mampu memimpin, dan; bahwa ia memahami konstitusi serta sistem pemerintahan di daerah serta menerapkannyan dengan baik dan adil.
Hal lain yang juga cukup menggelitik saya adalah peristiwa itu sendiri, yakni Pengukuhan Relawan AHAS Center. Penggunaan nama AHAS yang memosisikan H. Aang Hamid Suganda sebagai figur sentral, menjadi fenomena yang menarik untuk dikaji. Penggunaan nama itu seakan-akan menunjukkan bahwa mesin politik pasangan AR yang telah bekerja selama ini dianggap tidak efektif menggaet suara sehingga AHAS perlu turun ke gelanggang dan mempertaruhkan namanya. Tentu saja nama AHAS jauh lebih populer daripada Ridho Lovers dan bisa jadi bisa menarik massa secara lebih efektif. Namun, di sisi lain, itu menunjukkan kurangnya kepercayaan diri pasangan AR untuk mengusung namanya sendiri dalam pertarungan Pilkada ini. Hal lainnya, fenomena ini menunjukkan dominasi AHAS terhadap pasangan AR, sebagaimana juga dinyatakan oleh AHAS bahwa Pilkada sekarang adalah pertarungan orang tua. Dan dikhawatirkan dominasi itu akan berlanjut ketika, misalnya, keduanya terpilih sebagai pemimpin Kuningan. Semoga bacaan saya ini keliru, dan kelak jika pasangan AR terpilih, AHAS bisa dengan legowo melepaskan pengaruhnya atas keduanya.***
Penulis: Dedi Ahimsa (Pengurus ICMI Orda Kuningan)