KUNINGAN (MASS) – Korupsi di negeri ini bukan lagi sekadar pelanggaran hukum. Ia adalah kejahatan sistemik yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan bangsa dari ekonomi, pendidikan, hingga moralitas sosial. Korupsi telah menjadi benalu yang tumbuh subur dalam birokrasi, merampas hak-hak dasar rakyat dan menjerumuskan mereka ke jurang ketidakpastian.
Data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tahun 2023 mencengangkan. Nilai transaksi mencurigakan yang berkaitan dengan korupsi mencapai Rp1.459 triliun angka yang mencerminkan lebih dari 30 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Bayangkan, jika uang sebesar itu dikelola dengan akuntabilitas, Indonesia tak hanya mampu membangun ribuan sekolah dan rumah sakit, tapi juga menciptakan lapangan kerja yang memberdayakan masyarakat.
Sayangnya, kenyataan berkata lain. Dana publik justru mengalir deras ke kantong para elite yang sudah kaya raya, sementara masyarakat kecil dibiarkan bergelut dengan kemiskinan struktural yang tak berkesudahan. Laporan PPATK 2024 menambah potret suram ini sekitar 67,5 persen dari transaksi mencurigakan di tahun tersebut, senilai Rp984 triliun, berkaitan langsung dengan tindak pidana korupsi. Sektor pendidikan dan kesehatan, yang semestinya menjadi prioritas negara, justru menjadi korban utama.
Kita menyaksikan anak-anak dari keluarga miskin putus sekolah karena biaya pendidikan yang kian membengkak. Sementara itu, proyek-proyek infrastruktur mangkrak di berbagai daerah, membuat akses ekonomi terhambat dan pengangguran merajalela. Korupsi bukan hanya menghancurkan institusi, tetapi juga merampas masa depan anak-anak bangsa.
Lebih dari itu, korupsi telah menciptakan jurang ketimpangan sosial yang semakin menganga. Harapan pemuda-pemudi untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan yang layak kian menipis. Ketika negara gagal menyediakan jalan keluar, sebagian dari mereka terpaksa memilih jalan gelap narkoba, kriminalitas, bahkan ekstremisme. Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat bahwa hampir 60 persen pengguna narkoba berasal dari lingkungan miskin yang secara langsung terdampak oleh kebijakan publik yang korup dan diskriminatif.
Lingkaran setan ini terus berputar. Pengangguran dan tekanan ekonomi menjadi pemicu meningkatnya tindak kriminal. Salah satu yang paling terasa di akar rumput adalah maraknya pencurian sepeda motor. Ini bukan semata soal kriminalitas, tetapi sinyal bahwa masyarakat sudah kehilangan sarana paling dasar untuk bertahan hidup. Bagi banyak orang, sepeda motor bukan simbol kemewahan, melainkan alat produksi. Ketika alat itu hilang, kehidupan ikut terampas.
Ketimpangan ini menumbuhkan frustrasi sosial yang bisa meledak sewaktu-waktu. Ketika ketidakadilan dipelihara dan korupsi dibiarkan tumbuh liar, maka kehancuran sosial hanyalah soal waktu. Lebih dari itu, korupsi telah merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara. Rakyat kehilangan harapan pada sistem yang seharusnya melindungi dan mensejahterakan mereka.
Oleh karena itu, pemberantasan korupsi bukan hanya soal penindakan hukum. Ini soal menyelamatkan martabat bangsa. Pemerintah mesti bergerak lebih dari sekadar jargon anti-korupsi. Diperlukan komitmen yang konkret: memperkuat lembaga pengawas, mendorong transparansi anggaran, dan membuka ruang partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan publik.
Korupsi harus dijadikan musuh bersama. Jika dibiarkan, ia akan meluluhlantakkan masa depan Indonesia. Namun jika dilawan dengan sungguh-sungguh, kita masih punya harapan untuk membangun negeri yang adil, bersih, dan bermartabat.
Oleh: Fillah Ahmad Abadi (Kader IMM Kabupaten Kuningan)