KUNINGAN (MASS) – Pengguna BBM jenis Pertamax yang diduga dioplos, berhak menuntut ganti rugi atas kerugian yang dideritanya baik ke pengadilan maupun ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Hal ini disebabkan oleh kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina, Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) periode 2018-2023.
Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah menetapkan 9 (sembilan) tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina. Dengan ditetapkannya tersangka pada kasus ini, dapat dikatakan Kejagung sudah membuktikan ada ketidaksesuaian standar dalam produk BBM jenis Pertamax ini.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), PT Pertamina sebagai BUMN adalah termasuk pelaku usaha, dapat dikenakan 3 sanksi sekaligus atas dugaan kasus korupsi oplos Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax yaitu, sanksi perdata, sanksi pidana, dan sanksi administratif.
Ketentuan Pasal 19 UUPK menyebutkan, pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Pemberian ganti rugi tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
Jadi, tidak hanya sanksi perdata dalam bentuk penggantian ganti rugi atau kompensasi yang dapat dikenakan, namun sanksi pidana yang maksimal hukumannya 5 tahun penjara, sampai dengan sanksi administratif seperti pencabutan izin usaha.
Bagi konsumen secara perseorangan yang selama ini mengkonsumsi bahan bakar (jenis Pertamax) yang diindikasikan ternyata adalah BBM Pertalite, dapat menuntut Pertamina melalui 3 (tiga) jalur upaya hukum, yaitu gugatan ke pengadilan atau ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), membuat laporan polisi atau ke KPK, ataupun menggugat secara administratif ke MA atau PTUN.
Khusus tuntutan gantirugi/kompensasi konsumen melalui BPSK, UUPK menyebutkan BPSK adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Badan ini dibentuk untuk menangani penyelesaian sengketa konsumen yang efisien, cepat, murah dan profesional. BPSK dibentuk oleh Pemerintah di Kabupaten dan kota untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.
BPSK sebagai lembaga quasi yudisial berperan dalam mengadili dan menyelesaikan sengketa konsumen diluar pengadilan serta menjatuhkan putusan berdasarkan ketentuan dalam UUPK. Di negara lain lembaga seperti BPSK dikenal juga dengan nama _Small Claim Court_ dan _Small Claim Tribunal_
Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen diantaranya adalah melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; dan memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen.
Putusan majelis BPSK bersifat final dan mengikat dan wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima. Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan BPSK, pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut.
Apabila Putusan BPSK tidak dijalankan oleh pelaku usaha, BPSK menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Putusan BPSK merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.
Selain itu UUPK menganut asas pembuktian terbalik (Pasal 22 dan Pasal 28 UUPK). Artinya dengan bukti awal, konsumen bisa mengajukan gugatan/tuntutan ganti rugi ke Pertamina melalui BPSK.
Atas kejadian ini cukup banyak masyarakat pengguna Pertamax yang marah dan kecewa, sehingga tidak terlalu aneh jika ada gerakan massal dari konsumen untuk menyampaikan aspirasi sesuai ketentuan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dengan menuntut haknya berupa gantirugi melalui BPSK.
Terlebih, Hukum Perlindungan Konsumen sudah menyediakan Hukum Acara Penyelesaian Sengketa Konsumen (Hukum Formil) yaitu Kepmenperindag Nomor 350/MPP/KEP/ 12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa, dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Dengan kata lain atas megakorupsi yang merugikan rakyat banyak ini, hukum/peraturan perundang-undangan tidak mengatur tentang penyampaian permohonan maaf.(***)
Penulis : Dr. Firman T. Endipradja, S.H.,S.Sos.,M.Hum, Dosen Politik Hukum Perlindungan Konsumen Pascasarjana Univ. Pasundan/Mantan Ketua Perhimpunan BPSK se Jawa Barat.