KUNINGAN – Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Linggajati kembali menjadi sorotan setelah serangkaian persoalan mengguncang kepercayaan publik terhadap layanan kesehatan di Kuningan. Puncaknya, kasus kematian bayi yang diduga akibat kelalaian medis, membuat pengacara kondang Hotman Paris ikut turun tangan, memicu reaksi luas dari masyarakat hingga pejabat daerah.
Direktur RSUD pun dinonaktifkan sementara, dan untuk sementara waktu, Pemda Kuningan menugaskan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinkes, Eva Maya, sebagai Pelaksana Harian (Plh) sembari menunggu hasil investigasi independen yang juga melibatkan Majelis Disiplin Profesi.
Di tengah krisis ini, Fraksi PKS DPRD Kabupaten Kuningan menyuarakan usulan menyerahkan pengelolaan RSUD Linggajati ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Alasannya: agar terjadi peningkatan mutu layanan karena keterbatasan fiskal daerah saat ini. Namun, suara kritis muncul dari masyarakat sipil.
Usulan menyerahkan pengelolaan RSUD ke Pemprov justru berisiko melemahkan posisi strategis daerah dalam pembangunan sektor kesehatan. Ini bukan solusi jangka panjang, apalagi bagi daerah yang ingin belajar mandiri dan berdaulat dalam pelayanan publik.
Permasalahan di RSUD Linggajati memang kompleks dan saling terkait. Diantaranya:
1. Status kepemilikan tanah yang belum jelas, karena lahan yang ditempati masih atas nama Pemerintah Desa Bandorasa Wetan, bukan rumah sakit atau Pemda. Hal ini menghambat akreditasi dan proses pengembangan infrastruktur.
2. Minimnya dokter spesialis membuat banyak pasien akhirnya dirujuk ke rumah sakit lain, bahkan ke luar kota.
3. Ketertinggalan sarana dan prasarana, dibandingkan rumah sakit lain di wilayah sekitarnya.
4. Fiskal daerah yang tertekan, membuat alokasi belanja pengembangan rumah sakit menjadi sangat terbatas.
Di tengah semua tantangan ini, publik tentu menginginkan terobosan nyata, bukan justru “menyerahkan” rumah sakit yang sudah dibangun dengan perjuangan panjang ke pihak lain.
Penyerahan pengelolaan ke Pemprov berpotensi membuat Pemda kehilangan aset strategis, termasuk hak menentukan arah kebijakan pelayanan, pengembangan SDM, hingga intervensi tarif layanan.
Kalau diserahkan ke Provinsi, ujungnya sama: terbuka kemungkinan Pemprov akan tetap melibatkan investor pihak ketiga. Tapi bedanya, posisi Pemda Kuningan jadi lemah, bahkan bisa hilang sama sekali dalam proses pengambilan keputusan.
Contoh Waduk Darma yang merupakan aset Provinsi, namun lama dikelola oleh Pemda dan tak menghasilkan keuntungan berarti. Begitu diambil alih oleh Pemprov dan menggandeng investor, hasilnya memang meningkat — tapi nilai ekonomisnya lebih banyak dinikmati oleh investor dan Provinsi, bukan oleh daerah.
Inisiator Gerakan KITA menyarankan agar Pemda Kuningan melakukan langkah-langkah strategis dengan tetap mempertahankan kendali atas RSUD Linggajati. Diantaranya:
1. Membangun pola kerja sama pengelolaan (Public-Private Partnership) dengan pihak ketiga, misalnya melalui skema Build-Operate-Transfer (BOT), Kerja Sama Operasi (KSO), atau Management Contract.
Ini sudah dilakukan oleh RSUD di sejumlah daerah, bahkan ada yang menggandeng pihak swasta dalam mengelola rumah sakit sambil tetap menjaga posisi strategis daerah.
2. Menyelesaikan persoalan status lahan RSUD dengan segera, misalnya dengan menghibahkan secara formal atau membeli dari desa menggunakan APBD secara bertahap.
3. Mengoptimalkan status Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) dari RSUD Linggarjati agar lebih mandiri secara pengelolaan keuangan dan bisa menjalin kerja sama lintas lembaga, termasuk menerima hibah atau CSR.
4. Mengundang lembaga donor dan hibah luar negeri, seperti WHO, USAID, GAVI, hingga CSR dari perusahaan farmasi untuk menutup celah kebutuhan alat kesehatan dan pelatihan SDM.
5. Menggandeng perguruan tinggi dan institusi kedokteran, untuk menjadikan RSUD Linggajati sebagai rumah sakit pendidikan, yang dapat mengakses tenaga medis muda dan memperkuat jejaring klinis.
6. Mengundang para pemilik Rumah Sakit yang ada di Kuningan, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Perhimpunan Klinik dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Indonesia (PKFI), dan organisasi kesehatan lainnya, untuk urun rembuk dimintakan pandangan dan masukannya dalam rangka mencari solusi yang lebih komprehensif.
Gerakan KITA menilai justru dalam situasi sulit inilah Pemda harus membuktikan kemampuannya mengelola institusi publik strategis seperti rumah sakit. Menyerah bukanlah pilihan.
Sarana kesehatan dan pendidikan itu pilar kemajuan. Kalau setiap krisis kita menyerahkan pengelolaannya, bagaimana kita belajar dan tumbuh? RSUD Linggajati harus dijadikan ruang belajar manajemen publik yang sesungguhnya, bukan ditinggalkan karena keterbatasan.
Fraksi PKS dan elemen DPRD pun diharapkan tidak berhenti pada usulan pengalihan, tapi terlibat aktif dalam merumuskan roadmap transformasi RSUD Linggajati, mendorong inovasi tata kelola, dan ikut serta membuka jejaring pendanaan alternatif.
Pemda Kabupaten Kuningan kini punya pilihan atas kelangsungan RSUD Linggajati ke depan. Diserahkan atau dikuatkan. Pilihan ini bukan semata soal manajemen, tapi soal arah keberpihakan politik anggaran dan tekad membangun kemandirian daerah. Dalam situasi serba terbatas, justru dibutuhkan visi besar dan kemauan kuat untuk mencari solusi-solusi kreatif tanpa melepas jati diri daerah.
Dan itu hanya bisa dilakukan jika Pemda, DPRD, dan elemen masyarakat sipil mampu duduk bersama, tidak saling menyalahkan, dan berani keluar dari pola lama. Sebab, krisis ini bukan akhir — tapi bisa jadi titik awal untuk kebangkitan RSUD Linggajati sebagai rumah sakit rakyat, milik dan untuk warga Kuningan.***
Ikhsan Marzuki (Inisiator Gerakan KITA)