Connect with us

Hi, what are you looking for?

Anything

Kisah Si Pemecah Batu, Berjuang “Pecahkan” Nasib

KUNINGAN (MASS) – Perempuan yang satu ini adalah Juju Juwarsih. Warga asal Cigugur yang sudah cukup lama di Cileuleuy ini, sudah belasan mungkin puluhan tahun sudah menggeluti pekerjaannya sebagai pemecah batu selain ibu rumah tangga.

Pekerjaan yang berhubungan dengan batu, memang sangat lumrah di daerah dengan tebing-tebing seperti di kawasan Kecamatan Cigigur. Juju, bahkan bukan satu-satunya pemecah bati perempuan disana.

“Biasana (batu) diical (dijual) ladokan,” jawabnya saat ditanya ketika memecah batu di sekitaran Popojok Desa Cileuleuy, Senin (1/3/2021) siang.

Mungkin ada beberapa istilah yang familiar di kalangan pemecah batu. Ada misalnya tukang narok (nakol), atau yang mengeruk batu langsung dari tebing dengan peralatan seadanya.

Ada juga tukang muat, biasanya mengarah pada orang yang membantu menaikan batu ke kendaraan pengangkut. Lalu tukang mekprek split, memecah batu menjadi kecil seperti yang Juju lakukan.

Juju sendiri mengaku tidak setiap hari mendapat uang dari hasil memungut dan memecah batu.

Biasanya, dirinya menunggu dikumpulkan terlebih dahulu hasil pecahan batunya hingga terkumpul satu minggu.

Dalam sehari, mulai jam 7/8 pagi sampe jam 11-an, paling dua ladok yang bisa digarapnya, atau sekitar 4 ember ukuran sedang.

Jangan dikira, meski butuh waktu cukup lama dan memakan tenaga, satu ladok dijual hanya 6 ribuan saja.

Juju orang yang sangat terbuka pada kuninganmass.com saat diwawancarai. Perempuan yang kini sudah memiliki 2 cucu itu, semangat bercerita saat ditanya berbagai hal.

Dari Juju, kami juga tahu bahwa ternyata tebing-tebing yang digali itu punya pemilik. Tapi sang pemilik biasanya tidak ikut narok.

Toh akan ada komisi dari penjualan batu yang diangkut melalui dump truck.

Juju juga menerangkan ada beberapa kategori batu untuk dijual. Seperti batu split misalnya, batu untuk ngecor. Atau batu 35, begitu sebutannya. Ada juga batu-batu untuk pondasi.

Juju tahu betul, selalu ada resiko dalam pekerjaanya. Ibu dari dua anak itu mengaku, sering dibuat deg-deg’an, khawatir saat sedang mengambil batu di sekitaran tebing. Selalu ada resiko tertimpa batu.

“Dulu mah pernah ada korban a,” ujarnya menyadari resiko itu bisa saja terjadi pada siapapun.

Suami Juju juga bekerja di bidang yang sama. Bedanya, dulu suaminya adalah tukang narok, tapi sekarang tukang muat. Menurut Juju, karena faktor usia.

Meski hasilnya mungkin tidak banyak, Juju menjalaninya dengan terlihat enjoy. Kultur perkampungan yang ramah dan saling sapa juga masih terasa meski di lokasi pemecahan batu.

Juju juga mengaku, agar ekonomi tetap berjalan, apapun dilakukan selagi itu halal. Asal jangan gengsi. (eki)

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Advertisement

Berita Terbaru

Advertisement
Advertisement

You May Also Like

Advertisement
Exit mobile version