KUNINGAN (MASS) – Bertepatan dengan Hari Buruh, kuninganmass.com mewawancarai salah satu segmentasi buruh informal, tanpa perjanjian kerja, harian lepas dan bayarannya sesuai tempatnya berada, Buruh Tani.
Nonoh Umsanah adalah seorang petani kecil dengan petakan sawah yang tak luas. Istri dari seorang petani juga, Saryo.
Seperti penduduk kebanyakan di Dusun Puhun Desa Subang Kecamatan Subang, menjadi petani artinya juga menjadi buruh tani untuk tetangga, saudara, dan warga satu kampung. Menjadi buruh di siapa saja warga yang membutuhkan bantuan ketika mengolah sawah.
“Di tani mah, aya istilah, sorangan teu katanagaan, muruh teu kabayaran,” ujarnya dalam bahasa sunda pada kuninganmass.com Jumat (1/5/2020) siang.
Saat ditanyai bagaimana pekerjaan buruh tani, dirinya menceritakan ada bedanya antara lelaki dan perempuan. Selain pekerjaan yang relative mudah biasanya diberikan untuk perempuan, Nonoh juga menceritakan upah harian yang sangat berbeda antara lelaki dan perempuan.
“Perempuan mah, paling ngarit pare, tandur, ngoyos. Upahnya sehari 30 sampe 35 ribu kalo diberi makan di tempat, kalo nggak bisa sehari 40 ribu. Kalo laki-laki kan macul, ngagagleng, sahari bisa 60 atau 65 ribu. Jako bekel bawa sendiri ya sampe 70 ribuan,” ujarnya menerangkan.
Dalam pertanian ala pedesaan, masih sangat lazim istilah nganteran, dimana si pemilik sawah member makanan pada para pekerja. Dengan begitu, upah yang diberikan pada pekerja lebih rendah.
Meski dengan upah kecil, dan pekerjaan yang tidak tentu karena sangat bergantung pada musim dalam pertanian, dirinya mengaku masih merasa cukup. Apalagi saat ini, ibu dari seorang anak tunggal tersebut hanya hidup berdua dengan sang suami yang juga memelihara ternak.
“Kalau bersyukur mah, hidup selalu nikmat. Tapi mungkin, kalo makin banyak jiwa di rumah, dengan penghasilan segitu agak keteteran,” tuturnya dengan raut wajah yang penuh rasa bersyukur.
Nonoh juga menceritakan kesehariannya dengan sang suami, dilaluinya dengan sderhana. Sangat sering, lauk untuk nasi diambilnya dari lahan kebun kecil yang dimilikinya, sehingga sangat menghemat pengeluaran.
Dalam buruh pertanian pun, karena semuanya hanya berkaca pada keumuman, banyak perlakuan berbeda yang diterima pekerja. Diceritakannya, pemilik sawah yang ‘meryoga’ baik dan berkecukupan, sering memberikan tips berupa makanan suguhan agar dibawa pulang ke rumah. Sebagian lagi tidak.
“Kecuali bulan puasa kayak gini, kalo ada suguhan paling dianterin ke rumah masing-masing,” imbuhnya.
Meski terbilang upahnya rendah, Nonoh tidak berharap adanya kenaikan bayaran seperti halnya para buruh di tempat bergaji. Selain karena dirinya tentu sewaktu-waktu akan mengolah sawahnya sendiri dan butuh bantuan orang lain, dirinya juga mengasihani sesamanya dengan lahan sawah yang kecil.
“Karunya kanu laletik mah, ngagarap lahan letik tapi muruhkeuna gede. Kadang boh hutang boh kumaha jang nutupna,” ujarnya di akhir sesi wawancara. (eki)