KUNINGAN (MASS) – Ketika melintas masuk ke wilayah Kuningan bagian utara, ada beberapa situs bersejarah yang menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Kuningan sejak akhir dan abad ke 20 antara lain Pasar Cilimus, Gedung Naskah Linggarjati, Pemandian Air Panas Sangkanurip dan Pesantren Gibug Bojong. Dalam konteks perkembangan Islam, Pesantren Gibug Bojong menjadi salah satu magnet utama dengan keberadaan sosok Kiyai Haji Mutawally yang dikenal sebagai salah satu murshid utama Tarekat Syattariyah di wilayah Kuningan utara dan Cirebon selatan. Bahkan, konon muridnya bahkan datang dari berbagai wilayah termasuk Tegal dan Pekalongan Jawa Tengah. Mengenal sosoknya menjadi sangat penting dalam konteks mengetahui lebih dalam perkembangan kehidupan Islam di wilayah ini.
Kiyai Haji Mutawally atau lebih dikenal dengan sebutan Abah Mutawally merupakan sosok ulama yang terkenal mempunyai ilmu kanuragan dan ilmu hikmah yang tinggi. Ia merupakan ulama Kuningan utara yang cukup terkenal tapi tidak banyak diangkat menjadi sebuah kajian jaringan intelektual pada masanya. Jika sumber data yang menerangkan tentang kelahiran Kiyai Haji Mutawally ini pada awal abad 19 itu autentik, besar kemungkinan ia hampir semasa dengan beberapa ulama besar di wilayah Cirebon dan Kuningan seperti Kiyai Abdul Jamil Pesantren Buntet, Kiyai Said Pesantren Gedongan, Kiyai Ahmad Sobari Pesantren Ciwedus dan Syekh Tolhah bin Kiyai Tolabuddin Kalisapu, murshid pertama Tarekat Qodiriah wa Naqsabandiyah di Cirebon dan gurunya Abah Sepuh, pendiri Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya. Kiayi Mutawally tercatat sebagai guru dari beberapa ulama dan tokoh besar di Cirebon abad ke 20 seperti Kiyai Abbas Buntet, Kiyai Muslim Benda Kerep, Habib Sholeh Assegaf Cirebon, Kiyai Sanusi Ciwaringin, H. E. Madrochim (Mantan Ketua DPRD Kuningan) dan lain-lain.
Biografi
Perlu dicatat bahwa nama Mutawally sebenarnya bukan nama asli Kiyai Haji Mutawally. Nama adalah sebuah julukan yang diberikan oleh masyarakat berkat keagungan atau lebih dekatnya “kesaktian”-nya. Nama kecilnya adalah Ki Bagus atau Tubagus Siradjur Rosyidin yang mengindikasikan bahwa ia keturunan bangsawan dari Kesultanan Banten sekaligus menjadi jalur bertemunya secara nasab ke Sunan Gunung Jati. Pemberian gelar Mutawally tidak lepas dari peristiwa monumental yang terjadi sebelumnya. Menurut tradisi lisan yang beredar di masyarakat lokal, nama Mutawally pertama kali diberikan pada saat ia menunaikan ibadah haji ke Baitullah dengan menumpang kapal laut[1]. Kapal tersebut mogok di tengah samudra. Dengan karomahnya, ia berhasil menghidupkan kapal tersebut dengan cara turun ke laut dan mendorongnya. Atas peristiwa luar biasa ini, ia diberi gelar Mutawally yang berarti “orang yang mampu mengangkat”[2]. Gelar inilah kemudian lebih banyak dipakai sekembalinya dari menunaikan ibadah haji.
Kiyai Haji Mutawally dilahirkan di kampung Huludayeuh Desa Timbang yang sekarang masuk ke wilayah Kecamatan Cigandamekar Kuningan sekitar tahun 1851[3]. Ia berasal dari keluarga tokoh agama lokal. Ayahnya bernama Ki Bagus/Tubagus Konaan, putra Ki Bagus/Tubagus Maijah, salah satu tokoh kharismatik di wilayah Cirebon selatan yang makamnya berada di puncak Bukit Panyamunan Putat Cirebon yang hingga saat ini menjadi salah satu tempat utama yang menjadi tujuan ziarah bagi masyarakat lokal. Jika merunut pada daftar silsilahnya, Kiyai Haji Mutawally merupakan keturuan ketiga belas dari Sunan Gunung Jati melalui jalur Maulana Hasanudin. Kiyai Haji Mutawally merupakan cucu buyut Tubagus Nadimuddin, seorang ulama asal Banten yang mengembara ke Cirebon setelah jatuhnya kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa akhir abad ke 17 dan berlanjutnya perlawanan ulama Banten selama abad ke 18. Setelah melakukan perjalanan yang sangat panjang, Tubagus Andzimuddin atau Nadimuddin akhirnya menetap di Kampung Indapatra. Dalam menempuh perjalanan ini sebenarnya ia tidak sendiri. Sebaliknya ia bersama dengan tokoh lain yang bernama Tubagus Kalamuddin yang nantinya memilih menetap di Kampung Ciwedus Timbang yang nanti melahirkan tokoh ulama kharismatik Kiyai Ahmad Sobari. Hubungan kedua tokoh Banten ini bertemu melalui pernikahan cicit mereka berdua yaitu Kiyai Ahmad Sobari dengan salah seorang putri dari Tubagus Konaan, pendiri pesantren pertama di Kampung Huludayeuh Desa Timbang pada awal abad ke 19 dan ayah dari Kiyai Haji Mutawally.
Jalur Nasab Kiyai Haji Mutawally sampai ke Sunan Gunung Jati sebagai berikut:
- Sunan Gunung Jati/Syarif Hidayatullah
- Maulana Hasanuddin, Sultan Banten Pertama
- Tubagus Muhammad Kerimang
- Tubagus Mahmud Sangkan Beunghar
- Tubagus Abdul Fatah Pangkuan
- Tubagus Isrofil
- Tubagus Hasan Bisri Bayak
- Tubagus Hamiduddin Sasro
- Tubagus Zainal Qubro/Karung
- Tubagus Alimuddin Syufa
- Tubagus Andzimuddin/Nadimuddin
- Nyai Maijah
- Tubagus Konaan
- Tubagus Sirodjur Rosyidin (Kiyai Haji Mutawally)
Perjalanan Pendidikan Menuju Murshid Tarekat
Sebagai keluarga tokoh agama sekaligus pengasuh pesantren, pendidikan agama Kiyai Haji Mutawally muda diawali di bawah bimbingan orang tuanya di pesantren Huludayeuh. Selanjutnya, ia melanjutkan pendidikannya ke beberapa pesantren dan kiyai yang ada di sekitar Timbang, Indapatra dan Cilimus. Sayang tidak banyak informasi terkait bidang keilmuan apa yang diperdalam pada masing-masing guru tersebut dan berapa lama ia berguru pada setiap gurunya tersebut. Tidak cukup puas atas apa sudah ia peroleh, Kiyai Haji Mutawally yang sudah beranjak dewasa tetap melanjutkan studi agamanya ke beberapa pesantren di luar Desa Timbang. Pesantren Benda Kerep yang saat itu masih dibawah bimbingan Kiyai Sholeh Zamzami merupakan tempat terakhir dari perjalanan ilmiahnya sekaligus memperoleh ijazah tarekat Syattariyah[4]. Selama belajar di Benda Kerep ini, Kiyai Haji Mutawally bersahabat sekaligus bertindak sebagai pembimbingnya dengan salah seorang putra kiyai Soleh Zamzami yang bernama kiyai Muslim.
Dari berbagai bidang ilmu yang ditekuni, nampaknya ilmu tasawuf menjadi bidang yang paling menyita perhatian Kiyai Haji Mutawally. Selain itu, ia juga dikenal memiliki kemampuan luar biasa yang dalam tradisi pesantren disebut ilmu laduni. Hal itu nampaknya tidak lepas dari pengaruh kuat dari Kiyai Soleh Zamzami Benda Kerep, salah seorang murshid utama Tarekat Syattariyah sebagaimana telah disinggung di bagian atas dikenal memilki kemampuan adikodrati. Dari gurunya inilah, Kiyai Haji Mutawally mendapatkan ijazah sekaligus diangkat sebagai murshid utama Tarekat Syattariyah di wilayah Kuningan khususnya bagian utara.
Adapun sanad tarekat Syattariyah Kiyai Haji Mutawally sebagai berikut:
- Rasulullah SAW
- Sayidina Ali bin Abi Thalib KW
- Sayidina Husein al-Syahid
- Sayidina Zainal Abidin
- Imam Muhammad Baqir
- Imam Ja’far al-Shadiq
- Sultan Arifin Abi Yazid al-Busthami
- Syekh Muhammad Maghrib
- Quthb Abi Mudlaffar Maulana Rumi Thusi
- Quthb Abi Hasan al-Hirqani
- Syekh Hadaqili Maawara al-Nahari
- Sayid Muhammad Asyiq
- Syekh Muhammad Abdullah al-Syathari
- Syekh Hidayat Sarmusun
- Syekh Hudluri
- Syekh Sayid Muhammad Ghauts bin Syekh Khathir al-Din
- Sayid Wajhu al-Din Alawiy
- Shibghat Allah bin Sayid Ruhu Allah
- Sayidina Abi Mawahib Abd Allah Ahmad bin Ali Abbas al-Syinawi
- Syekh Ahmad bin Muhammad Madinah (Syekh Qusyasyi)
- Syekh Mulla Ibrahim
- Sayid Ibrahim Thahir
- Sayid Madani
- Syekh Muhammad
- Kiai Asy’ari Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah
- Kiyai Anwaruddin Kriyan
- Kiai Soleh Zamzami
- Kiyai Haji Mutawally
Setelah puas belajar agama di level lokal, Kiyai Haji Mutawally kemudian memutuskan untuk melanjutkan studinya ke Mekkah sekaligus untuk melakasanakan ibadah haji. Tidak ada keterangan yang jelas tentang kapan persisnya ia laksanakan haji tersebut. Akibatnya, tidak ada keterangan tentang berapa lama ia belajar di kota suci tersebut dan siapa sajakah guru-gurunya. Namun jika melihat usianya, mungkin bisa diduga bahwa beliau mungkin satu generasi dengan Syekh Kholil Bangkalan, Syekh Asnawi Caringin, kiyai Abdul Jamil Buntet dan lain-lain. Status murshid taraket dan alumni Timur Tengah merupakan modal budaya dan sosial (cultural and social capital) bagi Kiyai Haji Mutawally membangun reputasi dan peran besarnya dalam dunia keilmuan dan pendidikan Islam.
Membangun Pesantren Gibug Bojong Cilimus
Setelah kembali dari Mekkah, Kiyai Haji Mutawally kembali ke kampung asalnya Huludayeuh Timbang. Di sana, ia dinikahkan dengan Nyi Mas Ropiah. Namun dari pernikahan ini, Kiyai Haji Mutawally tidak mendapatkan keturunan. Ia lalu menikah dengan Nyi Mas Mursilah. Dari pernikahan terakhir ini, ia dikaruniai delapan orang anak (5 orang perempuan dan 3 orang laki-laki), antara lain Nyai Maemunah, Nyai Mu’awanah, kiyai Muhammad Nur Kholid, Nyai Munawaroh, Nyai Siti Masfufah, kiyai Muhammad Rosyad, Nyai Enju Juhriyah, kiyai Fadil[5] dan Nyai Maesaroh. Anak yang terakhir ini meninggal dunia pada saat masih kecil, sehingga tidak meninggalkan keturunan.
Setelah menikah, Kiyai Haji Mutawally memutuskan untuk tidak menetap terlalu lama di kampung halamannya di mana pesantren yang dibangun oleh orang tuanya berdiri. Hal itu karena pesantren keluarga besarnya tersebut sudah dipimpin oleh kakak tirinya dari istri kiyai Tubagus Konaan yang pertama, kiyai Halmi. Kiyai Haji Mutawally memilih membuka pesantren baru di tempat yang sekarang dikenal dengan nama blok Balangko Gibug Desa Bojong, atau sekitar 3 KM ke sebelah barat dari Desa Timbang. Hal itu tidak lepas adanya permintaan khusus dari kepala Desa Bojong saat itu, Kuwu Sidik. Undangan tersebut berintikan permintaan kepada Kiyai Haji Mutawally untuk membuka lahan sawah kosong yang terkenal angker yang konon dihuni oleh seekor ular Gibug[6]. Dalam ajakan tersebut juga dinyatakan bahwa Kiyai Haji Mutawally dapat memiliki tanah blok Balangko tersebut, jika mampu mengusir penduduk ghaib beserta ular Gibug tersebut. Nampaknya pola ini sama persis seperti yang dialami oleh gurunya, kiyai Soleh Zamzami, ketika membuka wilayah Cimeuweuh sebelum nantinya wilayah ini dinamai Benda Kerep hingga saat ini. keberhasilannya menaklukkan segala keangkeran wilayah tersebut, Kiyai Haji Mutawally akhirnya bisa menjadi “pemilik” baru ini yang nantinya dikenal dengan Kampung Balangko Gibug Desa Bojong.
Di tempat baru inilah, Kiyai Haji Mutawally menginisiasi pembangunan sarana pendidikan Islam (pesantren) sekaligus ibadah bagi kaum Muslim yaitu langgar. Tidak ada keterangan yang pasti tentang kapan Kiyai Haji Mutawally pertama kali membangun langgarnya itu. Hanya jika merujuk pada saat pernikahannya yang kedua yang diperkirakan pada usia beliau sekitar 30-an dan juga pada tradisi para pendiri pesantren di mana mereka mulai membuka pesantren rata-rata pada usia 30-an atau 40-an, mungkin bisa diduga bahwa beliau pertama kali membuka pesantrennya di wilayah tersebut sekitar tahun 1880-an atau bahkan 1890-an[7].
Hal pertama yang dilakukan adalah membangun langgar yang namanya identik dengan nama kecilnya, Siradjur Rosyidin At-Thohiriyah. Langgar tersebut hingga kini masih berdiri kokoh dan terawat, meskipun telah mengalami beberapa perombakan dan perubahan baik tata ruangnya maupun bebera fungsinya seperti pada tahun 1920-an, 1860-an dan awal tahun 2000-an. Di langgar baru inilah, Kiyai Haji Mutawally tidak saja memandu penduduk lokal dalam menjalankan ibadah terutama sholat lima waktu, juga menjadi tujuan para pencari ilmu dari berbagai wilayah.
Selanjutnya, pesantren Kiyai Haji Mutawally semakin lama semakin dikenal oleh khalayak terutama mereka yang tinggal di sekitar Desa Bojong dan Desa Cilimus. Tidak sedikit di antara mereka yang kemudian memutuskan untuk tinggal di pondok. Para santri pada awalnya hanya tinggal di langgar yang baru saja dibangun. Namun dengan meningkatnya jumlah mereka yang mondok, para santri juga akhirnya ditampung di rumahnya yang jika melihat kondisi saat ini berada tepat di sebalah barat belakang mimbar langgar. Namun seiring dengan semakin banyaknya jumlah santri yang datang dan mondok, Kiyai Haji Mutawally secara bertahap mulai membangun asrama-asrama yang lokasinya berada di sekitar langgar. Para santrinya datang dari berbagai wilayah baik sekitar Kuningan bahkan hingga beberapa wilayah di Jawa Barat dan Jawa Tengah seperti Sukabumi, Bogor, Indramayu, Tegal, Brebes dan Pekalongan. Hingga kini banyak keturunan murid-muridnya yang masih melakukan ziarah ke makam guru orang tua mereka secara rutin, terutama pada malam-malam tertentu seperti Jum’at Kliwon dan lain sebagainya.
Sementara dari sisi pelajaran, Kiyai Haji Mutawally mengajarkan kepada para santrinya kitab kuning sebagaimana halnya di berbagai pesantren di pulau Jawa yang meliputi ilmu-ilmu fiqh dan terutama ilmu tasawuf atau ilmu hikmah bagi mereka yang sudah berada pada level tinggi penguasaan ilmunya. Selain itu, Kiyai Haji Mutawally juga menyelenggarakan pengajian kitab kuning untuk umum seminggu sekali setiap Kamis pagi. Dalam setiap pengajian tersebut, tidak kurang dari 500 orang hadir untuk mendengarkan pelajaran agama dari Kiyai Haji Mutawally[8]. Tradisi pengajian umum Kemisan ini hingga sekarang masih dilestarikan, meskipun isinya tidak lagi merujuk kitab kuning sebagaimana pada masa awalnya dan pesertanya tidak lagi para santri tapi ibu-ibu majelis taklim.
Sosok Tawadlu di Balik Peristiwa Bersejarah
Kelebihan Kiyai Haji Mutawally dalam ilmu hikmah selain terlihat pada gelar yang diberikan kepadanya juga didasarkan pada berbagai cerita lisan yang disampaikan oleh para muridnya. Misalnya banyak diceritakan bahwa ketika ada 2 orang yang mencuri beras dari lumbung padi di rumah Kiyai Haji Mutawally, kedua orang pencuri ini tidak bisa keluar dari kompleks Langgar. Keduanya selama berjam-jam hanya mengelilingi Langgar tersebut hingga tiba waktu Sholat Shubuh. Akibatnya ia diketemukan oleh Kiyai Haji Mutawally yang akan menjalankan ibadah Sholat Shubuh. Dalam kondisi kelelahan, kedua orang tersebut minta diberikan ampunan oleh Kiyai Haji Mutawally. Dengan penuh kelembutan dan disaksikan warga sekitar yang akan berjama’ah Sholat Shubuh, Kiyai Haji Mutawally memaafkannya dan keduanya kemudian bebas dan bisa menemukan jalan keluar dari kompleks Langgar. Tidak itu saja, beras hasil curianpun diberikan kepada keduanya dengan ikhlas oleh Kiyai Haji Mutawally. Cerita lainnya setiap ia melintas di depan markas tentara kolonial di tempat yang sekarang menjadi Kantor Polsek Cilimus, para tentara kolonial justru tidak bisa melihatnya. Cerita tersebut dan cerita-cerita lainnya lepas dari apakah terbukti secara historis atau tidak membuktikan akan adanya pengakuan terhadap ketinggian keilmuan yang dimiliki dan kharisma yang dipancarkan Kiyai Haji Mutawally.
Peran lain yang mungkin sangat heroik dari Kiyai Haji Mutawally dalam konteks perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah bagaimana perannya dibalik peristiwa 10 Nopember 1945 yang nantinya diabadikan sebagai Hari Pahlawan Nasional. Sebagaimana telah dicatat dengan tinta emas bagaimana para ulama Nahdlatul Ulama (NU) dalam merespon kedatangan pasukan NICA ke Surabaya yang dipandang akan mengancam kemerdekaan yang baru diproklamasikan oleh bangsa Indonesia. Mereka sepakat mengeluarkan fatwa yang dikenal dengan istilah Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945. Berdasarkan Resolusi itulah, para ulama dan santri telah menyatakan kesiapan menghadapi segala kemungkinan yang terjadi seiring kedatangan pasukan NICA tersebut. Namun demikian, pergerakan mereka menunggu intruksi langsug dari tokoh ulama paling kharismatik saat itu, Syekh Hasyim Asy’ari. Yang menarik Syekh Hasyim Asy’ari tidak akan mengeluarkan instruksi kecuali dipastikan sosok Singa Cirebon yang nanti merujuk pada Kiyai Abbas Buntet telah tiba. Di saat yang sama, Kiyai Abbas Buntet juga menunggu restu dari gurunya Kiyai Haji Mutawally. Untuk itu, Kiyai Abbas menghadap kepada gurunya ini untuk mendapatkan restu. Riwayat masyhur menyatakan Kiyai Abbas harus menuggu waktu tiga hari sebelum medapatkan restu gurunya. Maka, setelah mendapatkan restu inilah, Kiyai Abbas Buntet, berangkat ke Surabaya untuk kemudian memimpin gerakan rakyat semesta pada tanggal 10 Nopember 1945. Singkat cerita, jika tidak ada restu, bisa saja tidak terjadi peristiwa heroik tersebut. Dari kisah inilah, diketahui Kiyai Haji Mutawally merupakan sosok utama sekaligus berpengaruh di balik layar Peristiwa 10 Nopember 1945.
Wafatnya Kiyai Haji Mutawally
Pada tanggal 11 November 1953 bertepatan dengan tanggal 4 Robi’ul Awwal 1373 H, Kiyai Haji Mutawally yang telah berusia kurang lebih 102 tahun meninggal dunia dan dikuburkan di pemakaman umum Ciloklok, Cilimus. Sebagai sosok yang sangat dihormati, para santrinya serta masyarakat sekitar menyepakati untuk membangunkan sebuah rumah khusus di atas makamnya sebagai salah satu bentuk penghormatan atas keagungan namanya. Hal itulah yang membedakan makamnya dengan makam lainnya yang ada di kompleks tersebut. Kita akan dengan sangat mudah menemukannya. Di tempat itu pula, dewasa ini para peziarah yang datang dari berbagai wilayah, termasuk juga dari Sulawesi Selatan, melakukan ritual bahkan ada yang menginap berhari-hari dengan harapan mendapatkan barokah.
Daftar Pustaka.
M Sholeh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia, Yogyakarta, LKiS, 2007
Martin van Bruinessen, “Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci. Orang Nusantara Naik Haji,” dalam Dick Douwes dan Nico Kaptein, Indonesia dan Haji, Jakarta: INIS, 1997
Hamdan, Peran Kyai Haji Siradjur Rosyidin (Abah Mutawally) 1819-1953 Dalam Menyebarkan Dakwah Islam Di Kuningan, Cirebon: Jurusan Sejarah Peradaban Islam, 2017
Kiyai Abu Hafsin, Silsilah Keturunan Embah K. Maijah …, hal. 28.
Tim Peneliti Masyarakat Sejarawan Indonesia cabang Bandung, Laporan Penelitian Perjuangan Kiyai Hasan Maolani di Kampung Jawa Tondano, n.p., 2008, hal. 16.
Wawancara Kiyai Hasan Mustofa dan Kiyai Sufyan Iskandar, 27 Nopember 2013
Wawancara dengan Kiyai Sufyan Iskandar, 27 Nopember 2019.
Catatan Kaki
[1] Hingga tahun 1970-an, jemaah haji Indonesia masih menggunakan kapal laut sebagai transportasi utamanya. Munculnya kapal pengangkut massa pada pertengahan abad ke 20 tidak serta merta merubah moda transportasi angkutan jema’ah haji Indonesia. Salah satu faktornya adalah mahalnya biaya ongkos pergi haji jika menggunakan pesawat dibandingkan dengan menggunakan kapal laut, meskipun dari sisi efisiensi waktu jauh sekali perbedaannya. Seiring dengan semakin banyaknya pesawat yang digunakan oleh maskapai Indonesia dan semakin murahnya ongkos haji serta telah bangkrutnya perusahaan jasa angkutan haji Indonesia melalui kapal laut, PT Arofah, pemerintah kemudian menetapkan pesawat terbang sebagai moda transportasi haji resmi. Lihat M. Sholeh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia, Yogyakarta, LKiS, 2007, hal. 56. Terkait perkembangan alat transportasi ibadah haji hingga awal abad ke 20, baca Martin van Bruinessen, “Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci. Orang Nusantara Naik Haji,” dalam Dick Douwes dan Nico Kaptein, Indonesia dan Haji, Jakarta: INIS, 1997, terutama hal. 127-132.
[2] Cerita tentang pemberian nama ini sering kali diungkapkan oleh para sesepuh keluarga besar keturunan KH Mutawally pada saat diselenggarakan acara Haolan atau Nepung Taun.
[3] Ada riwayat yang menyatakan bahwa ia lahir tahun 1818 atau 1819. Ada juga yang menyatakan, ia dilahirkan pada tahun 1839. Namun jika merujuk pada riwayat pendidikannya dimana ia belajar ke pesantren Benda Kerep yang baru dibuka pada tahun 1862 dan baru menikah setelah pergi ke Mekkah tahun 1860-an untukmenimba ilmu sekaligus melaksanakan ibadah haji, nampaknya tahun 1851 jauh lebih lebih mendekati kenyataan. Artinya, tentang tahun kelahiran Kiyai Haji Mutawally ini agaknya masih harus diteliti ulang karena jika memang Kiyai Haji Mutawally lahir pada 1819, maka tidak mungkin ia belajar kepada kiyai Ahmad Sobari Ciwedus Kuningan sebagaimana yang dipaparkan Nina Lubis yang mengelompokan Kiyai Haji Mutawally dengan ulama-ulama abad 20 awal yang merupakan murid-murid dari kiyai Ahmad Sobari, kecuali jika Kiyai Haji Mutawali belajar pada kiyai Syu’eb (menantu kiyai Kalamudin) atau kiyai Adzro’I Babakan Ciwaringin, generasi sebelum kiyai Ahmad Sobari.
[4] Hamdan, Peran Kyai Haji Siradjur Rosyidin (Abah Mutawally) 1819-1953 Dalam Menyebarkan Dakwah Islam Di Kuningan, Cirebon: Jurusan Sejarah Peradaban Islam, 2017, hal. 8.
[5] Kiyai Abu Hafsin, Silsilah Keturunan Embah K. Maijah …, hal. 28.
[6] Dalam tradisi lokal masyarakat Indonesia, sosok-sosok yang berjasa membuka wilayah-wilayah baru sering digambarkan memiliki keunggulan dalam bidang spiritual dan kesaktian kanuragan. Misalnya peristiwa pendirian wilayah Benda Kerep tidak lain karena kesaktian dan keunggulan spiritual sang pendiri yaitu Embah Sholeh. Tentang kesaktian sosok-sosok kiyai pada masa lalu misalnya juga terdapat pada cerita tentang sosok kiyai Hasan Maolani. Misalnya, ia bisa pergi tanpa diketahui orang dan bisa datang ke suatu tempat yang sangat jauh dalam waktu yang hanya sekejap, mengobati berbagai macam penyakit, bisa sholat Jum’at di Mekkah setiap minggunya dan lain-lain. Tim Peneliti Masyarakat Sejarawan Indonesia cabang Bandung, Laporan Penelitian Perjuangan Kiyai Hasan Maolani di Kampung Jawa Tondano, n.p., 2008, hal. 16.
[7] Wawancara Kiyai Hasan Mustofa dan Kiyai Sufyan Iskandar, 27 Nopember 2013
[8] Wawancara dengan kiyai Sufyan Iskandar, 27 Nopember 2019.
Oleh: Prof. KH. Didin Nurul Rosyidin, M.A., PhD.
(Guru Besar Ilmu Sejarah UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon/Direktur Pesantren Terpadu Al Mutawally)