Connect with us

Hi, what are you looking for?

Achmad Nur Hidayat

Netizen Mass

Ketika Bendera Putih Berkibar, Apakah Negara Masih Mendengar?

JAKARTA (MASS) – Apa arti bendera putih yang berkibar di pinggir jalan lintas Sumatera, di tengah banjir bandang dan longsor, bukan sebagai lambang menyerah kepada musuh, tetapi sebagai isyarat putus asa kepada negara?

Pertanyaan ini relevan untuk menutup tahun 2025, karena di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, bencana hidrometeorologi bukan hanya soal curah hujan, luapan sungai, dan tanah bergerak. Ini juga soal keluhan publik yang menumpuk, lalu menguap di ruang koordinasi.

Masalahnya bisa dirumuskan sederhana. Pertama, keluhan warga tentang lambannya logistik dan layanan dasar kerap tidak segera dijawab dengan tindakan yang terasa di lapangan.

Kedua, respons antarwilayah dan antarlembaga masih terlalu terkotak, padahal bencana bergerak melintasi batas administrasi. Ketiga, ketika kanal formal tidak efektif, masyarakat menciptakan bahasa darurat sendiri, dan bendera putih adalah bentuknya.

Gagasan yang saya tawarkan tegas: bencana lintas provinsi harus diperlakukan sebagai bencana lintas provinsi, dengan komando, logistik, dan pemulihan yang benar benar terintegrasi. Kita butuh BRR baru untuk Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

Bencana 2025: Hujan Ekstrem, Respons yang Tidak Boleh Biasa Biasa Saja

Akhir November 2025, fenomena siklon tropis di sekitar perairan Samudra Hindia memicu hujan sangat lebat hingga ekstrem di wilayah Aceh dan Sumatera Utara, serta hujan lebat di sebagian Sumatera Barat.

Di beberapa titik, hujan turun dalam intensitas tinggi selama berhari hari, menyebabkan sungai meluap, tanggul jebol, banjir bandang, dan longsor yang memutus akses jalan serta komunikasi.

Data korban dan kerusakan terus berubah karena pendataan lapangan berjalan dinamis, tetapi gambaran besarnya jelas: ini bencana lintas wilayah dengan dampak sosial ekonomi yang serius, bukan kejadian lokal yang bisa ditangani secara terpisah.

Di titik seperti ini, respons tidak boleh memakai logika bencana biasa. Justru di sinilah keluhan publik harus dibaca sebagai instrumen kebijakan, bukan gangguan. Karena keluhan warga adalah sensor paling jujur tentang apa yang belum beres.

Keluhan Publik: Mengapa Bantuan Terasa Ada, tetapi Tidak Sampai?

Keluhan yang paling sering muncul di ruang publik adalah pola klasik: bantuan disebut bergerak, tetapi warga merasa belum menerima. Ini bukan sekadar persoalan niat, melainkan persoalan desain rantai pasok dan desain komando.

Logistik bencana itu seperti ambulans. Bukan hanya harus tersedia, tetapi harus tiba cepat, tiba di tempat yang benar, dan membawa muatan yang benar. Jika ambulans tersesat di jalan yang putus, atau menunggu instruksi berlapis, maka korban menambah luka, bukan tertolong.

Dalam banyak kasus bencana, pemerintah daerah dan pusat biasanya bergerak mengirim bantuan logistik ke kabupaten terdampak. Namun tantangan terbesar terjadi pada fase terakhir, yaitu menjangkau desa dan gampong yang terisolasi.

Jalan putus, jembatan runtuh, dan informasi kebutuhan yang belum rapi membuat bantuan tertahan di simpul tertentu. Karena itu, keluhan warga harus dipahami secara tepat: mereka tidak menolak bantuan, mereka menuntut kepastian bahwa bantuan menembus titik terisolasi, bukan berhenti di tempat yang mudah dijangkau.

Masalah lain yang muncul adalah koordinasi informasi. Ketika data korban, lokasi pengungsian, dan status akses tidak sinkron antarinstansi, maka keputusan logistik ikut melambat. Bantuan bisa menumpuk di satu titik dan kosong di titik lain. Ini bukan hanya masalah teknis, tetapi masalah tata kelola.

Bendera Putih sebagai Bahasa Darurat, dan Teguran Moral

Di Aceh, terutama Aceh Tamiang, warga mengibarkan bendera putih di sepanjang jalan lintas Sumatera sebagai tanda darurat dan pesan bahwa mereka sudah tidak tahu lagi harus meminta bantuan ke mana. Bendera putih ini menjadi simbol paling kuat dari keluhan publik yang merasa tidak segera dijawab. Ini bukan teatrikal.

Ini tanda bahwa komunikasi formal dianggap tidak mempan, sehingga warga mengganti keluhan menjadi simbol.

Bendera putih adalah bahasa universal, tetapi dalam konteks kebencanaan 2025, maknanya lokal sekaligus politis. Lokal, karena ia muncul dari krisis kebutuhan dasar: pangan, kesehatan, air bersih, akses. Politis, karena ia menagih fungsi perlindungan negara.

Ketika warga sampai pada tahap memakai simbol penyerahan universal, itu berarti mereka merasa sistem sudah terlalu lambat atau terlalu jauh.

Kunjungan pejabat negara ke lokasi bencana dapat memberi harapan, tetapi kunjungan mudah terbaca simbolik apabila tidak segera diikuti perbaikan akses, ritme logistik yang stabil, dan komunikasi publik yang konsisten. Warga tidak membutuhkan banyak pidato.

Warga membutuhkan jadwal bantuan yang pasti, posko yang fungsional, dan layanan dasar yang kembali berjalan.

Konsekuensi Pengabaian Keluhan: Kepercayaan Runtuh, Biaya Membengkak

Pengabaian keluhan publik, atau respons yang terasa lambat, menimbulkan konsekuensi berlapis. Pertama, konsekuensi kemanusiaan: kelompok rentan paling cepat terdampak ketika air bersih, makanan, obat, dan shelter terlambat.

Kedua, konsekuensi sosial: muncul friksi di posko, kecemburuan distribusi, dan sinisme kolektif bahwa negara hanya hadir setelah viral. Ketiga, konsekuensi kebijakan: krisis kepercayaan membuat masyarakat makin mengandalkan kanal informal, sehingga negara makin sulit memimpin koordinasi.

Dalam situasi seperti ini, desakan agar pemerintah menetapkan status bencana nasional dan memperlakukan bencana sebagai kejadian lintas provinsi bukan semata tuntutan politis. Itu tuntutan administratif agar sistem bergerak dengan skala yang sesuai masalah.

Karena ketika bencana menembus batas provinsi, pendekatan yang tetap terkotak kotak provinsi akan selalu tertinggal.

Mengapa Penetapan Bencana Lintas Provinsi Itu Penting

Bencana ini tidak berhenti di batas provinsi. Sungai tidak mengenal garis administrasi, jalur logistik sering melintasi provinsi, dan evakuasi sering membutuhkan rute alternatif yang melewati wilayah tetangga.

Karena itu, penetapan bencana lintas provinsi bukan sekadar status, melainkan kunci komando. Ia menentukan seberapa cepat mobilisasi sumber daya, seberapa kuat integrasi data, dan seberapa jelas siapa melakukan apa.

Status dan komando yang jelas akan menekan biaya koordinasi yang selama ini mahal tetapi sering tak terlihat. Biaya koordinasi itu berbentuk rapat yang tidak menghasilkan keputusan operasional, tumpang tindih penugasan, data yang beda format, bantuan yang menumpuk di satu titik, dan wilayah terisolasi yang terlambat disentuh.

Belajar dari BRR Aceh Nias: Apa Itu BRR dan Mengapa Pernah Berhasil

Indonesia punya contoh yang relevan, yaitu BRR Aceh dan Nias. BRR adalah Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi, lembaga khusus yang dibentuk untuk memimpin, mengoordinasikan, dan memastikan rehabilitasi serta rekonstruksi pascabencana berjalan dalam satu komando, dengan mandat kuat, ukuran kinerja jelas, dan akuntabilitas yang relatif terjaga.

Kisah singkat pembentukannya penting diingat. Pasca gempa dan tsunami 26 Desember 2004, disusul gempa Nias 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk BRR Aceh dan Nias melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang pada 2005.

Lembaga ini lahir karena situasi dinilai genting dan tidak mungkin ditangani dengan ritme birokrasi normal. BRR bekerja mengelola ekosistem pemulihan yang sangat kompleks, melibatkan banyak mitra, pendanaan besar, serta kebutuhan pembangunan kembali permukiman, infrastruktur, dan layanan publik.

Salah satu keberhasilan kunci BRR adalah kemampuannya menyederhanakan koordinasi: satu arah kebijakan, satu kerangka program, satu mekanisme pelaporan, dan satu standar pelaksanaan.

Dengan model ini, risiko proyek tumpang tindih dan salah sasaran dapat ditekan, dan proses pemulihan bisa lebih terarah. Pelajarannya bukan nostalgia, melainkan bukti bahwa ketika negara membangun mesin koordinasi yang tepat, pemulihan bisa bergerak lebih cepat, lebih rapi, dan lebih dipercaya publik.

BRR Baru untuk Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat

Karena itu, untuk evaluasi akhir tahun 2025, saya mengusulkan BRR baru bagi tiga provinsi terdampak. Bukan untuk menambah birokrasi, melainkan untuk memotong biaya koordinasi yang selama ini membuat logistik lambat dan keluhan publik tidak tertangani.

BRR baru harus menjadi mesin integrasi regional dengan masa tugas jelas, target jelas, dan ukuran keberhasilan yang sederhana: layanan dasar pulih, jalur logistik stabil, warga kembali bekerja, dan risiko bencana susulan turun.

BRR baru perlu menjalankan tiga pekerjaan inti. Pertama, satu data yang kredibel dan real time, dari korban, pengungsi, titik terisolasi, sampai kebutuhan prioritas, agar keputusan tidak dipandu oleh viralitas, tetapi oleh verifikasi cepat.

Kedua, komando logistik lintas provinsi, termasuk penetapan koridor bantuan, gudang antara, dan moda distribusi yang otomatis berubah ketika akses darat putus. Ketiga, pemulihan ekonomi rakyat yang tidak menunggu semuanya normal, melalui padat karya pemulihan, perbaikan irigasi dan pasar, serta skema dukungan cepat bagi usaha mikro yang lumpuh.

Di atas semuanya, BRR baru harus menempatkan keluhan publik sebagai input resmi. Jika warga mengunggah video desa terisolasi, respons pertama negara seharusnya bukan defensif, melainkan verifikasi cepat dan tindakan terukur. Bendera putih tidak boleh terulang sebagai satu satunya cara agar negara menoleh.

Ukuran Negara Hadir adalah Kecepatan dan Ketepatan

Tahun 2025 mengajarkan satu hal: di era cuaca ekstrem, yang dipertaruhkan bukan hanya kemampuan tanggap darurat, tetapi juga kemampuan mendengar. Keluhan publik adalah peta kebutuhan, dan pengabaian keluhan adalah tiket menuju krisis kepercayaan.

Penetapan bencana lintas provinsi, komando lintas provinsi, dan BRR baru di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat adalah jalan untuk menyesuaikan skala kebijakan dengan skala krisis.

Bendera putih di Aceh Tamiang adalah teguran moral. Negara yang kuat bukan negara yang paling banyak bicara, melainkan negara yang paling cepat menembus daerah terisolasi, paling rapi menyatukan data, dan paling konsisten menjawab keluhan dengan tindakan.***

Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ

Advertisement
Advertisement

Berita Terbaru

Advertisement

You May Also Like

Exit mobile version