KUNINGAN (MASS) – Pemerintah daerah hari ini menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks dibandingkan satu dekade lalu. Pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas SDM, penanganan kemiskinan, penguatan UMKM, digitalisasi layanan publik, hingga pengembangan sektor pariwisata merupakan persoalan multidimensi yang mustahil diselesaikan oleh satu dinas secara terpisah. Di Kuningan, misalnya, belum adanya Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), banyak persyaratan seperti KPR (konformitas pemanfaatan ruang), persetujuan lingkungan, dan PBG (izin bangunan) sulit dipenuhi sehingga izin usaha terhambat.
Contoh tersebut menunjukkan bahwa persoalan utama bukan hanya soal teknis atau kurangnya sumber daya, melainkan masih kuatnya silo mentality, pola kerja ketika setiap instansi bergerak sendiri, enggan berbagi data, dan tidak membangun strategi bersama. Alhasil, inovasi daerah berjalan lambat, kolaborasi sulit berkembang, dan pelayanan publik tidak mampu menjawab kebutuhan masyarakat secara cepat dan terpadu.
Silo mentality bukan hanya soal teknis atau koordinasi, tetapi merupakan budaya birokrasi yang sudah mengakar. Banyak perangkat daerah masih menjaga wilayah kewenangannya seolah-olah itu adalah “domain pribadi”. Persaingan antar unit, kebutuhan untuk mempertahankan citra, serta kekhawatiran bahwa berbagi data akan mengungkap kelemahan internal membuat kolaborasi lintas sektor berjalan lambat. Inilah yang membuat banyak program tidak sinkron, terjadi tumpang tindih, bahkan ada kebijakan yang saling bertolak belakang. Akhirnya, masyarakatlah yang merasakan dampaknya dalam bentuk layanan yang lambat, tidak tepat sasaran, dan tidak merata.
Padahal di era pemerintahan modern, kolaborasi bukan lagi pilihan, tetapi keharusan. Tidak ada satupun dinas yang mampu bekerja efektif tanpa dukungan dinas lainnya. Contoh paling dekat dapat dilihat pada penguatan UMKM di Kabupaten Kuningan. Saat ini, Kuningan memiliki ribuan pelaku UMKM yang tersebar di sektor kuliner, kerajinan, fashion, dan jasa sebuah potensi besar yang tidak mungkin ditangani oleh satu dinas saja. Dinas Koperasi memang menjadi pintu utama pemberdayaan UMKM, tetapi pertumbuhan sektor ini sangat bergantung pada dukungan Dinas Perdagangan untuk membuka akses pasar, Dinas Perindustrian untuk pengembangan produk, serta Dinas Pariwisata agar UMKM kuliner dan kerajinan dapat terhubung dengan ekosistem pariwisata daerah. Tanpa kolaborasi lintas OPD, banyak UMKM berpotensi menjadi mandek di level lokal karena akses, promosi, dan pendampingan berjalan tidak serempak.
Sektor pariwisata memerlukan kolaborasi antara berbagai dinas untuk mengembangkan potensi daerah seperti Palutungan, Waduk Darma, dan kawasan Cigugur. Dinas Pariwisata perlu bekerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup untuk menjaga lingkungan dan Dinas Perhubungan untuk memastikan akses yang aman. Keterlibatan lebih dari 30 OPD di Kuningan penting untuk memaksimalkan potensi wisata. Selain itu, digitalisasi layanan publik juga memerlukan kolaborasi antara Diskominfo, Bappeda, dan dinas teknis agar layanan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Kepemimpinan kolaboratif adalah pendekatan yang menekankan bahwa keberhasilan organisasi publik hanya dapat dicapai ketika seluruh perangkat daerah bergerak dalam satu arah. Dalam model ini, pemimpin tidak sekadar memberi instruksi, tetapi berperan sebagai penghubung, fasilitator, dan penyelaras kepentingan antar dinas. Mereka memastikan setiap instansi memiliki ruang untuk menyampaikan gagasan, berbagi data, dan bekerja berdasarkan visi yang sama. Dengan demikian, keputusan yang dihasilkan bukan hanya lebih inklusif, tetapi juga lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Model kepemimpinan yang digunakan di Jawa Barat melalui program “Jabar Juara Lahir Batin” menunjukkan efektivitas kolaborasi. Pemerintah Provinsi membentuk Forum Kolaborasi Lintas OPD untuk mengatasi berbagai isu secara terintegrasi melibatkan banyak dinas. Contohnya, penanganan stunting ditangani bersama delapan perangkat daerah, dan program digitalisasi desa direncanakan secara koordinasi. Pendekatan ini membuat eksekusi program lebih cepat dan kebijakan lebih responsif terhadap kebutuhan warga.
Kuningan memiliki kesempatan yang sama untuk memperkuat pola tersebut. Dengan karakter daerah yang memiliki banyak sektor saling terhubung UMKM, pertanian, pariwisata, lingkungan, dan pelayanan publik penerapan kepemimpinan kolaboratif dapat mempercepat pencapaian tujuan pembangunan. Namun tentu saja, hal ini membutuhkan perubahan budaya birokrasi secara bertahap, terutama dalam cara bekerja dan cara melihat peran masing-masing instansi.
Kendala terbesar dalam menghapus silo mentality di Kuningan bukan terletak pada kurangnya program, tetapi pada cara kerja yang masih terfragmentasi. Beberapa unit cenderung menutup informasi evaluasi, laporan, atau data karena khawatir muncul kritik dari unit lain. Ada pula kekhawatiran bahwa jika kolaborasi terlalu intens, kontribusi unit tertentu tidak akan terlihat menonjol. Padahal, paradigma yang dibutuhkan bukan lagi “siapa yang paling bersinar”, tetapi “siapa yang bergerak bersama”. Selain itu, dinamika kompetisi anggaran juga sering menjadi pemicu silo mentality. Setiap dinas berusaha mempertahankan alokasi anggarannya tanpa melihat bahwa beberapa program sebenarnya dapat digabungkan untuk hasil yang lebih besar dengan biaya yang lebih efisien.
Pemimpin daerah harus mendorong kerja yang lebih terbuka dan kolaboratif untuk mengubah pola birokrasi yang terpisah. Salah satu langkah awal adalah membangun portal data terpadu yang dapat diakses semua OPD, sehingga perencanaan dan evaluasi menjadi lebih efisien. Hal ini juga membantu mengurangi tumpang tindih program dan mempercepat proses penyusunan anggaran. Transparansi data meningkatkan akuntabilitas publik.
Selanjutnya, koordinasi antar OPD perlu menjadi budaya baru, dengan forum rutin yang membahas prioritas pembangunan dan peran tiap dinas. Ini akan memperjelas tanggung jawab dan memfasilitasi diskusi terbuka untuk menyelesaikan masalah. Terakhir, penghargaan perlu diberikan untuk kerja kolaboratif. Indikator kinerja harus diubah agar mendorong kerjasama antar instansi, menciptakan tanggung jawab bersama atas capaian pembangunan daerah. Dengan langkah-langkah ini, Kuningan dapat menjadi pemerintahan yang lebih efisien dan responsif.
Kepemimpinan kolaboratif menawarkan harapan baru bagi birokrasi daerah. Dengan menghapus silo mentality, pemerintah dapat menghadirkan pelayanan publik yang lebih cepat, responsif, dan tepat sasaran. Kuningan memiliki semua modal untuk menjadi pionir tinggal bagaimana pemimpinnya membangun budaya kerja baru yang lebih terbuka dan saling mendukung. Meninggalkan silo mentality bukan sekadar perubahan teknis, tetapi perubahan cara berpikir. Dan jika langkah ini diambil dengan serius, Kuningan dapat menjadi contoh nyata bahwa kolaborasi adalah kunci pembangunan daerah yang lebih maju, inklusif, dan berkelanjutan.
Oleh: Adilla Rahmatushiva & Charyza Najma Divania, Mahasiswi Prodi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Administrasi – Universitas Indonesia
