KUNINGAN (MASS ) – Isu nasional yang menyita perhatian kita semua hari ini adalah tentang bom bunuh diri. Saya tidak ingin menyebutnya sebagai terorisme, karena terkadang isu terorisme dijadikan sebagai barang dagangan yang laku di pasaran.
Yang membuat saya heran adalah setelah insiden bom bunuh diri itu bukannya masyarakat bersyukur dan berterimakasih kepada Densus 88 dan pihak kepolisian, namun malah tidak sedikit masyarakat yang berkomentar negatif.
Bagaiamana jadinya kalau masyarakat tidak percaya lagi dengan institusi nomor satu pemerintah di negeri ini? Hal tersebut mendorong saya untuk mencari tahu apa penyebab sebagian masyarakat yang malah berkomentar negatif terhadap Densus 88 dan pihak kepolisian.
Berikut beberapa kejanggalan yang membuat masyarakat tidak percaya terhadap Densus 88 dan kepolisian dalam isu bom bunuh diri di Makasar, Minggu 28 Maret 2021:
1.Terkesan memojokan satu kelompok tertentu
Masyarakat saling bertanya, bagaimana bisa kebetulan pelaku bom bunuh diri ini meninggalkan sejumlah barang bukti yang mengarah kepada kelompok tertentu yang kebetulan sedang berseteru dengan pihak kepolisian di persidangan. Tentu orang-orang yang sudah terlanjur suka dan tahu trackrecord kelompok tersebut secara automatis langsung tidak percaya dengan isu bom bunuh diri tersebut. Mereka menganggap ini sebuah rekayasa untuk menjatuhkan kelompok tertentu. Bahkan salah satu komentar masyarakat yang ekstrim ada yang mengatakan, “Sekalian saja ada bukti chat dari HRS untuk melakukan jihad”.
Namun sebagian masyarakat ada yang mengatakan, “Hal tersebut bisa saja terjadi, karena pimpinan kelompok mereka sedang ‘didzolimi’ (dalam bahasa mereka) sehingga melakukan tindakan diluar kontrol”.
Saya sendiri sepakat dengan pernyataan aktivis Katolik Aloysius Hartono, “Kriminalisasi terhadap Habib MRS berlebihan! Ini aib buruk bangsa yang juga mencoreng generasi kita”. Kemudian Aloysius mempertanyakan, “Bagaimana mungkin kedamaian dan kerukunan akan datang di negeri ini bila Tokoh Ulama besar dari umat beragama yang terus diganggu, dikriminalisasi dan dipenjarakan?”.
Opini yang disampaiakan masyarakat adalah hasil dari kesimpulan kumpulan berita yang dibaca dan ditonton. Di era digital seperti sekarang ini siapa pun tidak akan mampu menghentikan cepatnya laju informasi. Sehingga tameng yang paling efektif adalah kejujuran dari diri kita masing-masing.
2.Terkesan reaktif dari pada antisipatif
Sebagaiamana kita tahu bersama, usai terjadinya bom bunuh diri di Makasar kemudian dilakukan penggeledahan oleh tim Densus 88 yang dibantu oleh Kapolres Kota Bandung di Bandung dan Sukabumi. “Kita melihat penggeledahan di Kabupaten Bandung dan Sukabumi menjadi semacam reaksi atas insiden bom bunuh diri di Makasar. Padahal salah satu peran vital intelijen adalah early warning,” begitu komentar salah satu masyarakat.
Bahkan sebagiannya lagi berkomentar lebih ekstrim, “Ataukah memang sengaja dibiarkan dulu terjadi bom bunuh diri supaya bisa dijual?”.
Saya sendiri berpendapat tidak ada yang terlambat. Meski sebagian masyarakat menganggapnya sebagai aksi reaktif bukan antisipatif. Kita tetap patut mengapresiasi aksi cepatnya pihak kepolisian dan Densus 88 dalam menangani kasus terorisme. Hanya saja saya berharap dan juga merupakan harapan sebagian masyarakat, jangan sampai aksi pihak kepolisian dan Densus 88 dalam menangani terorisme menimbulkan ‘teror baru’ ditengah masyarakat. Sehingga ada tugas keras dan mulia intelkam untuk mendeteksi di awal agar terjadi kondusifitas dan keamanan di tengah masyarakat.***
Penulis: Ade Zezen
Aktivis jalanan