KUNINGAN (MASS) – Laptop mahal yang tak berfungsi, buku tahunan yang disulap jadi ladang cuan, dan proyek pendidikan yang lebih menguntungkan vendor daripada peserta didik, potret kelam tersebut menghiasi dunia pendidikan Indonesia. Ironisnya, meski berbagai kasus korupsi di sektor itu mengemuka, penyelesaiannya kerap berujung senyap.
Kasus Chromebook senilai miliaran rupiah yang bermasalah pada pengadaan perangkat di berbagai daerah menjadi contoh terbaru dari skandal yang mengguncang sektor pendidikan. Sementara di daerah seperti Kuningan, kasus pengadaan buku tahunan di SMAN 1 Kuningan yang melibatkan kerja sama dengan vendor menuai sorotan publik karena dugaan markup dan pemaksaan pembelian terhadap siswa. Namun hingga kini, tak ada kejelasan hukum dari kasus-kasus tersebut.
Indonesia saat ini menempati peringkat ke-99 dari 180 negara dalam indeks persepsi korupsi 2024 versi Transparency International peringkat yang menunjukkan, korupsi masih menjadi penyakit kronis, termasuk di sektor pendidikan.
“Kenapa jarang tuntas? Karena ada semacam kartel senyap antara pihak sekolah, oknum dinas, dan vendor. Mereka seperti satu ekosistem yang saling melindungi,” ujar Dimas Hidayatullah, aktivis sosial yang aktif di komunitas literasi.
Menurutnya, praktik korupsi di dunia pendidikan sangat kompleks dan sering dibungkus dengan istilah kerja sama atau sumbangan sukarela. Dimas menyoroti minimnya partisipasi publik dalam mengawasi anggaran pendidikan serta lemahnya transparansi dari pihak sekolah dan instansi terkait.
“Korupsi di pendidikan itu berdampak jangka panjang. Ini bukan sekadar kehilangan uang, tapi hilangnya masa depan generasi muda,” tegasnya.
Banyak kasus yang melibatkan vendor sebagai pihak penyedia barang atau jasa pendidikan, yang diduga sengaja menggiring kebutuhan sekolah agar sesuai dengan paket yang mereka siapkan, meski kerap tidak sesuai standar atau tidak dibutuhkan. Sayangnya, aparat penegak hukum juga tak selalu responsif.
“Ketika yang dikorupsi bukan jalan atau gedung, tapi laptop rusak dan buku tahunan, masyarakat cenderung diam. Padahal ini sama berbahayanya,” tambah Dimas.
Pengawasan internal pun dinilai lemah. Komite sekolah yang semestinya menjadi penyeimbang kadang justru tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan anggaran. Kalaupun ada keluhan dari wali murid atau siswa, seringkali berujung intimidasi atau pembiaran.
Alokasi anggaran pendidikan nasional mencapai 20% dari APBN, sektor itu semestinya menjadi yang paling bersih dan terkontrol. Namun realitas di lapangan menunjukkan, anggaran besar justru membuka peluang besar bagi praktik-praktik menyimpang.
“Kalau tidak ada reformasi pengawasan dan keberanian membuka tabir di balik vendor-vendor pendidikan ini, kasus seperti Chromebook dan Yearbook akan terus berulang,” pungkas Dimas. (argi)