JAKARTA (MASS) – Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang diumumkan oleh pemerintah pada 3 September 2022 lalu menuai polemik. Mulai dari pemenuhan hak rakyat secara demokratis, munculnya gerakan mahasiswa hingga upaya alternatif bagi Kelompok rentan.
Berdasarkan hal tersebut, Scholarium LP3ES berkolaborasi dengan Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Kuningan (IPPMK) Jadetabek mengadakan diskusi dengan tema “Menyoal Harga BBM, Negara Kesejahteraan, dan Kelompok Rentan” yang diselenggarakan di kantor LP3ES, Jumat (16/9/2022) kemarin.
Malik Ruslan, Peneliti Senior LP3ES, selaku pemateri diskusi menjelaskan Kenaikan harga BBM erat kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat secara luas.
“Yang menjadi titik tekannya adalah kesejahteraan umum, bukan kesejahteraan saja” ujarnya.
Pasalnya, hal tersebut sudah diatur didalam konstitusi. Negara tidak hanya semata-mata menjaga keamanan dan ketertiban. Tetapi, memikul tanggungjawab keadilan sosial, kesejahteraan umum dan kemakmuran rakyat.
Dalam hal ini, menurutnya kita harus merujukan pada alenia keempat dalam UUD 1945 yang menjelaskan bahwa tujuan bernegara adalah memajukan kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum meliputi antara demokrasi ekonomi dan demokrasi politik.
“Kombinasi tersebut sudah diramu oleh Bung Hatta yang ia sebut sebagai demokrasi ekonomi dan Bung Karno sebagai sosio demokrasi atau demokrasi politik,” tegasnya.
Namun ia sangat menyayangkan dewasa ini pemerintah lebih banyak bicara tentang demokrasi politik dibandingkan demokrasi ekonomi.
Padahal menurutnya demokrasi ekonomi sudah diatur dalam pasal 33 ayat 4 UUD 1945 yang berbunyi “Menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
Penulis buku “Politik Anti Korupsi” ini juga menjelaskan, bahwa Demokrasi Ekonomi merupakan Rumah bagi Negara Kesejahteraan.
“Tempat Negara Kesejahteraan didalam Demokrasi Ekonomi itu. Itu adalah rumahnya, ketika itu di angkat dan dikeluarkan dari dalam maka kesejahteraan tidak punya rumah Karena rumahnya dalam demokrasi ekonomi” jelasnya.
Disisi lain ia juga menekankan perlunya porsi yang tepat dalam menempatkan demokrasi ekonomi untuk mewujudkan demokrasi dalam negara kesejahteraan.
“Paradigma ekonomi didalam demokrasi juga harus ditempatkan pada porsi yang tepat, tidak hanya soal investasi saja, melainkan juga penegakan hukum dan pemenuhan hak-hak rakyat,“ tegasnya.
Dalam hal ini konsep negara kesejahteraan umum juga merujuk pada sila kelima pancasila- keadialan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menurutnya pemerintah gagal dalam mewujudkan keadilan sosial. Dalam konteks ini ditandai dengan kegagalan dalam menyalurkan subsidi BBM yang diperuntukan untuk masyarakat.
Jika merujuk pada masa pemerintahan Presiden SBY subsidi mencapai angka kisaran 300 Triliun dan pada masa pemerintahan Jokowi mencapai 502 Triliun. Namun masih menghadapi masalah yang tak kunjung usai; salah sasaran. Menurutnya persoalan salah sasaran tersebut terletak pada management penyaluran subsidi yang dilakukan pemerintah.
BLT; Obat Tidur Kenaikan BBM
Diyah Miftah, Pemateri dari IPPMK dalam hal ini merespon kenaikan BBM sangat berdampak pada kehidupan masyarakat secara luas.
“Imbasnya kepada masyarakat, BBM naik dan perekonomian terganggu,” ucapnya.
Menurut Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah tersebut, Masalah yang di timbulkan oleh kenaikan BBM tidak hanya terhenti pada respon masyarakat saja- pro atau kontra. Namun, apa solusi yang ditawarkan pemerintah kepada masayarakat sebagai kelompok yang terkena imbas dari kenaikan BBM. Sebagai langkah menepis ketimpangan yang akan terjadi.
“Ini tidak diimbangi dengan solusinya , dengan apa yang masyarakat dapatkan,” tegasnya.
Disisi lain, menurut Diyah permasalahan ini juga harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Ia menilai pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat bukan langkah yang solutif dan berkelanjutan.
“BLT hanya sebagai obat tidur yang sifatnya hanya sementara. Tapi untuk kedepannya tidak ada hal konkrit yang berkelanjutan” Tegasnya.
Dalam hal ini Antika Septi, Mahasiswa Brawijaya, selaku pemateri juga menilai bahwa Kenaikan BBM tersebut mendapat respon yang tegas dari mahasiswa. Namun ia juga menilai, mahasiswa perlunya menawarkan langkah alternatif kepada pemerintah.
“Respon mahasiswa terkait menolak bbm sudah benar, tinggal bagaimana cara nya menawarkan solusi tandingan.“ Jelasnya.
Menurutnya langkah yang harus ditawarkan mahasiswa kepada pemerintah adalah beralih kepada energi terbarukan. Pasalnya energi terbarukan sudah menempuh kajian panjang dari berbagai akademisi. Peralihan dari BBM ke energi terbarukan tersebut lebih menekankan pada energi yang lebih ramah lingkungan dan tidak merusak alam.
Sebab, berdasarkan data yang ia peroleh, 61% pembangkit tenaga listrik adalah tenaga uap dengan bahan bakar batu bara. Menurutnya Ini sangat kontradiktif, pasalnya penggunakan batu bara sebagai bahan bakar akan berdampak pada kerusakan alam. Padahal selama ini kita selaku mahasiswa berupaya mengadvokasi masyarakat yang tergusur karena tambang dan juga merusak lingkungan.
Ia berpendapat bahwa energi terbarukan adalah solusi dari permasalahan yang ada sekarang. Merealisasikan kajian yang telah dilakukan oleh para ahli dalam peralihan energi terbarukan.
“Menurut saya kita perlu ngomongin hal lain dari kenaikan BBM; energi terbarukan dan dampak lingkungan” tegasnya.
Merespon hal tersebut, Erfan Maryono, Direktur Eksekutif LP3ES menjelaskan jika hal tersebut diwujudkan maka biaya produksi yang akan dihabiskan dalam menuju energi yang ramah lingkungan sangat mahal.
Menurutnya, hal ini juga harus menjadi pertimbangan serius bagi negara. Karena jika hal tersebut tidak segera dilakukan akan berimplikasi besar terhadap lingkungan.
“Jadi tinggal gimana ngitungnya , jangka pendek atau jangka panjang, jika jangka panjang yang kita harus investasi untuk pengalihan sumber energi ini harus dilakukan,” jelasnya. (eki/rls)