KUNINGAN (MASS) – Kolonialisme memang pernah menjadi tren dunia pada abad-abad lampau. Ya, sebuah paham atas perbuatan untuk menguasai daerah lain untuk diambil keuntungannya.
Pram berhasil menggambarkan sebuah arus yang tadinya dominan dari utara (nusantara) ke selatan (negeri para penjajah). Dan kemudian Pram dengan cerdas menyebut itu sebagai Arus Balik. Arus di mana kita sudah sulit untuk membendungnya, bahkan mengimbanginya. Kecuali, dengan ilmu pengetahuan.
Sebagai bangsa yang memiliki hak untuk merdeka. Bangsa yang mengatas namakan “Indonesia” kini telah memperoleh kemerdekaan sebagai hak. Inilah yang dinanti-nantikan dan diperjuangkan oleh pribumi.
Pada zaman penjajahan, mereka mengelu-elukan para pejuang revolusi yang susah payah membuat susunan negara agar menjadi Bangsa yang besar, bangsa yang mandiri, bangsa yang kokoh, dan bangsa yang terlahir dari tumpah darah para pahlawan kita.
Sebuah renungan untuk kembali mengenang makna yang mereka perjuangkan. Mereka benar-benar rela mempertaruhkan nyawa hanya ingin bangsa ini terbebas dari belenggu kekuasaan para penjajah.
Tidak peduli seberapa banyak bentuk penindasan, yang pejuang inginkan adalah harkat dan derajat untuk seluruh rakyat Indonesia. Seperti slogan yang terkenal “Pribumi dan Anjing dilarang Masuk.”
Sangat merendahkan bukan? Betapa besar sekali jasa para pejuang yang melawan kekuasaan penjajah. Sungguh tidak bisa dibayar oleh materi.
Lalu kenapa pada akhir-akhir ini rakyat Indonesia kurang begitu memedulikan perjuangan mereka. Bisa kita bayangkan seumpama jika orang-orang terdahulu tidak berhasil mendapati kemerdekaannya. Tentu, warga Indonesia saat ini tidak akan mampu merasakan yang namanya kebebasan dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Menarik sekali memang, momentum tujuh belasan ini. Bayangkan saja, perayaan terhadap kemerdekaan selalu diliputi oleh hingar bingar kekonyolan.
Apa yang konyol? Coba pikirkan, di mana esensi dari lomba makan kerupuk, balap karung dan lain-lain? Bukannya tidak setuju, namun miris melihatnya. Bayangkan saja selama 75 tahun sudah berapa generasi yang mempertahankan kebiasaan tersebut.
Kenapa sih enggak boleh? Boleh-boleh saja, asalkan kita bisa mendampinginya dengan kegiatan yang lebih esensial. Seperti, lomba ilmu pengetahuan tentang sejarah, atau yang dapat menarik prestasi sekaligus menumbuhkan rasa cinta tanah air sebagaimana mestinya.
Jadi, yang dimaksud dari kemerdekaan ialah yang menjadi hak bagi setiap bangsa bahkan individu (sesuai dengan konstitusi negara). Memang, tiada kemerdekaan yang mutlak. Kemerdekaan pastinya selalu dibatasi.
Yang menjadi persoalan ialah, seberapa jauh kita bisa mengenal bangsa, leluhur dan budaya kita. Terlalu banyak kita berhutang, namun masih sulit untuk membayar itu semua.
Inti dari semua itu bukanlah untuk menghilangkan kebiasaan sepele tujuh belasan. Tetapi, jadikanlah tujuh belasan sebagai hari yang sakral untuk mengenang. Bukan hanya mengenang, barangkali. Paling penting ialah mencari kebenaran. Semisal, benarkah Indonesia dijajah selama 350 tahun? Seperti itu kiranya.***
Aziz Ahmad Zainudin, Mahasiswa Filsafat IAIN asal Kuningan (Aktif di IMK wil Cirebon)