KUNINGAN (MASS) – Beberapa waktu lalu publik diramaikan dengan polemik mengenai adanya potensi kecurangan pada Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024. Polemik ini muncul setelah Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), berpidato di acara Rapat Pimpinan Nasional Partai Demokrat, pada 15 September 2022.
SBY mengaku mendengar kabar ada tanda-tanda bahwa Pemilu 2024 akan diselenggarakan dengan tidak jujur dan adil. SBY mengatakan, karena adanya informasi tersebut, ia mesti turun gunung untuk menghadapi Pemilu 2024.
Menyikapi hal ini, kecurangan dan pelanggaran pada Pemilu tahun 2024 akan tetap ada dan tidak mungkin hilang. Bahkan sebelumnya, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan bahwa Pemilu dari waktu ke waktu tidak bisa lepas dari proses kecurangan.
Kecurangan pemilu selalu ada sejak era sebelum reformasi hingga pasca reformasi seperti saat ini. Perbedaannya terletak pada pelaku kecurangan pemilu. Kalau jaman sebelum reformasi kecurangan bersifat vertikal terjadi antara pemerintah dan penyelenggara yakni Lembaga Penyelenggara Pemilu (LPU) karena sudah dipastikan pemenangnya adalah Partai Golkar. Kalau saat ini kecurangan terjadi secara horizontal atau antar partai peserta pemilu.
Lebih lanjut Mahfud menuturkan, bentuk-bentuk kecurangan dalam pemilu yang saat ini perlu diantisipasi ialah kecurangan yang terjadi antar kontestan. Seperti jual beli suara, politik uang, pengubahan suara, pemalsuan tanda tangan. Kecurangan-kecurangan tersebut selalu terjadi baik dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) hingga pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres).
Oleh sebab itu, menurut Mahfud pemilu dan kecurangan adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Akan selalu ada tuduhan-tuduhan kecurangan yang disampaikan kepada penyelenggara pemilu dalam hal ini ialah Komisi Pemilihan Umum (KPU) hingga pengaduan ke Bawaslu.
Ada empat penyebab masih terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu di Indonesia yaitu :
Pertama, relasi patronase yang kuat di antara para penyelenggara pemilu, calon legislatif (caleg) dan pemilih. Patronase politik adalah penggunaan sumber daya untuk memberikan imbalan kepada individu yang telah memberikan dukungan elektoral. Setiap caleg atau pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) merasa perlu untuk mengeksploitasi relasi personal, patronase, ataupun kekerabatan demi kemenangan yang ingin diperoleh. Relasi yang terbangun ini melibatkan hal-hal material dan non-material sebagai bahan transaksi di antara para aktor tersebut.
Kedua, sistem pemilu yang ada mendorong caleg menghalalkan segala cara untuk menang. Sistem pemilu legislatif Indonesia adalah open list proporsional representation, yaitu seorang caleg dapat terpilih karena mendapatkan suara terbanyak dalam daftar terbuka di partainya. Dalam sistem tertutup – yang pernah digunakan di pemilu sebelum 2004, terpilihnya seorang caleg ditentukan sepenuhnya oleh partai politik. Sistem ini mendorong para caleg berlomba-lomba mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya. Salah satu akibatnya, kompetisi para caleg di internal partai sangat ketat dan keras.
Ketiga, masih lemahnya sistem pendukung dalam pemilu kita yang dapat membuka celah terciptanya manipulasi suara. Manipulasi terjadi paling tidak pada dua hal, yakni data pemilih dan rekapitulasi penghitungan suara berjenjang. Data pemilih dalam setiap pemilu kita selalu menjadi masalah serius karena data tidak pernah akurat. Sementara itu, rekapitulasi penghitungan berjenjang masih membuka peluang adanya kesalahan penghitungan dan berujung manipulasi hasil perolehan suara. Masih ada celah, misalnya, untuk mengubah angka penghitungan suara di tingkat TPS hingga kecamatan.
Keempat, netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam menyongsong Pemilu serentak tahun 2024 masih rawan.
Jelas tidak dibenarkan apabila ada ASN yang terlibat secara langsung untuk berkampanye atau menjadi tim sukses calon tertentu. Untuk itu, peluang kecurangan dalam Pemilu harus diantisipasi melalui cara :
- Dibutuhkan pengawasan oleh Bawaslu dan dibantu oleh kelompok masyarakat sipil untuk mencegah adanya transaksi antara penyelenggara pemilu dengan peserta pada tahapan pemungutan hingga penghitungan suara agar tidak terjadi penyelewengan suara.
- Penyelenggara pemilu baik KPU dan Bawaslu harus memaksimalkan keterbukaan data (open data) pemilu untuk mencegah kecurangan pada Pemilu 2024. Jika mengacu pada konsep dari National Democratic Institute (NDI) (2014), terdapat 16 data kunci yang diharapkan dapat terbuka seperti; kerangka hukum; peta dapil; profil penyelenggara pemilu di setiap tingkatan; catatan proses yang dijalankan penyelenggara pemilu. Selanjutnya, data terkait keamanan pemilu; partai politik peserta pemilu; profil calon anggota legislatif; kampanye peserta pemilu; dana kampanye peserta pemilu; proses pendaftaran pemilu; daftar pemilih; sosialisasi dan pendidikan pemilih; tempat pemungutan suara; hasil pemilu; teknologi pemungutan dan penghitungan suara elektronik; laporan perselisihan dan penyelesaian sengketa pemilu. Keterbukaan data pemilu diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas sehingga pemilu menjadi lebih berintegritas.
- Partisipasi masyarakat. Dengan keterbukaan data pemilu maka akan mendorong peningkatan partisipasi masyarakat, termasuk dalam mengawasi dan melaporkan jika ada pelanggaran pemilu. Partisipasi masyarakat dalam pengawasan ini sangat penting untuk mencegah kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara maupun peserta pemilu.
- Ada tiga Undang-Undang yang menegaskan ASN harus bersikap netral.
a. UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dalam pasal 2 menyatakan setiap pegawai ASN harus patuh pada asas netralitas dengan tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan tertentu.
b. UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juga terdapat pasal tentang netralitas ASN.
c. UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan Kepala Daerah terdapat dua pasal yang mengatur tentang netralitas ASN yaitu pada Pasal 70 dan Pasal 71. Pasal 70 ayat (1) berbunyi dalam kampanye, pasangan calon dilarang melibatkan Aparatur Sipil Negara, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan anggota Tentara Nasional Indonesia.
Seperti diketahui bersama, sistem Pemilu kita adalah neo liberal yaitu one man one vote yang sebetulnya sangat mengerikan bagi eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dimana paradigma untuk pemenangan Pemilunya hanya berpikir pulau Jawa sentris tidak seluruh Nusantara, wilayah lain dianggap seolah pelengkap saja, lebih liberal dari Pemilu Amerika Serikat.
Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Pemilu 2024 sangat penting dan tidak boleh diabaikan. Apalagi anak sulung dari Presiden Jokowi yaitu Gibran Rakabuming Raka maju menjadi Calon Wakil Presiden berpasangan dengan Prabowo Subianto. Sehingga Pilpres “rasa sayang anak” patut menjadi perhatian khusus bagi kita semua.
Sebagai penutup, jadilah pemilih cerdas, jangan memilih karena isi tas. Apalagi menjadi Golput alias golongan penerima uang tunai.***
Kuningan, 22 Oktober 2023
Uha Juhana
Ketua LSM Frontal