KUNINGAN (MASS) — Keputusan Gubernur Jawa Barat yang baru saja menandatangani moratorium penerbitan izin pembangunan perumahan di seluruh kabupaten/kota se-Jawa Barat, Sabtu (13/12/2025), menjadi langkah berani dalam upaya menekan risiko bencana hidrometeorologi. Namun, kebijakan itu dinilai belum menyentuh akar masalah di daerah-daerah dengan tekanan ekologis tinggi, seperti lereng Gunung Ciremai.
Menurut Ikhsan Marzuki, pegiat sosial dan Inisiator Gerakan KITA, moratorium tersebut harus dibaca sebagai sinyal kuat bahwa pembangunan fisik yang tak terkendali—apa pun bentuknya—telah melampaui batas daya dukung lingkungan.
“Langkah Gubernur sangat tepat, tapi belum cukup. Moratorium perumahan perlu diperluas menjadi moratorium ekologis, termasuk menghentikan sementara semua bentuk pembangunan wisata, glamping, resort, dan kafe di kawasan resapan air Ciremai,” ujar Ikhsan, Minggu (14/12/2025).
Di lereng Gunung Ciremai, terutama kawasan Kuningan bagian utara dan timur, pembangunan sektor wisata kian masif dalam lima tahun terakhir. Lahan-lahan miring yang dulunya hutan pinus dan perkebunan rakyat kini berubah menjadi area wisata, glamping, hingga resto dengan fasilitas modern.
Kendati bukan kategori perumahan, alih fungsi lahan ini memiliki dampak ekologis yang sama: hilangnya area resapan air, meningkatnya limpasan permukaan, serta turunnya kemampuan tanah menyerap air hujan.
“Jangan tertipu oleh istilah ‘wisata alam’. Nyatanya banyak kawasan wisata di Ciremai yang justru menebangi vegetasi, mengeraskan permukaan tanah, dan menambah beban limbah. Ini sama bahayanya dengan perumahan di kawasan rawan bencana,” tegas Ikhsan.
Ia menyebut, banyak izin usaha yang muncul melalui jalur desa wisata atau kepemilikan pribadi, sehingga sering luput dari kajian AMDAL maupun pengawasan tata ruang. Akibatnya, pembangunan terus merangsek naik ke kawasan yang seharusnya menjadi sabuk hijau penyimpan air.
Gunung Ciremai, sebagai puncak tertinggi di Jawa Barat, merupakan sumber utama air bagi beberapa daerah aliran sungai (DAS) penting seperti Cisanggarung, Cijalutung, dan Cikijing. Jika kawasan resapan di lerengnya rusak, maka efek domino akan dirasakan masyarakat di hilir: kekeringan di musim kemarau, dan banjir bandang di musim hujan.
“Inilah bentuk nyata dari krisis ekologis. Kita sedang kehilangan fungsi resapan air, sementara pembangunan terus berjalan tanpa batas. Jika tidak segera dikendalikan, longsor dan banjir bandang hanya tinggal menunggu waktu,” kata Ikhsan.
Berdasarkan data BPBD Jawa Barat, sebagian besar titik rawan longsor berada di wilayah perbukitan dan pegunungan, termasuk di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). Ironisnya, di kawasan penyangga yang seharusnya dijaga ketat, justru muncul deretan villa, resort, dan glamping baru setiap tahunnya.
Dari Moratorium ke Tanggung Jawab Ekologis
Gerakan KITA mendorong agar kebijakan moratorium tidak berhenti di tingkat administratif semata. Pemerintah daerah, menurut Ikhsan, harus berani menetapkan zona konservasi permanen di kawasan resapan air Ciremai dan meninjau ulang seluruh izin usaha wisata yang telah dikeluarkan.
“Kalau Gubernur bisa menghentikan izin perumahan demi mitigasi bencana, Bupati Kuningan seharusnya juga bisa melakukan langkah serupa untuk penyelamatan Ciremai. Ini bukan soal melarang ekonomi, tapi soal menjaga keberlanjutan hidup,” ujarnya.
Selain itu, Ikhsan mengusulkan dilakukan audit ekologis terhadap semua bentuk aktivitas ekonomi di kawasan Ciremai, termasuk yang berdiri di atas tanah pribadi. Ia menegaskan bahwa hak kepemilikan tanah tidak berarti bebas mengabaikan fungsi ekologisnya.
Moratorium ini, lanjut Ikhsan, adalah momentum untuk mengembalikan akal sehat dalam tata ruang dan pembangunan daerah. Ia menilai, selama ini pembangunan lebih banyak dimaknai sebagai ekspansi fisik ketimbang perbaikan kualitas hidup.
“Kita harus mulai menilai pembangunan bukan dari jumlah hotel atau kafe yang berdiri, tapi dari seberapa besar kita mampu menjaga air, tanah, dan hutan. Karena tanpa itu semua, ekonomi wisata pun akan mati,” tutupnya.
Ikhsan juga menegaskan, keputusan progresif Gubernur Jawa Barat tersebut harus menjadi dasar hukum dan moral yang kuat bagi pemerintah daerah, khususnya Bupati Kuningan, untuk mencabut kembali kebijakan pencabutan moratorium pembangunan perumahan di Kecamatan Kuningan dan Kecamatan Cigugur yang dilakukan beberapa waktu lalu.
“Kebijakan Gubernur ini menegaskan bahwa arah pembangunan Jabar harus berbasis keselamatan ekologis. Maka, sudah sepatutnya Pemkab Kuningan mengikuti arah yang sama dengan mengembalikan moratorium di wilayah-wilayah rawan,” kata Ikhsan.
Langkah Gubernur Jawa Barat patut diapresiasi sebagai kebijakan progresif dalam mitigasi bencana. Namun, bagi kawasan sensitif seperti lereng Gunung Ciremai, moratorium perumahan belum cukup. Diperlukan moratorium ekologis yang melindungi kawasan resapan air dari segala bentuk eksploitasi komersial.
“Karena di balik setiap izin yang diberikan tanpa kajian lingkungan, ada potensi bencana yang sedang disemai,” pungkasnya. (didin)
