KUNINGAN (MASS) – Kegiatan pemuda, termasuk program Karang Taruna di berbagai desa di Kuningan, sejatinya adalah wujud nyata gotong royong, kreativitas, dan kepedulian sosial. Kegiatan seperti turnamen olahraga, pentas seni, hingga bazar UMKM tidak hanya melahirkan generasi muda yang sehat, aktif, dan produktif, tetapi juga membuka peluang ekonomi bagi warga sekitar. Semua itu tumbuh dari semangat mandiri, bukan dari anggaran besar pemerintah, apalagi pungutan liar.
Namun di balik antusiasme ini, kabar miring kembali mencuat. Masih ada saja oknum pegawai desa dan sebagian aparat keamanan yang memanfaatkan ruang kebersamaan ini untuk kepentingan pribadi. Alih-alih mendukung, mereka justru menjadikan izin kegiatan sebagai celah meminta uang keamanan. Nominalnya tidak sedikit berkisar antara Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu untuk setiap kegiatan. Praktik ini jelas bukan budaya Kuningan, melainkan bentuk penyelewengan yang merusak kepercayaan publik.
Perlu diingat, pungutan liar atau pungli bukan sekadar perbuatan tak terpuji, tetapi juga tindak pidana yang diatur tegas oleh hukum. Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan, setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang memaksa seseorang memberikan sesuatu dengan dalih apa pun diancam pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun. Selain itu, Pasal 368 KUHP menjelaskan, barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum memaksa orang lain untuk memberikan sesuatu dengan ancaman kekerasan atau ancaman penindasan, dapat dipidana penjara paling lama 9 tahun.
Kita tentu tahu, turnamen bola voli, festival seni desa, dan bazar UMKM Karang Taruna bukan hanya ajang hiburan semata. Dari kegiatan seperti inilah para pedagang kecil mendapatkan penghasilan tambahan. Anak-anak muda yang punya bakat olahraga atau seni bisa menyalurkan kemampuannya dengan bangga. Orang tua dan warga pun mendapatkan ruang silaturahmi dan hiburan murah meriah. Sayangnya, praktik uang keamanan dan biaya izin justru memberatkan. Dana yang seharusnya bisa dipakai membeli bola, sewa sound system, sewa panggung, atau sekadar air minum panitia malah raib untuk pungli. Lebih miris lagi, pemuda sering merasa sungkan untuk bicara karena khawatir kegiatan dibubarkan atau dipersulit.
Sebagai generasi muda Kuningan, kami menegaskan cukup sudah pungli meracuni ruang-ruang kreativitas anak muda. Kami berdiri bukan untuk melawan hukum, tetapi untuk mengingatkan bahwa hukum berlaku untuk semua termasuk aparat desa dan oknum penegak hukum yang lupa akan sumpah jabatan. Kami mengadakan kegiatan demi kebaikan, demi kesehatan fisik dan mental generasi muda, serta demi membantu ekonomi kecil lewat UMKM. Tidak sepatutnya niat baik ini diperas demi kepentingan pribadi segelintir orang. Kepada masyarakat, mari bersama awasi. Kepada pemuda, jangan ragu bersuara. Jika perlu, catat, laporkan, dan sebarkan kejaliman ini. Kepada oknum, sadarlah jabatan adalah amanah rakyat, bukan tiket memalak rakyat atau pura-pura menjadi sosok malaikat. Mari kita buktikan, Kuningan bisa maju dengan budaya gotong royong yang bersih, bukan pungli yang merugikan.
Karang Taruna Berkarya — Pungli Harus Sirna!
Oleh: Yoyo Satrio, mahasiswa merdeka