Connect with us

Hi, what are you looking for?

Ilustrasi anak-anak mengemudikan algoritma. (foto : Meta AI)

Netizen Mass

Jika Anak Kita Boleh Mengemudi Algoritma, Mengapa Kita Tak Boleh Memasang Rem?

KUNINGAN (MASS) – Pertanyaannya sederhana tapi menohok: mengapa kita begitu tegas melarang anak di bawah umur mengemudi mobil, membeli rokok, atau memasuki kasino, tetapi ragu ketika “mesin kasino” versi baru ada di genggaman mereka setiap jam?

Di Indonesia, internet sudah menjadi jalan raya utama kehidupan sosial: awal 2025 tercatat sekitar 212 juta orang menggunakan internet, dan ada sekitar 143 juta identitas pengguna media sosial.

Di ruang yang padat ini, anak dan remaja tidak lagi sekadar “ikut arus”, mereka menjadi sasaran paling empuk dari industri perhatian.

Masalahnya bukan sekadar anak terlalu lama menatap layar. Masalah yang sesungguhnya adalah arsitektur di balik layar: algoritma yang dirancang untuk membuat pengguna betah, kembali, dan terus mengonsumsi.

Bagi orang dewasa, itu sudah sulit dilawan. Bagi anak di bawah 16 tahun, ini seperti melepas mereka berenang di arus deras dengan pelampung yang bocor.

Itulah mengapa ide pengaturan media sosial untuk anak di bawah 16 tahun bukan soal melarang teknologi, melainkan soal memasang pagar pengaman di tepi jurang yang tidak terlihat.

Algoritma Itu Seperti Industri Makanan Cepat Saji, Bedanya Ia Memakan Waktu dan Fokus

Mari pakai analogi yang lebih dekat: bila industri makanan cepat saji diwajibkan mencantumkan komposisi, batas iklan untuk anak, dan standar keamanan pangan, maka industri “makanan untuk pikiran” semestinya juga begitu.

Algoritma rekomendasi adalah dapur raksasa yang memasak konten paling mudah membuat kita ketagihan. Ia bukan memilihkan konten yang paling menyehatkan, tetapi yang paling mungkin membuat jari kita terus menggulir.

Kita sering menyebutnya “sekadar hiburan”, padahal ia bekerja seperti mesin prediksi: mempelajari perilaku, lalu menyajikan umpan yang makin personal. Anak, yang rasa ingin tahunya tinggi dan kontrol dirinya masih berkembang, menjadi target ideal.

Data UNICEF dari studi baseline 2023 di Indonesia memberi gambaran keras tentang risiko yang sudah terjadi: hanya 37,5% anak pernah menerima informasi tentang cara aman berinternet.

Lalu 42% anak melaporkan pengalaman online yang mengganggu, membuat mereka tidak nyaman atau takut.

Bahkan, setengah dari anak yang disurvei (50,3%) mengaku pernah melihat gambar seksual di media sosial.

Bila ini terjadi di taman bermain fisik, kita tidak akan menyebutnya “risiko wajar”. Kita akan menutup pagar yang jebol, memindahkan permainan berbahaya, dan menambah pengawas.

Mengapa ketika taman bermain itu pindah ke layar, standar kewaspadaan kita justru turun?

Negara Liberal Berani Membatasi Karena Ini Bukan Sensor, Ini Proteksi

Ada yang bertanya: bagaimana mungkin negara Barat yang liberal berani melarang anak menggunakan media sosial?

Jawabannya: liberalisme dalam praktik kebijakan publik tidak identik dengan membiarkan pasar bekerja tanpa pagar.

Negara liberal justru kuat dalam satu hal: melindungi kelompok rentan agar bisa menikmati kebebasan secara bermakna. Kebebasan anak bukan kebebasan untuk dieksploitasi.

Apakah Indonesia Lebih Liberal Dibandingkan Negara Barat

Lihat Australia. Mulai 10 Desember 2025, Australia menerapkan larangan penggunaan media sosial bagi anak di bawah 16 tahun, dengan beban kepatuhan diletakkan pada platform dan ancaman denda hingga sekitar A$49,5 juta bagi yang melanggar.

Ini bukan negara yang tiba-tiba anti-teknologi. Ini negara yang membaca tanda zaman: ketika industri digital punya daya pengaruh setara infrastruktur publik, maka aturan mainnya tidak bisa diserahkan pada “kebijakan komunitas” perusahaan.

Denmark
Denmark pun bergerak: rencana pembatasan ketat untuk pengguna di bawah 15 tahun sedang disiapkan, dipicu kekhawatiran dampak sosial dan kesehatan mental remaja, sementara data mereka menunjukkan hampir semua anak bahkan di bawah 13 sudah menggunakan media sosial.

Norwegia
Norwegia mengajukan langkah menaikkan batas umur perlindungan dan bergerak menuju pembatasan yang lebih tegas. Inggris memperketat kewajiban platform melalui Online Safety Act, dengan penekanan pada “age assurance” dan perlindungan anak dari konten berbahaya.

Pola besarnya jelas: negara yang dikenal liberal sekalipun mulai menyimpulkan bahwa “pasar perhatian” tidak netral. Ia punya eksternalitas, biaya sosial yang ditanggung keluarga, sekolah, dan sistem kesehatan, sementara keuntungan mengalir pada segelintir perusahaan.

Keuntungan Ekonomi Melindungi Anak dari Algoritma: Mengurangi Biaya, Menambah Modal Manusia

Sebagai ekonom, saya melihat isu ini bukan hanya moral, tapi juga soal investasi nasional. Indonesia sedang menabung harapan pada bonus demografi.

Saat Bonus Demografi Menjadi Defisit Kesehatan Mental

Namun bonus demografi hanya menjadi bonus jika kualitas modal manusianya naik: fokus belajar membaik, kesehatan mental lebih stabil, kemampuan sosial dan empati tumbuh.

Algoritma yang mendorong polarisasi, kecanduan, dan paparan konten tak layak adalah “pajak tersembunyi” pada produktivitas masa depan.

Anak yang tidurnya terganggu, sulit fokus, mudah cemas, dan terpapar konten ekstrem akan menanggung biaya jangka panjang.

Biaya itu bukan cuma di klinik psikolog, tapi juga pada prestasi akademik, kesiapan kerja, dan kualitas relasi sosial. Dalam bahasa kebijakan publik, ini soal mencegah kerugian sebelum menjadi normal baru.

Yang menarik, dukungan publik untuk pembatasan juga kuat. Survei YouGov menunjukkan dukungan besar dari orang tua Indonesia terhadap rencana pengaturan usia media sosial bagi anak, meski detail efektivitasnya masih diperdebatkan.

Artinya, negara tidak sedang memaksakan selera elit. Negara sedang merespons kegelisahan yang sudah hidup di ruang keluarga.

Regulasi yang Out of Box: Yang Kita “SIM”-kan Bukan Anak, Tapi Platform

Perdebatan sering macet di dua ekstrem: “bebaskan saja, tanggung jawab orang tua” versus “larang total”.

Padahal ada jalan ketiga yang lebih cerdas: menggeser fokus dari menghukum pengguna menjadi mengatur desain produk.

Logikanya begini. Ketika kecelakaan lalu lintas tinggi, kita tidak menyalahkan pejalan kaki saja. Kita juga mengatur desain jalan, kecepatan, rambu, sabuk pengaman, standar pabrik mobil. Maka di ruang digital, yang perlu “diuji kelayakan” adalah platform dan algoritmanya.

Indonesia bisa menempuh beberapa prinsip kebijakan yang tegas namun modern.

Pertama, batas usia di bawah 16 tahun harus berarti secara teknis, bukan sekadar angka di layar pendaftaran.

Usia harus dipastikan dengan mekanisme yang melindungi privasi, dan kewajiban utamanya ada pada platform, bukan pada anak. Australia menaruh beban pada perusahaan, bukan menghukum remaja.

Kedua, mode anak wajib “by default” untuk akun yang terindikasi anak, dengan algoritma yang tidak mengoptimalkan keterikatan ekstrem.

Ini seperti standar kursi bayi di mobil: bukan opsional bagi produsen, melainkan standar keselamatan.

Ketiga, kita perlu “label nutrisi algoritma”. Bukan laporan teknis rumit, tetapi kewajiban transparansi sederhana: mengapa konten ini muncul, kategori risiko apa yang terlibat, dan seberapa agresif rekomendasinya.

Orang tua dan anak berhak tahu apakah mereka sedang diberi “gula” berlebih oleh mesin rekomendasi.

Keempat, sanksi harus berbasis insentif. Denda yang proporsional dengan skala bisnis, audit kepatuhan berkala, dan kewajiban perbaikan desain akan lebih efektif daripada kampanye moral yang cepat dilupakan.

Terakhir, pengaturan harus diiringi “imunisasi sosial”: literasi digital di sekolah, dukungan konseling, dan kanal pelaporan yang mudah.

UNICEF menunjukkan sebagian besar anak belum mendapat bekal keselamatan digital yang memadai. Regulasi tanpa edukasi seperti membangun pagar tanpa memberi peta jalan.

Melindungi Bukan Berarti Mematikan Masa Depan Digital

Kita tidak sedang memilih antara “anak bahagia” dan “anak gaptek”. Kita sedang memilih apakah masa depan digital Indonesia dibangun di atas generasi yang punya kontrol diri, daya pikir panjang, dan kesehatan mental yang stabil, atau generasi yang sejak dini dilatih menjadi konsumen perhatian.

Keberanian negara liberal membatasi media sosial untuk anak mengajarkan satu hal: kebebasan yang tidak dilindungi akan berubah menjadi kebebasan yang dimanfaatkan pihak paling kuat.

Dan dalam ekonomi perhatian, pihak paling kuat adalah mesin yang tidak pernah tidur, yang bekerja setiap detik untuk memenangkan fokus anak kita.

Indonesia tidak perlu menunggu korban menjadi statistik yang lebih besar. Kita sudah punya sinyal kuat dari lapangan: banyak anak mengalami pengalaman online yang mengganggu, paparan konten seksual, dan minim bekal keamanan.

Jika negara ingin hadir di ruang yang paling sering dikunjungi generasi muda hari ini, maka hadirnya bukan dengan ceramah, melainkan dengan desain kebijakan yang menempatkan keselamatan anak sebagai standar, bukan pilihan.***

Achmad Nur Hidayat, ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta

Advertisement
Advertisement

Berita Terbaru

Advertisement

You May Also Like

Olahraga

KUNINGAN (MASS) – Timnas Indonesia akan berlaga melawan Timnas Australia dalam Lanjutan Qualifikasi Piala Dunia Putaran ke-3 Zona Asia. Pertandingan yang dilaksanakan di Stadion...

Exit mobile version