KUNINGAN (MASS) – Ketika pasangan Prabowo-Gibran mengumandangkan janji penciptaan 19 juta lapangan kerja dalam kampanye Pilpres 2024, harapan besar tumbuh di benak rakyat.
Ini bukan sekadar angka, melainkan simbol janji perubahan, simbol keberpihakan kepada kaum muda, perempuan, dan mereka yang selama ini terpinggirkan dari arus utama pembangunan.
Tapi satu tahun kemudian, janji itu belum menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
Yang terjadi justru sebaliknya: gelombang PHK meningkat, jumlah pengangguran bertambah, dan masyarakat dibuat resah.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 menunjukkan jumlah pengangguran mencapai 7,28 juta orang, naik 83.450 orang dibanding tahun sebelumnya.
Sementara itu, gelombang PHK terus berlangsung di berbagai sektor, seperti industri tekstil, elektronik, dan otomotif. Sritex diputus pailit, Yamaha Music merelokasi pabrik ke luar negeri, dan Sanken menutup operasi, berdampak pada ribuan pekerja yang kehilangan mata pencaharian.
Ketika Mesin Janji Macet di Tikungan Ekonomi Nyata
Janji itu seperti mobil mewah yang dijual dengan penuh janji kemewahan. Namun saat dihadapkan pada jalan berlubang kebijakan dan realitas ekonomi, mesin mobil itu tak kunjung menyala.
Salah satu penyebabnya adalah kondisi eksternal yang tidak sedang bersahabat.
Perlambatan ekonomi global, ketegangan geopolitik, perang dagang, dan transformasi digital yang masif membuat pasar tenaga kerja nasional semakin rentan.
Sementara di dalam negeri, relokasi industri, tekanan impor barang-barang manufaktur dari luar negeri, dan absennya strategi perlindungan tenaga kerja lokal menjadi racikan sempurna bagi ledakan PHK.
Ribuan pekerja dari berbagai sektor kehilangan pekerjaan, mulai dari tekstil, elektronik, hingga otomotif.
Pemerintah terlihat seperti kehilangan pegangan.
Tidak ada respons cepat, tidak ada langkah antisipatif yang terstruktur.
Rakyat hanya mendengar pernyataan klise: “PHK adalah keniscayaan.”
Dalam kondisi seperti ini, angkatan kerja justru bertambah karena lulusan sekolah dan ibu rumah tangga mulai kembali mencari kerja.
Ibarat air yang terus mengalir ke dalam ember bocor, setiap penambahan angkatan kerja hanya memperparah banjir pengangguran jika tidak dibarengi penciptaan lapangan kerja baru.
Salah satu narasi indah yang disampaikan dalam kampanye adalah penciptaan lima juta green jobs, pekerjaan ramah lingkungan yang konon akan menjadi pilar utama ekonomi masa depan.
Tapi hingga pertengahan 2025, belum terlihat arah kebijakan konkret tentang bagaimana pekerjaan itu akan diciptakan.
Siapa yang bertanggung jawab? Sektor apa saja yang terlibat? Bagaimana anggarannya?
Hilirisasi juga menjadi kata kunci lainnya dalam janji 19 juta lapangan kerja.
Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa hilirisasi yang dijalankan masih berat sebelah: terlalu bertumpu pada tambang dan kurang menyentuh sektor pertanian, maritim, dan digital.
Jika hilirisasi hanya menguntungkan pemilik modal besar tanpa menciptakan ekosistem kerja yang adil dan menyerap tenaga kerja lokal, maka ia tidak lebih dari proyek ekstraktif belaka.
Pemerintah Seolah Menyalahkan Angin
Alih-alih mengakui dan mengevaluasi keterlambatan dalam realisasi janji, pemerintah justru sibuk menyalahkan angin.
Ketegangan geopolitik, tren PHK global, bahkan kemajuan teknologi dijadikan alasan atas meningkatnya pengangguran.
Tapi menyalahkan angin tidak akan membawa kapal sampai ke pelabuhan.
Dalam teori kebijakan publik, pemerintah adalah nakhoda yang harus mampu mengarahkan kapal meski badai menghadang.
Lebih menyakitkan lagi, dalam situasi darurat seperti ini, belum ada langkah transparan dari pemerintah untuk menyampaikan perkembangan realisasi janji kepada publik.
Tidak ada laporan berkala, tidak ada dashboard progres kebijakan, tidak ada mekanisme pelibatan publik.
Rakyat seperti dibutakan dari proses yang seharusnya mereka pantau dan kontrol. Ini bertentangan dengan prinsip-prinsip akuntabilitas dalam pemerintahan demokratis.
Rakyat Butuh Progres, Bukan Deklarasi dan Konferensi Pers
Kebijakan publik adalah proses, bukan pidato. Janji 19 juta pekerjaan adalah kontrak sosial antara pemimpin dan rakyat.
Maka wajar jika rakyat menagih progresnya. Sayangnya, hingga kini belum tampak adanya arah kebijakan strategis yang jelas.
Pemerintah harus mengedepankan pendekatan kebijakan yang inklusif dan berbasis bukti.
Dibutuhkan langkah konkret untuk menciptakan sistem yang memperkuat pekerja lokal dan melindungi mereka dari ancaman disrupsi.
Ini mencakup pendidikan vokasi berbasis kebutuhan dunia usaha, penguatan koperasi tenaga kerja, dan perlindungan pasar domestik dari serbuan impor murah.
Partisipasi Publik: Dari Penonton ke Pelaku
Kegagalan janji ini juga mencerminkan rendahnya partisipasi publik dalam proses kebijakan.
Pemerintah harus membuka ruang dialog yang sungguh-sungguh dengan masyarakat.
Rakyat tidak boleh terus-menerus dijadikan penonton dalam proses pembangunan.
Mereka harus menjadi pelaku, mitra, dan pengawal utama pelaksanaan kebijakan.
Sudah saatnya setiap daerah memiliki peta jalan penciptaan kerja yang melibatkan pemda, dunia usaha, akademisi, organisasi buruh, dan kelompok pemuda.
Ia adalah sarana kehormatan. Ia adalah cara rakyat menegakkan kepala, memberi makan keluarga, dan berkontribusi pada bangsa.
Maka, ketika pemerintah gagal menciptakan lapangan kerja, yang dirugikan bukan hanya ekonomi, tapi juga martabat rakyat.
Hari ini, kita butuh lebih dari sekadar janji.
Kita butuh kepemimpinan yang berani mengambil keputusan sulit, yang mau mendengarkan rakyat, dan yang siap mempertanggungjawabkan komitmennya. Karena dalam republik yang demokratis, janji adalah utang politik.
Dan utang itu harus dibayar, bukan dengan dalih, tetapi dengan tindakan nyata.
Achmad Nur Hidayat (Ekonom/Pakar Kebijakan Publik)
KUNINGAN (MASS) – Fraksi PKS DPRD Kabupaten Kuningan menyinggung soal pengangguran terbuka di Kabupaten Kuningan yang mencapai 7,78% pada tahun 2024. Meski dibilang ada...
KUNINGAN (MASS) – Setelah mendapat gelar pelaku judi online terbanyak, kini Indonesia mendapat gelar baru juara pengangguran di Asean yakni mencapai 5,2%. (infografis.okezone.com) Sejak...
KUNINGAN (MASS) – Kadisnaker Kabupaten Kuningan Dr Elon Charlan, mengkalim berhasil menurunkan angka pengangguran di Kabupaten Kuningan sejak ia menjabat pada Januari 2022 lalu....
KUNINGAN (MASS) – Kabar tidak sedap datang dari “euforia” dibukanya lowongan kerja untuk pabrik garmen PT Fashion Stitch Joshua Indonesia di Kecamatan Cidahu. Pasalnya,...
KUNINGAN (MASS) – Badan Buruh dan Pekerja PP Kuningan menggelar diskusi serta dialog publik soal ketenagakerjaan di Kopi Lendot Mang Elon di Jalaksana, Minggu...
KUNINGAN (MASS) – “Apakah bisa, dikatakan bahwa pemerintah daerah Kuningan hari ini tidak mampu mengatasi permasalahan yang sangat serius?” Dilansir dari data BPS Kuningan...
KUNINGAN (MASS) – Ketua LSM Geram (Gerakan Rakyat Marginal) Rudi Idham Malik menyebut predikat-predikan yang menempel untuk Kabupaten Kuningan tak seharusnya terjadi. Rudi, mengomentari...
KUNINGAN (MASS) – Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kuningan Dr Elon Charlan menjawab tudingan dan kritikan yang tertuju padanya soal naiknya angka pengangguran....
KUNINGAN (MASS) – Pekerjaan memiliki peran penting dalam keberlangsungan hidup masyarakat. Masyarakat tentu ingin mendapatkan pekerjaan sebaik-baiknya untuk kehidupan yang baik dan terhindar dari...
KUNINGAN (MASS) – Meningkatnya pengangguran di Kuningan, turut dikomentari Wakil Bupati Kuningan M Ridho Suganda, Rabu (24/3/2022) siang kemarin. Edo, sapaan akrabnya, mengatakan bahwa...
KUNINGAN (MASS) – Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat merilis Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sampai tahun 2021 kemarin untuk kabupaten/kota se-Jawa Barat. TPT sendiri,...
KUNINGAN (MASS) – Tidak berlebihan apabila ada orang yang mengatakan Kuningan belum merdeka. Salah satu indikatornya, masih cukup besar angka pengangguran di kota kuda...
MANDIRANCAN (Mass) – Upaya mengentaskan angka pengangguran dilakukan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertran) Kuningan. Bekerjasama dengann Bursa Kerja Khusus (BKK) SMK Budi Bhakti...